Kamis, 25 April 2024
Sekolah Menengah Atas

PASCA PANDEMI DAN ETOS BARU BERPENDIDIKAN

VINSENSIUS NURDIN

SMAN 3 BORONG

Dalam suasana terbenturnya kemelut sosial entah terpengaruh oleh arus global dunia maupun terdandan dalam saling silangnya kepentingan pribadi yang secara meyakainkan terseret dalam komunitas, muncullah mesin waktu yang memaksa massa dalam skala planeter untuk berhenti sejenak sembari menyingsingkan lengan peradaban manusia yang berjalan dengan keanekaan tuntutannya . stasi sebagai tempat pemberhentian peradaban manusia global pada masa milenial ini menyisahkan berbagai interpretasi yang kadang agak sulit diperdamaikan. Berhenti untuk bersitirahat sejenak dari kepenatan dengan harapan mengumpukan tenaga baru ataukah berhenti karena arah jalan yang ditempuh tidak sesuai dengan  road map dan yang lebih parah adalah berhenti karena ada penyamun yang ingin menghalangi dan merampok.

Ada banyak hal yang dibuat pada saat berhenti untuk beristirahat dan salah satu yang menjadi bungkusannya ada pada penajaman orientasi sehingga memaknai perhentian sebagai saat mempertajam ketumpulan dan memerkuat ikatan yang kadangkala tidak disadari mulai agak longgar. Perhentian dengan skema persitirahatan adalah suatu keniscayaan. Manusia di era globalisasi ini mesti menjadikan perhentian sebagai tempat untuk menapaki jejak kebajikan dan muaranya mengarah kepada manusia beradap yang tidak mudah terpinggirkan karena terdidik dalam kualitas yang mumpuni. Demikian pun sebaliknya dalam stasi sebagai tempat pemberhentian karena kesadaran adanya sesuatu yang salah adalah manusiawi daan usaha pembaharuan atau perbaikan adalah keistimewaan. Kualitas kesadaran pada pemberhentian ini patut diacungi jempol karena berani untuk berpikir dan dengan instrument ini menemukan titik simpul yang menyandera manusia. Kekuatan pikiran yang terus dilatih di tengah peradaban zaman ini dan yang jelas tidak memperhitungkan kesiapan manusia adalah perangkat yang mengurung terdepaknya kita  dari ruang peradaban sehingga kita tidak menjadi menyendiri di tengah kerumunan massa. Menjadikan pikiran sebagai kekuatan dalam bersaing demi tetap langgenya kita di tengah kemendesakan zaman adalah capaian kemanusiaan yang mesti terus digalakan. Dan untuk maksud ini ada beberapa cara yang harus dilakukan. Titik pemberhentian berikutnya ada pada distorsi yang boleh diklaim justeru pada unsur sistemiknya. Untuk menjelaskan hal ini, alangkah bagusnya harus kita menstrukturkan pemahaman antara distorsi sistemik atau kecurigaan hermenetis.

DISTORSI SISTEMIK ATAU KECURIGAAN HERMENEUTIS

Term teknis yang coba disodorkan di sini terutama melihat perimbangan anatara kenyataan apa adanya dan usaha penerjemahan yang bervariatif terhadap kenyataan itu dan karena tidak satupun di antaranya yang memuaskan-katakan saja hasrat epsitemologis manusia- maka hanya bisa dilabelkan dengan pernyataan kecurigaan hermeneutis. Kedua alat ukur ini dicoba dalam penelaahan ini demi-mudah-mudahan-menguak kisah di balik misteri yang melingkungi seluruh atmosfer dunia akhir-akhir ini. Sangat beralasan bagi kita untuk mencoba dalam tataran evaluasi kritis demi menemukan terhubungnya kenyataan dunia yang terjadi dan menyita banyak hal bahkan sampai kelumpuhan total seluruh dimensi manusia hingga hal-hal baru yang ditetaskan olehnya. Ketika saya membaca buku Homo Deus karangan Yuval Noah Harari, saya menemukan dan akhirnya berpendapat bahwasannya untuk segala kejadian yang sifatnya melanda manusia terutama berbagai jenis penderitaan bahkan yang paling tragis sekalipun dan diselidiki penyebabnya -tanpa campur tangan manusia, tetapi memorakporandakan komunitas manusia dalam skala planeter- pernah terjadi dalam sejarah peradaban manusia hingga saat ini. Pengalaman demi pengalaman itu memertajam ingatan kita dan tanpa terbata-bata boleh berujar Non novum Sub Sole/tidak ada yang baru di bawah matahari . Kemungkinan besar hanya caranya saja yang berbeda, karena perbedaan waktu dan tempat dan dan juga nomen clatur yang diberikan.

Lukisan awal ini memberikan sedikit pendasaran sehingga dalam perambahan selanjutnya tidak dianggap sebagai imaginasi dalam narasi pesimistik. Bersama dengan sastrawan Indonesia, Sutardji Colozoum Bachri, saya berani berujar ‘saya menulis di atas tulisan’. Betapa tidak, setiap kita yang menjadi bagian dalam massa milenial saat ini menjadi saksi bisu dan korban dari tindakan teror yang dilakukan oleh suatu jenis virus mendunia serta pernah dilabelkan sabagai unidentified flying object dan dalam kekalutan berpikir dalam ujaran retorikpun menjadi pertanyaan umum: apa dan mengapa ini terjadi? Patutkah kita mencari dalangnya? Siapa biang keladi di balik ini semua? Apa tujuannya? Rentetan pertanyaan demi pertanyaan akan menyisahkan akumulasi jawaban yang bervariatif dan bahkan saling menikung satu dengan yang lainnya. Pretensi saya terutama bukan untuk merangkum jawaban tetapi sekadar membuka celah angin yang mudah-mudahan sedikit membawa angin segar di tengah kepenatan ini.

Distorsi sistemik ada dalam bentuk terjegalnya proses tertentu karena kekacauan dasar pada sumber pada mana sesuatu berasal. Hal ini tentunya tidak langsung dinterpretasikan pada ranah teologis, meski beberapa kalangan pernah melemparkan issu ini ke dataran tinggi dunia agama tetapi terutama kepada terobosan sosail yang diandaikan bermain di balik sinergitas global pada umumnya. Pada zaman milenial ini unsur sistemik boleh diklaim sebagai hasil dari usaha manusia sendiri yang teridentifikasi dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengapa harus mengidentifikasi hal ini karena kekinian tanpa IPTEK adalah sesuatu yang tidak bisa terkatakan. Manusia IPTEK  adalah manusia yang totalitas hidupnya ada bersama perkembangan yang ada. Distorsi sistemik diandaikan bermain di balik terkecohnya imun global manusia sehingga sejenis virus dapat menghantam kekuatan fisik dan sosial. Terkoyaknya imun global menjadi perhatian banyak kalangan dalam mereorientasi cara kerja beberapa elemen yang langsung bersentuhan dengan dilema ini.

Keberlansungan seluruh proses kehidupan manusia pada waktu kurang lebih awal Maret 2019 lalu hingga masih terasa di awal tahun 2022 menjadi terkondisi dalam berbagai hiruk-pikuk massa dalam keburaman pengertian dan pemahaman. Mengeram diri dalam berbagai balutan proteksi fisik dan sosial menjadi penanda telah tejadi suatu chaos yang mengerikan. Ada banyak hal yang menjadi korban dari tersulutnya chaos global ini. Ini adalah teror massa di zaman milenial. Kemapanan dan kematangan cara berpikir yang ditandai dengan berbagai penemuan ilmiah seketika dirongrong oleh sesuatu yang mematikan. Virus corona yang mengepung kosmos peradaban manusia meluluhlantahkan berbagai bentuk kemapanan manusia dan tidak pelak lagi ada yang tersapu dan hanyut dengan meninggalkan jejak tertentu dan sungguh mengerikan. Berbagai cara penggambaran yang menunjuk kepada kedahsyatan penyebaran pandemi global ini nyata benar dipertontonkan.

Para pemimpin negara beserta seluruh jajaranya sibuk dengan pelbagai intervensi demi menemukan cara supaya terlepas dari jerat maut pandemi global. Usaha-usaha preventif dalam berbagai bentuk proteksi fisik dan sosial dilakukan dalam berbagai lini kehidupan. Ada tradisi tata rias baru pada manusia yang ditinggalkan oleh pandemi covid 19 dan bahkan masih tersisa hingga kini . Semua ini dilakukan untuk mencegah dan menghindarkan kita dari persentuhan dengan covid 19. Selain usaha preventif dalam bentuk balutan fisik, juga ditemukan usaha preventif   dalam bentuk suplemen natural dengan mengonsumsi tanaman obat-obatan yang dipercaya mampu menambah daya tahan tubuh dan suplemen kimiawi demi kestabilan imun fisik melalui vaksin. Dalam bentuk sosialpun dilakukan berbagai cara supaya menghindari kontak fisik secara langsung dengan orang lain. Karena kurangnya pemahaman akan semua ini, terpaksa dalam kekalutan berpikir karena diindoktrinasi oleh situasi sosial dan tuntutan perubahan, terdapat juga usaha regresif.  Petugas keamanan memiliki tugas tambahan dengan memberi peringatan kepada masyarakat untuk menggunakan berbagai properti yang ada sebagai keharusan dan tidak mengikuti protokol kesehatan berarti ada sedikit kekerasan baik verbal maupun fisik. Menghindari kerumunan dan menjaga jarak adalah juga jargon baru yang diciptakan oleh chaos pandemi covid 19.

Distorsi sistemik? Sistem apa yang terganggu? Apakah ada lokasi tertentu yang menjadi pusat dari semua ini? Mengapa penyebarannya begitu cepat? Ada berbagai jawaban yang mencoba mengurai kekusutan ini dan inipun tersebar dalam berbagai media yang ada. Tetapi semuanya itu tetap meninggalkan jejak keseragaman sosial dalam berbagai bentuk. Mengendus hingga mencapai sumber pada mana sistem itu terdapat akan juga memunculkan berbagai interpretasi. Sistem dengan berbagai interpretasi yang beraneka berakibat kepada terkuaknya kecurigaan hermeneutis. Betapa mengherankan, bahwasannya, kekusutan yang disebabkan oleh pandemi covid19 akan berpulang kepada capaian manusia sendiri dalam dunia saat ini. Sebegitu lemahnya kosmos kita berhadapan dengan suatu jenis teror baru dan melanda keapikan dunia milenial kita. Distorsi sistemik dan kecurigaan hermenutis yang diandaikan terus terkatung-katung di setiap sanubari insan manusia mengejahwantahkan realitas pencapaian manusia sendiri. Kemajuan IPTEK membawa besertanya tragedi. Inilah paradoks IPTEK.

MENGINTERUPSI KEMAPANAN ILMU PENEGTAHUAN

Peradaban manusia dengan berbagai pencapaiannya dari waktu ke waktu berperan besar dan bahkan secara total menumbangkan ketergantungan manusia pada kekuatan alam. Pola berpikir manusia yang terus mempertebal pengetahuannya dalam berbagai hal, menjadi acuan yang memuaskan rasa ingin tahunya. Beriringan dengan itu, muncul pula berbagai hal yang justeru meningkatkan berbagai metode demi terus berpacu dengan sesuatu yang baru tanpa titik akhir. Semua ini diyakini bermuasal kepada hakekat manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapai. Salah satu hal yang menjadi sampel saya dalam hal ini adalah keniscayaan sosial yang melihat manusia sebagai makhluk sosial. Makna ungkapan makhluk sosial berperan besar dalam membentuk kenyataan adanya manusia yang tidak pernah bisa hidup sendirian. Atau berada untuk dirinya sendiri. Kenyataan ini bukan saja karena digarisbawahi ilmu pengetahuan manusia berkat peyelidikannya, tetapi in se adanya. Eksistensi dan esensi manusia adalah makhluk sosial. Tidak boleh tidak. Conditio sine qua non.

Kondisi ini akhirnya mengingatkan saya akan situasi ketika saya menonton sidang para wakil rakyat di televisi. Di tengah sidang, sementara pimpinan DPR membacakan suatu keputusan atau sedang mempertimbangkan sesuatu, tiba-tiba seorang anggota DPR mengangkat tangannya dan sambil berujar “MOHON BICARA PIMPINAN’’. Ia menginterupsi keberlangsungan sesuatu. Situasi ini mengandaikan bahwa ada keputusan yang tidak sesuai dan mungkin merugikan. Situasi ini bagi saya sama perisis dengan situasi kita saat ini. Tanpa diganggu guggat, eksistensi dan esensi manusia adalah sosial. Hal inipulalah-untuk mengangkat satu diantaranya-yang meyakinkan kita dan cukup kuat mendasarkan paham sosialitas manusia yakni John Donne dengan ungkapan yang sangat terkenal no man is an island/ tidak ada manusia yang hidup sendirian, tidak ada seorangpun yang hidup sendirian di sebuah pulau. Ungkapan ini bukan saja menggarisbawahi kenyataan yang ada pada manusia tetapi adalah suatu keharusan yang adanya berada bersama dengan adanya manusia. Tetapi ungkapan no man is an island dinterupsi oleh virus UFO yang akhirnya berlabelkan corona. Virus corona meruntuhkan pendapat Jhon Donne dan berujar man is an island.  Metode dan sistematika ilmu pengetahuan yang sudah beruratberakar pada suatu kenyataan tertentu dan diakui sebagai kebanggaan makhluk manuisa dalam memmertanggungjawabkan adanya sebagai animal rationale/binatang berakal budi. Relitas ini yang tampak jelas dalam pengakumulasian pengetahuan manusia, pada tataran sekarang ini diberhentikan secara serampangan oleh sesuatu yang membuat manusia mengakui keterbatasannya. Seolah-olah virus corona mengangkat tangannya dan menginterupsi kemutlakan yang sedang berlangsung. Virus corona memberi tanda di tengah kemapanan kosmos. ”Semuanya terdiam, semuanya menjawab tak menegerti” seperti syair lagu Ebit G. Ade.

Tidak hanya berhenti pada sampel sosial ilmu pengetahuan, tetapi juga menjalar hingga ke metode dan sistematika lainnya. Hal inipun diakui sebagai suatu realitas yang membuat kita terus berbenah. Kaharusan berbenah diri menjadi juga salah satu cara menghadapi tantangan zaman milenial. Berbagai kemungkinan dalam bentuk “interupsi” selalu terbuka dan virus corona telah membuktikan kepongahannya di tengah kebanggan anak-anak Adam.

MENINGGALKAN JEJAK

Semua perhatian penguni bumi tersedot ke dalam suatu perangkat keras yang menjadikannya terprogram dan terinstal dengan sendirinya. Semua lini kehidupan terpolakan  dalam satu rotasi bumi dan pada saat ini sangat terasa perputarannya. Virus corona telah meluluhlantahkan berbagai susunan kemasyarakatan. Tidak satupun yang ditinggalkan. Semuanya berkiblat ke arah yang sama dalam litani ketakutan dan kegentaran.

Jejak yang menakutkan ini akan saya teropong salah satunya dalam lembaga pendidikan. Ada perubahan dalam skala global dan langsung merenda cara baru berpendidikan. Pendidikan sebagai suatu proses memanusiakan manusia telah menempuh beberapa cara dadakan karena tuntutan. Virus corona telah menciptakan budaya baru berpendidikan dan terus berharap tanpa kehilangan marwahnya. Marwah pendidikan yang langsung bersentuhan dengan kegiatan “pemuliaan’’ manusia dengan berbagai proses pelibatan individu-individu dan tentunya ada penekanan pada kondisi fisik-psikologis. Kondisi fisik-psikologis merujuk kepada adanya perjumpaan,adanya persentuhan, adanya dialog dalam aktivitas berpendidikan. Ideal pendidikan dengan perjumpaan/persentuhan sebagai salah satu unsurnya demi tersampaiknnya pengetahuan sebagai komunikasi manual inter personal. Walaupun idealisme ini di zaman milenial  telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak saja mengikuti tuntutan zaman, tetapi juga tetap dalam kemah demi peradaban manusia.

Lembaga pendidikan sebagai instansi terdepan pemberdayaan manusia dengan kondisi terkelupasnya nilai perjumpaan karena terisolir dalam kekuatiran serangan virus corona yang mematikan, telah menempuh berbagai trik demi menemukan wahana yang tepat berpendidikan. Berbagai cara itu dengan teknologi sebagai mitra tentu bukan tanpa masalah. Tetepi cara ini dianggap kurang lebih mampu menjawab berbagai kemelut yang terus berkecamuk di tengah kelumpuhan total kemanusiaan pada umumnya karena teror virus corona.

PENGLIHATAN TIDAK BISA MEMENDEKAN PERSENTUHAN

Berpendidikan yang kita sepakati sebagai salah satu cara memberdayakan anak manusia megedepankan metode dan sistematika dalam proses “transfer”pengetahuan antara seorang guru dan siswa/i. Paling kurang ini yang menjadi idealisme pada umumnya, meski beberapa orang melihatnya dari sisi yang berbeda dengan metode dan sistematika yang berbeda pula. Intensi utama yang mengedepankan usaha bersama dalam kerangka pembinaan anak-anak bangsa sudah lama menjadi perhatian semua komponen. Dalam setiap kesempatanpun kita menyaksikan adanya pergantian konsep dalam terang kurikulum yang selalu berubah dengan latar pemikiran mencari secermat mugkin batu tungku demi mendekatkan anak-anak bangsa kepada marwah berpendidikan sesuai dengan cita-cita dalam UUD 1945 aline ke IV: MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA. Dengan fundamen pemikiran inilah kita diarak menuju kepada manusai Indonesia yang utuh, manusia jasmani dan rohani dengan tetap menjadikan Pancasila sebagai ‘Philosofische grondslag’ sebagaimana dikatakan oleh salah seorang fundatur bangsa, Soekarno, pada sidang Zyunbi Tyoosakai 1 Juni 1945. ‘Philosofische grondslag’ sebagaimana diungkapkan Soekarno langsung merujuk kepada kekutan dasar yang mengokohkan manausia Indonesia.

Dengan meneropong berbagai geliat positif dengan acuan demi pembangunan manusia Indonesia, pendidikan telah diorganisir sedemikian rupa sehingga berbagai gejala yang dianggap dapat merampas identitas keindonesiaan semakin mungkin diminimalisir dengan menggunakan berbagai pendekatan dalam berbagai orientasi pendidikan dalam setiap lembaga yang ada. Pemahaman ini bukanlah isapan jempol belaka tetapi titik kulminasi dari setiap daya upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia sehingga melahirkan manusia yang berbudi pekerti luhur. Maklumat pendidikan yang terus dikumandangkan oleh segenap anak bangsa, jangan sampai mengalami kemerosotan karena suatu daya asing yang merongrong kemapanan kita sebagai bangsa. Ada banyak hal yang mesti terus digalakan dalam orientasi pendidikan Indonesia demi mendekatkan kita kepada identitas berbangsa dan bernegara, karena identitas yang mutlak tidak akan pernah tercapai dengan sempurna. Hal  senada diungkapkan Jean-Luc Nancy Niemals identitȁt, immer indentifisierungen/tidak ada identitas tetapi proses identifikasi. Proses pengidentifikasian inilah yang terus dilakukan dalam lembaga-lembaga pendidkan sehingga sekurang-kurangnya mendekati manusia Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan.

Dalam setiap proses pengidentifikasian yang terus menerus, lembaga pendidikan menerjemahkan metode dan sistematika sehingga sedapat mungkin sesuai dengan karakteristik yang dimiliki baik sebagai bangsa dalam skala umum maupun sebagai pribadi dalam skala khusus. Intensi utamanya adalah menjadikan anak-anak bangsa yang akumulasi pengetahuannya berimbang dengan praktek hidupnya setiap hari. Untuk maksud itu, berbagai hal sudah, sedang dan akan terus dilakukan demi menyelaraskan ketajaman budi dan hati nurani anak-anak bangsa. Berkaitan dengan keseluruhan proses yang semestinya dimainkan dalam proses pengidentifikasian dengan lembaga pendidikan sebagai salah satu tiangnya, ada hal istimewah yang membuat berbagai proses yang lazim dilakukan terpaksa berubah. Refleksi kita terutama untuk melihat berbagai intrik yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di tengah gangguan sistemik global karena virus corona. Semenjak perubahan total cara kerja manusia dalam skala planeter karena pandemi covid 19, lembaga pendidikan Indonesia mencari cara yang dianggap mampu terus eksis di tengah situasi yang mencekam. Ada beberapa standar khusus yang dijalankan lembaga pendidikan sesuai dengan instruksi pemerintah, sehingga anak-anak bangsa tetap merasa kenyang dan terpuaskan di tengah gempuran teror global Covid 19.

Komunikasi ilmu pengetahuan sebagaimana lazimnya dan telah diakui mampu menjebatani hasrat berpendidikan anak-anak Indonesia pada umumnya dilakukan dengan tatap muka. Seorang guru berada bersama para siswa/I di dalam kelas dan melakukan dialog dalam interaksi panim el panim/muka ke muka. Harapan utamanya adalah dengan cara ini pengetahuan akan tersampaikan dengan baik. Akan tetapi, segalanya berubah karena situasi dan kondisi yang mendesak untuk berubah. Perubahan inipun tentu saja disesuaikan dengan ketersediaan teknologi yang cukup mampu mengalihkan proses berpendidikan tatap muka dengan program teknologi yang sesuai. Kemajuan teknologi telah membantu keadaan ini sehingga mampu mengurangi ketersenjangan.  Program teknologi yang mampu mempertemukan para guru dan para siswa/I dalam komunikasi ilmu penegetahuan pada masa Pandemi Covid 19 sekurang-kuranganya mampu menjalankan proses berpendidikan dengan tanpa kehilangan sukmanya.

Keterdesakan karena tuntutan tidak pelak lagi pasti menimbukan gesekan baru. Gesekan baru melahirkan paradigma baru. Dalam hal inilah berbagai teropong digunakan untuk melihat sajauh mana sukma pendidikan terus melekat di tengah perubahan yang sedang terjadi dengan tututan yang wajib dilakukan.  Sebagai salah satu contoh kecil, ketika melakukan komunikasi pengetahuan dengan para siswa/I di tengah Pandemi Covid 19, saya sebagai seorang guru merasakan sungguh sesuatu yang hilang dari rangkain proses belajar –mengajar. Kebiasaan tatap muka dalam komunikasi ilmu pengetahuan memiliki beberapa hal yang bagi saya merupakan keuntungan tersendiri. Ketika komunukasi pengetahuan dengan metode pelibatan penuh guru dan siswa/I, muka ke muka, bagi saya tidak hanya tersampaiknnya semua pengetahuan tetapi juga efek-efek gestikulasi dalam persentuhan psikologis akan turut berimbas kepada daya minat peserta didik. Dialog pengetahuan yang dilakukan antara guru dan siswa/I atau di anatara para siswa/I sendiri melalui diskusi juga akan mempertajam tidak saja daya intelektual tetapi juga unsur kepekaan hati nurani.

Ketika proses belajar-mengajar dilakukan dengan menggunakan media komunukasi tanpa perjumpaaan secara langsung sebetulnya bisa dilakukan juga hal-hal sebagaiman lazim dalam acara tatap muka di kelas. Persoalan utamanya adalah alat komunikasi digunakan sebagai instrumen dalam proses pendidikan yang seyogyanya dapat beroperasi kapan dan di manapun hanya menjadi pengandaian saja khususnya di tempat-tempat yang sulit terjangkau. Persoalannya tidak saja sampai kepada ketidakterjangkauan  misalnya signal tetapi juga ketidakterjangkaauan para siswa/I untuk memiliki alat teknologi yang dimaksud. Jika terus dirunut akan sampai kepada persoalan yang lebih dalam lagi dan akan menjangkau kepada kehidupan perekonomian orang tua/wali murid. Premis-premis ini akan menghantar kepada kesimpulan bahwasannya proses berpendidikan dengan pemanfaatan media komunikasi tanpa perimbangan yang semestinya, akan menyebakan terkelupasnya marwah pendidikan sedikit demi sedikit. Asentuasi hanya kepada tersampaikannya ilmu pengetahuan tanpa proses penjiwaan melalui efek persentuhan/tatap muka, hemat saya adalah awal dari terciptanya manusia Indonesia yang pintar hanya untuk memintari orang lain tanpa terintegrasi dalam marwah manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur. Dalam hal inilah harapan bersama seluruh penghuni jagat untuk bebas dari Covid 19 yang serentak menggentakkan nadi kemanusiaan pada umumnya, tetapi juga meniadakan kekhasan proses pemuliaan manusia yang sesuai dengan keperibadian setiap bangsa. Proses pendidikan yang dengan gemilang melahirkan anak-anak bangsa yang bermartabat telah melewati berbagai tahapan tak terhitung persentuhan/ perjumpaan manusia yang saling berinteraksi dalam mengukir pengetahuan. Dengan ini saya menggarisbawahi pendapat L. Irigaray sebagaimana dikutip oleh F. Budi Hardiman dalam karyanya Filsafat Fragmentaris: ERSCHEINUNG KANN NICHT BERȕHRUNG KURZEN/penglihatan tidak bisa memendekan persentuhan.

YOU HAVE TO CHEAT AT EXAM!

Cita-cita luhur berpendidikan yang digarisbawahi dalam  Pembukaan UUD 1945 Alinea 1V sebagaimana telah disinggung di atas: mencerdaskan kehidupan bangsa akan tampak dengan jelas dalam metode yang digunakan sehinnga terciptanya manusia yang berkualitas. Manusia yang bermartabat. Manusia yang berbudaya. Manusia Indonesia dalam keunikannya.  Keistimewahan sekaligus keunikan manusia Indonesia yang berkualitas karena ditempa dalam proses pendidikan tidak hanya cukup pada tetaran akademis-intelektual saja, tetapi dalam perimbangan dengan perilaku. Dalam praktek hidup setiap hari. Berbagai hal yang dientaskan dalam proses pendidikan adalah pentradisian nilai kebajikan hidup. Dengan ini pendidikan melalui beberapa prosesnya mencoba mengendapkan nilai manusia yang manusiawi. Salaah satu contoh untuk hal ini adalah ketika suatu lembaga pendidikan melakukan evaluasi mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pola utama dari tindakan ini adalah mencermati daya kritis dan kreativitas para murid dalam ilmu pengetahuan. Dengan mengedepankan pola berpikir seperti ini, setiap penilaian yang diberikan kepada para murid bukanlah tujuan utamanya, tetapi pemberdayaan nilai hakiki manusia. Pada saat ujian biasanya selalu diingatkan untuk tidak melakukan kecurangan dengan menyontek. Dengan larangan: jangan menyontek! Di sini ditradisikan nilai kejujuran dan kepercayaan diri peserta didik. Apa gunanya memperoleh nilai sempurna ketika hal itu didapatkan dengan cara menipu/menyontek. Inilah bingai dasarnya yang membentuk keseluruhan sistem pentradisian nilai hidup dalam proses pendidikan. Memberi aksentuasi pada manusia sebagai subjek yang mampu menghidupi kehidupan berarti mengarisbawahi keharusannya untuk menata hidup sebagaimana yang coba dipenetrasikan dalam pendidikan.

Mentradisikan nilai-nilai manusia dalam pendidikan sebagaimana di sentil di atas menjadi berbenturan tatkala pada masa pandemi tuntutan itu berubah. Larangan melakukan tatap muka dalam komunikasi ilmu pengetahuan diganti dengan metode penggunaan  alat teknologi berimbas kepada hilangnya intensitas kontrol sosial guru-murid dalam berbagai segi. Salah satu hal yang saya rasa cukup beralasan direfleksikan dalam hubungan dengan ini adalah ketika proses evaluasi dilakukan via hp. Paling nyata yang didapatkan dari proses ini adalah adanya feed back pengetahuan melalui respons yang ditunjukan dengan terselesaikannya beberapa soal yang diberikan. Merasa puas dengan kenyataan ini adalah suatu kegagalan, karena proses internalisasi ilmu pengetahuan justeru diperoleh tidak melewati proses refleksi kritis dari kemampuan para murid sendiri. Alasannya adalah respons ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui lembar kerja siswa justeru memberi peluang kepada kenyataan tertentu seperti jawaban yang diberikan para siswa selalu sama atau hasil copy paste. Inilah kekuatiran yang menjadikan saya bermenung bahwasannya terjadi-kalau boleh dikatakan-manipulasi ilmu pengetahuan dengan menjadikan mr. google sebagai nara sumber dan kualitas pribadi peserta didik dengan pemberdayaan potensi kritisnya tidak diperhatikan. Kontrol sosial ilmu pengetahuan melalui penetrasi guru-murid dalam dialog ilmu pengetahuan di kelas kehilangan daya ungkitnya karena tergantikan dengan usaha manipulatif teknologi yang seolah-olah menjawab tantangan zaman.

MENGUSAP DADA: ANJING MENGGONGGONG, KAFILA BERLALU

Pandemi Covid 19 adalah tragedi kemanusiaan. Semua aspek kehidupan manuisa seolah tersedot ke dalam pola yang digulirkan oleh  jenis virus ini. Semenjak teridentifikasi sebagai salah satu jenis teror yang melanda planet ini, semua penghuninya sibuk dengan berbagai daya upaya supaya tidak terpapar dan terkonfirmasi. Mulai dari gaya hidup dalam pola tingkah laku yang bervariasi sebagai trend zaman di bawah semboyan anak milenial hingga kepada terciptanya jargon-jargon baru yang se-update-mungkin, secara tiba-tiba berubah. Sesuatu yang tidak kasat mata dengan tanpa kompromi merangkak masuk dan merasuki kemanusiaan pada umumnya dan dengan kasat mata memorakporandakan tatanan fisik dan sosial manusia hingga tidak terhitung jumlahnya menjadi korban keganasannya. Salah satu gambaran kehadiran sesuatu yang asing ini dan kemudian teridentifikasi dengan nama Covid 19 nyata benar pengarunya pada setiap pelosok jagat raya ini. Tidak pelak lagi ada beberapa kebijakan yang mengalami perubahan baik pada tingkat lokal maupun global dan menjalar di setiap tatanan lembaga sosial kemasyarakatan.

Sebagai seorang guru komite, saya merasakan sungguh akibat dari ini semua. Kebijakan pemerintah dalam menangani Covid 19 dalam tataran umum boleh dikatakan luar biasa. Akan tetapi, pada kasus tertentu sepertinya kebijakan itu tidak tesentuh secara memadai untuk tenaga pendidik non PNS/tenaga honorer/guru komite. Pengalokasian dana penanganan Covid 19 kepda masyarakat umum tidak memperhatikan detail beberapa unsur yang justeru menenggelamkan beberapa golongan masyarakat yang tetap bekerja dalam keadaan genting. Refleksi ini adalah ungkapan usapan dada semata. Ungkapan dari voice of the voiceless. Anjing menggongong kafila berlalu. Semuanya hanyalah pratanda bahwa suara dari kaum yang tak bersuara terus menggema dalam tatanan yang sudah kembali tersusun tanpa evaluasi kritis dari pemilik kebijakan. Memperhatikan berbagai geliat pemerintah dalam menjembatani kehendak rakyat di satu sisi dengan berbagai keunikannya dan usaha yang tanpa pamrih dari para guru komite/honorer di tengah badai yang melanda hanya akan mempertebal rasa perih. Paling banter situasi seperti ini akan dihibur dengan propaganda kuno yang menyematkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Jenis imbalan yang diperoleh hanya berkisar antara munus a lingua/pujian verbal dan munus ad obsequi/ nanti ada rahmat yang diterima di dunia lain. Seperti inilah kondisi para guru komite/honerer pada umumnya dan nampak jelas dalam kondisi kekalutan global Pandemi Covid 19.

GUSTI MBOTEN SARE

Di tengah kegalauan yang melanda kemanusiaan pada umumnya, setiap insan terus berharap bahwa kegelapan ini harus berubah menjadi terang kembali. Harapan ini adalah ujud seluruh jagad sehingga semuanya berjalan seperti sedia kala. Semua makhluk berTuhan tetap mengatupkan tangan memohon kepada Sang Penyelenggara kehidupan agar melewati tantangan ini dengan tangan terbuka sembari terselip kerinduan mendalam agar semuanya kembali seperti sedia kala. Doa dan harapan itu berangsur-angsur dikabulkan, sehingga sekarang kita mulai lagi menata kehidupan seperti sedia kala. Mengais di puing-puing keruntuhan karena pendemi global bukanlah tatapan yang mengherankan, tetapi ekspresi insan manusia dalam menyadari eksistensinya sebagai makhluk yang berada dalam genggaman Sang Khalik. Allah tidak tidur/gusti mboten sare adalah ungkapan optimistik yang menyatakan keberpihakan Sang Empunya Kehidupan dalam seluruh lintasan sejarah manusia.

Tidak saja berpuas diri dengan terjadinya perubahan karena sekarang ini Pandemi Covid 19 secara bertahap mulai menghilang, tetapi juga tetap bersikeras agar keadaan ini di jadikan momentum evaluasi kritis. Fajar baru perubahan ini adalah kesempatan bagi kita untuk menata kembali berbagai sudut kehidupan manusia baik fisik maupun psikis. Dalam suasana kebersamaan, peradaban pasca pandemi dirajut sedemikian rupa sehingga tamengnya akan menghentikan secara total potensi gangguan yang melumat seluruh peredaran manusia beradab dalam jagat ini.  Seluruh penguni planet bumi memiliki musuh yang sama dan karenanya dalam kebersamaan kita bergandengan tangan sembari mengacungkan tanda siap sedia selalu setiap saat untuk menggempur dan menerjang untuk melumpukan kekuatan asing sejenis Covid 19.

BERDAMAI ATAU BERPERANG?

Berbagai spekulasi coba dibangun dan ditawarkan oleh berbagai kalangan untuk melayani tamu yang tidak diundang ini dalam dua pengandaian dasar. Pengandaian itu meliputi berdamai atau berperang. Berdamai berarti kita meladeni kenyataan ini dengan mengikuti berbagai tututannya sehingga terhindar dari tabrakan yang berakibat kematian. Melalui  kebijakan global ditawarkan beberapa standar kesehatan dan standar sosial kumunikasi. Stndar-standar ini dianggap dan terbukti dapat mendamaikan kita dengan Covid 19. Berperang berarti kita menggunakan senjata dan tameng untuk menyerang dan mempertahankan diri. Hal inipun nampak jelas dengan usaha imun global dalam vaksin yang diberikan. Ataukah kita perlu memperhitungkan adagium orang Yunani yang berusaha melihat prasyarat tertentu dalam paradigma si vis pacem para bellum/jika ingin berdamai, berperang dahulu.

ETHOS BARU BERPENDIDIKAN?

Gumpalan akhir dari rentetan refleksi saya adalah ikhtiar dalam usaha menemukan nilai konstruktif yang menjadi jejak dari pertempuran dahsat yang menghebohkan dunia karena Virus Corona 19. Di setiap sektor kehidupan masih terlihat dan terasa jejaknya. Salah satu di anataranya ada dalam etos baru dalam proses pendidikan. Berpendidikan pasca pendemi dengan sendirinya terkondisi dalam beberapa metode. Melalui beberapa tahap evalusai, berpendidikan pasca pandemi menerapkan sistem daring/dalam ruangan dan luring/luar ruangan. Kedua sistem ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pasca pandemi keduanya saling melengkapi sehingga dapat menutupi kekurangan masing-masing. Kedua sistem ini jika dilakukan secara berimbang akan dapat menjawab kerinduan beberapa pihak-baik guru maupun peserta didik- dalam proses tatap muka sebagaimana lazimnya. Ethos baru berpendidikan dengan sistem ini diharapkan mampu tidak saja tersampikannya ilmu pengetahuan, tetapi juga dapat terus memberi wadah kepada pemuliaan manusia Indonesia.

Dalam kesempatan tertentu, kami para guru selalu berdiskusi tentang perubahan metode dalam proses penetrasi ilmu pengetahuan pasca pandemi ini. Berbagai pendapat yang ada hemat saya justeru menitikberatkan kepada kerinduan yang sama untuk berdialog melalui tatap muka di kelas dengan alasan mendasar tersampaikannya pesan ilmu pengetahuan secara proporsional. Penggunaan media komunikasi seperti HP tidaklah buruk sama sekali, tetapi perlu perimbangan dan kontrol secara berkelanjutan sehingga tidak berakibat kepada mencuatnya fakta baru yang mungkin lebih tragis dari covid19.