Jumat, 29 Maret 2024
Perguruan Tinggi

Pancasila Sebagai Toleransi Kebangsaan, NKRI Harga Mati

Pancasila Sebagai Toleransi Kebangsaan, NKRI Harga Mati

JEMBER – Dalam Rangka Memperingati Hari Lahirnya Pancasila, Fakultas Pertanian Universitas Jember menggelar kegiatan Semarak Bulan Pancasila dengan Tajuk “Pancasila Sebagai Toleransi Kebangsaan, NKRI Harga Mati”, kegiatan tersebut di laksanakan di halaman Fakultas Pertanian, Sabtu malam (18/06/2022). Kegiatan tersebut dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang perihal yang terkandung dalam butir-butir pancasila dan memperkuat rasa toleransi dalam beragama dan bernegara. Hal itu di ungkapkan oleh Prof. Dr. Ir. Soetriono, MP. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember dalam sambutannya di hadapan 600 Mahasiswa baru angkatan 2021 dari Kampus Tegal boto dan Kampus UNEJ Bondowoso.

“Kami harapkan adik-adik di Fakultas pertanian tidak hanya lihat kebijakannya saja, tetapi mengilhami apa yang ada di butir butir Pancasila, diresapi dan diimplementasikan,” katanya.

Prof. Dr. Ir. Soetriono, MP. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember berharap, agar supaya menjaga toleransi dalam beragama, Berempati sesama “Tolong itu dicanangkan jangan sampai terhasut ke sana kemari mengikuti kegiatan-kegiatan yang tidak mencerminkan bangsa Indonesia. Tidak mencerminkan pada sikap tidak mencerminkan Bhinneka Tunggal Tunggal Ika.”pungkasnya.


Di tempat yang sama  K. H. Muhammad Balya Firjaun Barlaman, Wakil Bupati Jember dalam wawancarnya dengan Tim Humas Universitas Jember mengatakan, kegiatan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. “Apa yang diprakarsai oleh FAPERTA itu terkait dengan nilai- nilai kebangsaan tanah ini, kegiatan ini dirasa penting mengingat para mahasiswa sebagai generasi muda kita yang kini semakin kebelakang dan semakin jauh jarak ruang dan waktu dengan founding father kita, sehingga mungkin pemahaman terhadap Pancasila sendiri. Ini semakin berkurang,” tuturnya.

Lalu dirinya menuturkan, forum tersebut penting untuk dilakukan. Pasalnya, generasi muda perlu diberikan pemahaman tentang Ideologi Pancasila, hal ini menurutnya kegiatan tersebut harus di lakukan oleh semua kalangan masyarakat, tidak hanya dari akademisi, hal tersebut penting untuk menemukan nilai kebangsaan dan nasionalisme serta religius.

“Karena pemuda itu biasanya gagah-gagahan, beda perguruan saja sudah pencak silat ini sering utara, padahal itu semua saudara. Nah, bagaimana kita semuanya di bawah merah putih menjadi semuanya menjadi satu keluarga, menjadi satu saudara, walaupun beda agama dan beda daerah,” tuturnya.

Dalam pidatonya dirinya mengatakan, di Indonesia sifatnya inteligen dan sudah terbukti dalam sejarah. “NKRI ini merupakan final, NKRI harga mati. Ya, karena apa? Karena Pancasila sebagai ide sebagai filsafat bangsa ini dan mampu merangkul semuanya, sehingga kemudian lahirlah istilah persaudaraan, yang berisikan tentang trilogi Persaudaraan sesama agama, persaudaraan sesama bangsa, dan persaudaraan sesama manusia,” paparnya. Yang lebih dikenal dengan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah Watoniah dan ukhuwah basyariah.

Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut Dr. Fendi Setyawan, SH., MH. Dengan materi “Pancasila Sebagai Titik Temu” yang dalam penyajian materinya banyak memaparkan hasil survey tentang radikalisme pada masyarakat.

“Ini data reset. Adik-Adik boleh percaya boleh tidak. Tapi ini warning bagi kita semua, dari asia center for strategic and international studies ACSIS, juga melakukan survei terkait dengan sikap bila ada gagasan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. kawanan minimal usia 17 sampai dengan 29 tahun. 9,5 persen setuju, dan non milenial di atas 30 tahun 11,8. Persen, berikutnya penerimaan terhadap pimpinan yang berbeda. Agama ini sangat mencengangkan. Data yang diperoleh oleh ACSIS ada 53,7 persen tidak setuju pemimpin itu adalah nonmuslim untuk milenial. Sementara untuk non milenial jauh lebih besar lagi persentasenya 58,1. Persen. Dari sini bapak ibu sekalian kita memperoleh gambaran bagaimana tingkat toleransi kita,” ungkapnya.

Radikalisme di kampus semakin terbuka, dirinya menceritakan tentang pengalaman menjadi salah satu narasumber pasca kejadian kasus pembuangan sesajen di Kabupaten Lumajang, menurutnta sikap intoleransi sudah begitu kuat. “Padahal secara yuridis saya kemukakan pasal 4 5 undang undang 11 2008 dalam undang undang ITE. Pasal 156 KUH perdata pidana dan pasal 105 6 AQ jelas jelas melarang perbuatan itu, kita tunggu aja tindakan hukum,” ungkapnya.


Terlepas dari data yang dirinya sampaikan. Ada satu ancaman terhadap karakter bangsa. Pertama, menguatnya kepentingan individu. Kedua adalah berkembangnya paham fundamentalisme pasar hal ini berkaitan dengan pengaruh liberalisme dan kapitalisme global. Ketiga, adanya dominasi sistem. Hukum modernland yang kita adopsi melalui organisasi organisasi dunia. Keempat, menguatnya paham kosmopolitanisme, dan kelima adalah menguatnya fundamentalisme agama.

“Kelima hal ini menjadi satu ancaman terhadap keberlangsungan jati diri bangsa kita dan persoalan ini sebenarnya jauh jauh sebelumnya.” Tutupnya. (is)