Selasa, 16 April 2024
Sekolah Menengah Atas

NASIONALISME

NASIONALISME

Nasionalismeku di Hari Ultah Negeri Ke-77

By ; Ollyvia

Hari ini merupakan hari bersejarah bagi Bangsa Indonesia, hari dimana masyarakat begitu antusias menyambut 17 Agustus di tahun 2022 ini. Kegiatan yang padat hampir tak berhenti di sepanjang jalan raya. Termasuk di lingkungan sekolah maupun rumahku. Namun aku justru merasa aneh dengan diriku sendiri, aku sedikitpun tak memiliki semangat untuk merayakan apapun. Sebenarnya ada apa denganku? pertanyaan itu terus melintas di kepalaku. Belakangan ini aku seperti tidak peduli dengan lingkungan di sekitarku, yang kulakukan hanyalah melaksanakan kewajiban sebagai seorang siswa dan manusia biasa. Namun jiwa nasionalisme dan rasa cinta tanah air dalam diriku terasa mulai luntur.

Pagi ini seperti biasa aku melaksanakan tugas sebagai seorang siswa, bangun pagi dan berangkat tepat waktu. Aku menyusuri gang sempit di jalan berbatu menuju sekolahku. Di perjalanan aku bertemu dengan seorang kakek yang tengah kelelahan mendorong gerobaknya, gerobaknya tampak sudah tua dan setengah rusak. Namun kakek itu masih menggunakannya bahkan menghiasnya dengan bendera kebanggaan Indonesia “Merah Putih”. Aku bersyukur ternyata aku masih memiliki rasa empati, aku meluangkan sedikit waktu untuk membantu mendorong gerobak milik kakek, dia menerima bantuanku dengan senyuman manis di wajah keriputnya. Aku bertanya tujuan kakek itu kemana?, dengan nada lembut sambil menunjuk sebuah pondok kecil dengan berbagai hiasan kemerdekaan. Aku terkejut, meski sudah berumur, ia masih memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Sedangkan aku? saat itu juga aku merasa sangat buruk, aku seharusnya sadar bahwa dimasa muda ini, seharusnya aku memiliki semangat kemerdekaan dan rasa cinta tanah air yang lebih besar dari apa yang dimiliki kakek ini, gerutuku dalam hati. Kuberanikan diri berbincang ringan dengannya, aku bersyukur beliau sangat ramah dan bahkan mempersilahkan aku duduk di kursi tua miliknya yang hanya satu-satunya kursi yang berada di luar pondoknya. Kakek itu menawarkan aku segelas air, aku ingin menolak namun beliau langsung mengambil gelas berisi air minum dan menyediakannya di atas meja dan mempersilahkan aku untuk meminumnya. Tibalah saat dimana aku merasa kembali menjadi siswa yang mendengarkan guru berceramah di depan kelasku. bagaimana tidak, sang kakek memulai obrolan dengan menceritakan kisah-kisah pahlawan terdahulu, akupun mendengarkan dengan baik. Sang kakek sering kali merasa sedih ketika melihat anak-anak muda sekarang yang kurang atau bahkan tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, bahkan untuk mencintai tanah air dan bangga terhadap produk lokal pun sangat jarang ucapnya. Beliau juga menceritakan tentang kondisi ekonominya yang serba kekurangan, namun beliau tetap menyisihkan sedikit rejekinya untuk merayakan hari kemerdekaan seperti menghias gerobak dan rumahnya dengan sekedar bendera-bendera sederhana yang terbuat dari kertas berwarna. Kakek itu mengeluhkan kondisi sekitarnya saat ini yang kurang memiliki kesadaran untuk sekedar memasang bendera di depan rumah, kantor ataupun pertokoan. Mereka mempunyai berbagai macam alasan; entah benderanya sudah sobek atau tidak punya tiang bendera, malas , cuaca buruk, dan lain-lain. Padahal mereka mampu membeli keperluan lain yang harganya ratusan bahkan jutaan tiap tahun bahkan setiap bulan dan minggu. Namun, mengapa hanya untuk bendera merah putih yang harganya tidak sampai ratusan ribu mereka tidak sanggup? seketika aku merasa tersindir mendengar ucapan kakek itu. Aku merasa sangat malu, bahkan untuk menyambut kemerdekaan saja aku tidak memiliki semangat sama sekali. Padahal, aku masih muda memiliki banyak tenaga dan waktu, bahkan kondisi ekonomikupun masih sangat stabil. Lalu mengapa rasa nasionalismeku luntur? aku merasa malu seolah aib bagi Negeriku!.

Aku terdiam dan mulai merenungi masalah mentalku, hingga sebelum pamit aku berterimakasih kepada sang kakek, karena telah menyadarkanku. Akupun meminta maaf padanya karena telah menyita waktu kerjanya untuk bisa mengobrol denganku, kusisipkan beberapa lembar uang puluhan ribu di bawah gelas yang hampir separuh airnya sudah kuminum selama mengobrol dengannya. Dalam hati, aku sangat berharap uang yang kuberikan dapat membantu sang kakek, setidaknya mengganti waktu kerjanya atau bahkan sebagai wujud partisipasiku ikut menyemarakkan kemerdekaan melalui semangat sang kakek.

Sambil berjalan dan hampir tiba di gerbang sekolah, aku berjanji dalam diri akan melaksanakan upacara dengan hidmat, pikirku. Kini, semangat dan jiwa nasionalismeku kembali bangkit, bahkan aku dengan semangat kemerdekaan hari ini bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang di adakan oleh sekolahku. Apapun itu!

Semangat 77 Untuk Negeriku… Merdeka! (Editor by ABI).