Sabtu, 20 April 2024
Sekolah Menengah Kejuruan

Menjadi “Guru Merdeka”

Oleh: Sil Joni*

 

Dunia pendidikan formal terus berbenah diri. Roda mesin waktu begitu cepat berputar dan berubah. Perubahan itu mesti direspons secara cerdas dan bijak agar kita tidak ‘tergilas’ oleh mesin waktu itu.

Lembaga pendidikan tentu saja menjadi salah satu  agensi yang diharapkan bisa berkontribusi optimal dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi arus perubahan tersebut. Sekolah masih diyakini menjadi sebuah lembaga ‘pencipta dan pengubah’ wajah peradaban. Tugas merancang peradaban yang bermutu itu, hemat saya, sangat bergantung pada performa kinerja guru ketika berada dalam kelas.

Karena itu, upaya untuk meningkatkan kompetensi guru semakin gencar digalakkan. Kompetensi itu terlihat dari kecerdasan dan kecakapannya dalam menjabarkan kurikulum resmi yang berlaku di sekolah. Kurikulum adalah panduan ideal bagaimana semestinya seorang guru merancang dan mengimplementasikan proses pembelajaran yang berkualitas dalam kelas.

Tetapi, perlu disadari bahwa kurikulum itu hanya sebagai ‘sarana’, bukan tujuan. Untuk itu, pelbagai paket panduan dalam sebuah kurikulum mesti membuat guru merasa ‘merdeka’ dalam mengajar. Secara negatif dapat dirumuskan bahwa kurikulum tidak boleh membelenggu pontensi kreativitas dan inovasi guru. Kurikulum yang lebih berkonsentrasi pada pembuatan administrasi pembelajaran yang kompleks, tentu saja berpotensi mengerdilkan daya kreasi dan inovasi seorang guru.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sedang memperkenalkan dan mensosialisasikan Kurikulum Merdeka pada sebagian sekolah, terutama yang berstatus sebagai sekolah penggerak dan pusat keunggulan.  Kata merdeka dalam kurikulum itu, hemat saya bisa menjadi semacam garansi terwujudnya ideal guru merdeka dalam mengajar.

Dengan perkataan lain, Kurikulum Merdeka (KM) menjadi instrumen efektif lahirnya perubahan revolutif dalam cara guru mengajar. Mengapa? Dalam KM ini, guru diberi kebebasan untuk merancang, mengembangkan, dan menerapkan materi ajar yang bersifat kontekstual dan berbasis pada kebutuhan peserta didik.

Guru didorong untuk merdeka dalam menentukan tujuan pembelajaran, strategi pembelajaran, model dan bahan pembelajaran, serta asesmen pembelajaran yang berpusat pada pencapaian dan peningkatan peserta didik. Kita tidak ingin kembali ke masa lalu yang semuanya serba diatur (administrasi) sehingga menghambat kreativitas dan inovasi dalam berpikir serta berkarya.

Selain itu, menurut Dr. Sudayat, M. Pd guru tidak boleh dicekoki, dibelenggu, dan dijajah oleh buku-buku teks. Masalahnya adalah isi buku tersebut belum tentu kontekstual dan bisa mengakomodasi kebutuhan peserta didik dalam lingkup kebudayaan tertentu. Guru yang terpaku pada buku teks, demikian Dr. Sudayat, ‘adalah contoh guru yang tidak merdeka’.

Bahkan menurut beliau, dalam menyusun perangkat ajar pun, kalau dapat, guru tidak boleh bersandar secara seratus persen pada buku. Idealnya, buku ‘disingkirkan’ ketika merancang, mengembangkan, dan menyusun’ modul ajar yang kontekstual, kreatif, dan berpusat pada kebutuhan peserta didik.

Lalu, apakah dengan itu guru ‘tidak boleh baca buku lagi’? Saya kira, pendapat pak Sudayat itu tidak untuk ‘menghentikan atau mematikan’ budaya baca dalam diri guru. Anjuran itu harus dimengerti dalam konteks penyusunan modul ajar yang kontekstual dan bagaimana ‘menghidupkan modul ajar’ itu dalam proses pembelajaran. Guru mesti tinggalkan gaya lama di mana buku-buku dipikul ke dalam kelas. Anak diminta untuk mencatat buku-buku itu sampai tuntas dan dilanjutkan dengan pemberian tugas. Itu gaya klasik yang cenderung menjajah. Baik guru maupun siswa tidak bisa menghirup udara merdeka sebab dibelenggu oleh ‘gaya konvensional’ itu.

Kendati demikian, tentu tidak mudah untuk menerapkan spirit “guru merdeka” itu. Para guru belum terbiasa dengan ‘iklim merdeka mengajar’ sebab kebijakan pendidikan selama ini bersifat sentralistik. Para guru hanya ‘patuh’ mengikuti setiap instruksi dan panduan yang dibuat oleh pusat.

Kegiatan pelatihan, workshop, in house training implementasi KM pada tingkat satuan pendidikan, bisa menjadi strategi dalam mengatasi kesulitan di atas. Saya sangat optimis bahwa dalam dan melalui pelatihan yang reguler itu, para guru secara perlahan-lahan coba meninggalkan pola konvensional. Guru akan tampil lebih kreatif, kontekstual, produktif, dan bebas dalam menerapkan kegiatan pembelajaran bermutu di kelas. Dengan itu, mimpi untuk menjadi guru hebat, bukan hanya mimpi kosong di siang bolong.