Jumat, 29 Maret 2024
Perguruan Tinggi

PERSADA Gelar FGD Teliti sinergitas Keadilan Restoratif

PERSADA Gelar FGD Teliti sinergitas Keadilan Restoratif

Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) menyelenggarakan focus group discussion (FGD) bertema “Reformulasi Pengaturan Keadilan Restoratif Untuk Tindak Pidana Dengan Pelaku Dewasa”, Rabu, (7/9/2022) di Hotel Atria Malang,. FGD tersebut diselenggarakannya untuk mengkaji lebih dalam terkait implementasi Keadilan Restoratif tindak pidana dengan pelaku dewasa dan bagaimana pelaksanaannya jika dikaitkan dengan peradilan adat.

Menurut Fachrizal, FGD  ini merupakan bagian pelaksanaan dari Hibah penelitian doktor lektor kepala dan hibah penguatan pusat studi yang didukung oleh LPPM dan FH UB. Penelitian ini berfokus pada bagaimana peraturan-peraturan tentang Restorative justice (RJ)dapat menyelesaikan perkara pidana dengan pelaku dewasa? Bagaimana koordinasi atau sinergitas antar apparat penegak hukum? Apa saja kendala yang dihadadapi dan bagaimana solusinya?

IPDA Aji Lukman Syah, S.H. perwakilan dari Kepolisian Resort Kota Malang menyebut RJ untuk pelaku pelaku dewasa sudah dilaksanakan terhadap perkara-perkara tertentu. Kendalanya terhadap si korban, korban ingin segera selesai akan tetapi pelaku tidak mau mengakui, mengingat pengakuan pelaku merupakan salah satu syarat kunci RJ.

Naili Ariyani, S.H., M.H. dari DPC PERADI Malang Raya menyampaikan pengalaman lapangan selama proses mekanisme RJ dimulai dari tingkat kepolisian. Kendalanya adalah ada perbedaan dengan UU SPPA, dimana Keadilan restorative dalam UU SPPA sifatnya wajib, baik di tingkat kepolisian, kejaksan sampai pengadilan, sedangkan untuk pelaku pelaku dewasa tidak ada jaminan seperti demikian.

Kusbiantoro, S.H., M.H. dari Kejaksaan Negeri Kota Malang mengatakan bahwa RJ adalah perintah direktif dari presiden dan kejagung. Berkaitan dengan RJ ada beberapa persyaratan yg harus dipenuhi semisal dengan nilai kerugian barang minimal 2,5 juta kecuali ada limitative, dan korban memaafkan. Di samping itu, Kusbiantoro, S.H., M.H. Kepala Seksi (Kasi) Pidana Umum (Pidum) Kejari Kota Malang juga berharap bahwa PERSADA UB sebagai perwakilan dari kalangan peneliti dan akademisi juga dapat turut serta dalam upaya perwujudan keadilan restoratif yang berkeadilan bagi tindak pidana dengan pelaku dewasa, yakni dengan cara melakukan kajian-kajian penelitian yang berkaitan dengan keadilan restoratif baik dari segi dasar aturan hukum terkait, praktik di lapangan, maupun perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah keadilan restoratif diterapkan, yakni apakah perubahan tersebut telah sesuai dengan cita-cita penerapan keadilan restoratif itu sendiri ataukah tidak.

Hakim Brelly yuniar, S.H., M.H. dari Pengadilan Negeri Kota Malang) menyebut ketiadaan payung hukum menjadi salah satu kendala penerapan RJ. Mahkamah Agung akan mengeluarkan SEMA tentang Restoratif Justice akan tetapi belum diterbitkan hingga saat ini. Semestinya RJ dimuat dalam suatu UU karena ini hukum acara sehingga sebenarnya tidak bisa apabila hanya memakai aturan-aturan Lembaga karena akan  berdampak pada implementasi di lapangan.

Ketua Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas 1 Malang, Sugandi, S.H., M.H. juga menyampaikan bahwa di Indonesia, saat ini hanya ada 10 BAPAS yang ditunjuk sebagai pengawal pelaksanaan keadilan restoratif untuk tindak pidana dengan pelaku dewasaSugandi, S.H., M.H., menyampaikan bahwa pihaknya berharap perlu adanya sinergi antara Aparat Penegak Hukum (APH), Advokat, Kementerian, serta pihak terkait lainnya dalam upaya perwujudan pelaksanaan keadilan restoratif. Menyambung dengan harapan tersebut, seluruh responden juga bersepakat bahwa memang diperlukan adanya suatu payung hukum yang jelas dan seragam sebagai pedoman bersama bagi para Aparat Penegak Hukum (APH) dalam pelaksanaan keadilan restoratif untuk tindak pidana dengan pelaku dewasa.

Selain BAPAS, Dinas Sosial P3AP2KB Kota Malang melalui perwakilannya yakni Dra. Titik K. Tri K. juga menyampaikan bahwa bagi pihak DINSOS, fokus penerapan keadilan restoratif DINSOS ialah pada upaya rehabilitasi sosial. Dalam forum FGD tersebut, Ketua dari YLBHI LBH Surabaya Pos Malang, Daniel Alexander Siagian, S.H. juga memberikan paparan mengenai kondisi objektif sulitnya pendampingan kasus struktural yang mana terdapat beberapa potensi ketidak-adilan yang muncul seperti adanya kriminalisasi, unfair trial, penyiksaan (torture), anti-SLAPP, serta hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dan intimidasi.

Semua perwakilan lembaga penegaka hukum yang hadir berharap bahwa PERSADA UB dapat terus menjadi inisiator untuk pengadaan agenda-agenda serupa serta dapat terus ikut berperan dalam upaya perwujudan sinergitas dari seluruh pihak terkait untuk mendukung pelaksanaan keadilan restoratif khususnya bagi tindak pidana dengan pelaku dewasa di Indonesia, baik dengan cara menjadi inisiator dalam pembentukan MoU, kerjasama, maupun upaya-upaya lain yang diperlukan.

Di akhir, sebelum menutup acara tersebut, Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H. selaku Ketua PERSADA UB yang juga sebagai fasilitator dalam diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pada intinya, pelaksanaan keadilan restoratif tentu berkaitan erat dengan proses penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, diskresi jaksa, diskresi kepolisian, dan hal-hal terkait lainnya. Pada dasarnya, segala bentuk proses yang berkaitan dengan hukum acara pidana memang seharusnya diatur di dalam KUHAP. Ia juga menyampaikan bahwa apabila terdapat keinginan dan tekad yang kuat, maka pembentukan peraturan bersama soal pelaksanaan keadilan restoratif tersebut sangat dimungkinkan. Cara efisien yang dapat dilakukan saat ini ialah dengan cara melakukan perubahan secara parsial terhadap KUHAP. Maksudnya ialah bahwa pembentuk peraturan bisa memasukkan beberapa butir norma yang mengatur mengenai keadilan restoratif dalam KUHAP, tidak harus merubah semua isi KUHAP, atau bisa juga melalui PERPU. Namun di sisi lain, kendala yang ada pada pelaksanaan sistem peradilan pidana Indonesia ialah pada upaya perwujudan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang masih menjadi PR bersama sejak dahulu hingga saat ini.

Adapun yang menjadi peserta FGD adalah perwakilan dari Lembaga penegak hukum dan pihak terkait di Kota Malang dari Kepolisian Resort Kota Malang, DPC PERADI Malang Raya, Kejaksaan Negeri Kota Malang, Pengadilan Negeri Kota Malang, Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Malang, Dinas Sosial  P3AP2KB Kota Malang,YLBHI LBH Surabaya Pos Malang serta perwakilan dari LPBH NU Kota Malang