Sabtu, 20 April 2024
Perguruan Tinggi

Memetik Pelajaran dari Proses Perdamaian Aceh

Memetik Pelajaran dari Proses Perdamaian Aceh

Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (PSHI UII) menggelar kuliah umum bertema “Pathway to Peace: Lesson Learned from Aceh” di Gedung Perpustakaan Moh. Hatta UII pada Rabu (28/9). Kuliah umum ini menghadirkan Paduka Yang Mulia Teungku Malik Mahmud Al Haythar selaku Wali Nanggroe Aceh. Peserta kuliah umum sebagian besar merupakan mahasiswa PSHI UII.

Aceh telah mengalami konflik selama kurang lebih 30 tahun dari 1976 hingga 2005. Konflik ini berdampak luar biasa pada tatanan politik, ekonomi, hukum, keamanan, kehidupan, keagamaan, dan sosial budaya masyarakat Aceh. Di sisi lain, Aceh telah menjadi modal perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan Soekarno, Presiden Indonesia pertama, kerap kali menyebutkan hal tersebut dalam pidatonya. 

Masyarakat Aceh berprinsip pada ajaran Islam dan adat budaya Aceh memperjuangkan keadilan, kebenaran dan harkat martabat kemanusiaan secara terus menerus. Dalam konteks ini, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia berusaha untuk menyelesaikan konflik dan mencapai perdamaian melalui negosiasi dan perundingan yang dilaksanakan dalam beberapa tahap.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menyampaikan pesan harapan agar perdamaian terus mengisi ruang di Republik Indonesia. “Saya percaya tak mungkin pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa dapat diletakkan dengan kuat tanpa perdamaian”, ujarnya membuka sambutan.

Perundingan pertama pada tahun 2000 dilaksanakan di Jenewa tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Poin-poin yang ada dalam perundingan pada praktiknya belum dapat diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia.

Hingga pada 24 Desember 2004, Aceh dilanda gempa dan tsunami yang memicu perhatian banyak negara. Pihak internasional pun mengajak pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan perundingan ketiga di Helsinki, Finlandia dengan diawasi oleh Uni Eropa dan 4 Negara anggota ASEAN; Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam pada implementasinya melalui Aceh Monitoring Mission (AMM). Perundingan ketiga ini menghasilkan poin-poin yang saat ini dimuat dalam Undang-Undang No.11 tahun 2006, walaupun pada praktiknya, masih ada butir-butir yang belum terealisasikan.

Pelajaran yang dapat diambil dalam proses resolusi konflik di Aceh antara lain dapat membangun kepercayaan antara kedua belah pihak yang berkonflik, sekaligus pihak ketiga/fasilitator yang memfasilitasi mediasi konflik seperti Crisis Management Initiative (CMI), serta menghadirkan komitmen dalam implementasi poin-poin yang disepakati dalam perundingan secara konsisten dan bertanggung jawab. 

“Pelajaran penting yang dapat dipetik adalah kesadaran untuk membangun perdamaian sangat utama. Hal ini menjadi tugas untuk implementasi UU tentang Aceh. Kita meyakini perdamaian akan tercapai secara berkelanjutan apabila bersungguh-sungguh dalam mewujudkannya”, ungkap Wali Nanggroe Aceh, Teungku Malik Mahmud Al Haythar.

Sebelumnya, pada masa Orde Baru masyarakat Aceh mengalami berbagai ketidakadilan di berbagai dimensi. Seperti wewenang mengelola sumber daya alam daerah yang sangat terbatas. Selain itu, kondisi kesehatan dan infrastruktur di Aceh pada masa itu juga sangat memprihatinkan. 

“Dialog dilakukan untuk menghindari kekalahan yang lebih besar. Jika perundingan tidak tercapai, skenario yang terjadi adalah salah satunya menang atau keduanya kalah. Jika berunding keduanya bisa saja menang”, terangnya. (AP/ESP)