Jumat, 19 April 2024
Perguruan Tinggi

Wanita Karier vs Ibu Rumah Tangga? Perempuan Tidak Perlu Memilih

Wanita Karier vs Ibu Rumah Tangga? Perempuan Tidak Perlu Memilih

Ilustrasi mengenai wanita karier dan ibu rumah tangga (sumber: freepik)

Kampus ITS, Opini – Perempuan sebagaimana manusia, pada hakikatnya memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka terlepas dari bagaimana dan apa pilihan yang akan dituju kelak. Meskipun demikian, ketika perempuan berani mengambil keputusan, masyarakat masih terjebak pada perdebatan usang. Yaitu lebih mulia bagi perempuan untuk menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga?

Dilansir dari Katadata, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Berangkat dari hal tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa tidak sedikit perempuan yang menjajaki tekad besar dengan melanjutkan pendidikan dan menempuh karier lebih jauh hingga berada pada puncak tertinggi suatu organisasi. 

Perempuan memiliki spektrum yang sangat luas dalam mengambil langkah ke depan, yang bisa diakses lewat banyak cara. Sayangnya, perempuan selalu dihadapkan pada persimpangan jalan terkait ketetapan-ketetapan dalam hidup mereka. Seolah-olah setiap batu lompatan yang perempuan ambil sangat terbatas dan tidak pernah tepat. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya perdebatan dan stereotip masyarakat terkait wanita karier dan ibu rumah tangga.

Stereotipe terkait peran wanita karier dan ibu rumah tangga di masyarakat (sumber: Turseena Amelia)

Permasalahan muncul dan berputar pada mana pilihan hidup yang lebih baik, mana pilihan hidup yang lebih mulia, hingga mana pilihan hidup yang memiliki derajat lebih tinggi. Pertentangan ihwal menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga diiringi dengan pendapat-pendapat subjektif dan acapkali menjatuhkan satu sama lain. Mirisnya, penyulut api perseteruan tersebut tidak sedikit yang datang dari perempuan sendiri.

Wanita karier dilabeli sebagai perempuan independen yang berdikari, mandiri, dan penuh kebebasan karena mampu menghasilkan pendapatan sesuai kehendak mereka. Namun, ibarat belati bermata dua, mereka juga dinilai buta terhadap urusan rumah tangga, cenderung tidak peduli dengan keluarga, dianggap tidak paham cara mendidik anak, perempuan tidak perlu sekolah terlalu tinggi, dan hanya berorientasi pada kesejahteraan hidupnya saja.

Perempuan bisa menjadi wanita karier, ibu rumah tangga, keduanya, atau bahkan tidak keduanya (sumber: Clare O’Hagan)

Demikian pula yang terjadi pada ibu rumah tangga, mereka dipandang sebagai perempuan yang penuh pengorbanan untuk suami dan anak. Namun, di saat yang bersamaan dinilai bersembunyi di balik ketiak pasangannya, tidak memiliki hidup sendiri dan masa depan, serba ketergantungan, hingga dipandang tidak berpendidikan. Bahkan, tidak jarang peran ibu rumah tangga disamakan dengan asisten rumah tangga (ART).

Kemudian, menggarisbawahi dua stereotip di atas, pertanyaan paling dasar yang lantas muncul, “apakah kehidupan perempuan adalah tempurung kura-kura yang hanya memiliki dua alternatif hidup saja?” Tidak, perempuan tidak perlu memilih di antara kedua opsi tersebut. Perempuan berhak menjadi wanita karier, ibu rumah tangga, keduanya, atau bahkan tidak keduanya. Kebebasan perempuan tidak bisa dikotak-kotakkan begitu saja karena perempuan multiperan.

Ibu rumah tangga juga melakukan pekerjaan sesuai perannya (sumber: susanadevi.com)

Seperti judul lagu Raisa yaitu Serba Salah, keputusan hidup perempuan tidak ada yang lebih baik karena menjadi wanita karier maupun ibu rumah tangga bukanlah cabang olahraga Olympic yang harus dijadikan kompetisi. Baik atau tidaknya pilihan hidup, pada akhirnya hanya akan dirasakan oleh masing-masing orang dalam bentuk tanggung jawab dan bukan karena adanya perbedaan derajat dalam pilihan sehingga memutuskan pilihan hidup tanpa perlu dihantui stigma adalah hak perempuan. 

Pandangan terhadap perempuan sebagai kelompok marginal yang hanya boleh merangkak dalam dapur, sumur, dan kasur sejatinya perlahan terkikis. Konsep tentang perempuan sebagai strata kedua tidak lagi relevan dengan digalakkannya narasi terkait kesetaraan, meskipun hingga sekarang dorongan kepada kesetaraan masih terus diperjuangkan. Memang ada serigala dalam diri setiap perempuan, tetapi jangan sampai serigala itu mengoyak daging serigala lain. (*)

 

Ditulis Oleh:
Yanwa Evia Java
Mahasiswa S-1 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota
Angkatan 2019
Reporter ITS Online