Jumat, 19 April 2024
Perguruan Tinggi

Prof. Syamsudin dan Prof. Agus Widarjono Dikukuhkan Sebagai Guru Besar

Prof. Syamsudin dan Prof. Agus Widarjono Dikukuhkan Sebagai Guru Besar

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Dr. M. Syamsudin, S.H., M.H. dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Hukum, pada Kamis (24/11/), di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII. Bersamaan, Prof. Drs. Agus Widarjono, M.A., Ph.D. yang merupakan dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII juga dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Ekonomi.

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Berhukum Profetik di Tengah Kalatidha, Prof. Syamsudin mengemukakan Serat Kalatidha berisi tentang kritik sosial profetik yang mendiskripsikan situasi sulit, kacau, banyak terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran moral, gambaran masyarakat yang rakus dan loba.

“Serat Kalatidha mengandung muatan gambaran realitas sosial, kritik sosial, pendidikan moral, dan sekaligus falsafah hidup,” paparnya.

Serat Kalatidha tersebut, dijelaskan Prof. Syamsudin, ditempatkan sebagai latar sosial dan pertimbangan filosofis-teoretis perlunya membangun, memformulasi dan menghadirkan Ilmu Hukum Profetik (IHP).

“Ilmu Hukum Profetik berbasis ontologis pada humanisasi (amar ma’ruf), epistemologi liberasi (nahi munkar), dan aksiologi transendensi (tukminuna billah/tauhid),” paparnya.

Etos IHP tersebut menurut Prof. Syamsudin mendasarkan pada pandangan bahwa teks-teks hukum adalah sebuah teks mati dan akan menjadi hidup dan bermakna pada saat diberikan etos yakni spirit dan jiwa profetik sehingga memberi makna dan manfaat bagi kehidupan manusia. Spirit dan jiwa profetik didasarkan pada humanisasi, liberasi dan transendensi.

Lebih lanjut dikemukan Prof. Syamsudin, IHP sangat penting dihadirkan di tengah kalatidha sebagai alternatif pengembanan hukum secara teroretis maupun praktis, sebagai alternatif mengatasi berbagai problem sosial, budaya, moral, politik dan hukum yang muncul di tengah-tengah masyarakat, khususnya bangsa Indonesia.

“Kalatidha akan selalu muncul dan hadir di manapun dan kapanpun, baik secara individu maupun kolektif, baik pada tipe masyarakat sederhana, masyarakat madya, masyarakat modern dan postmodern,” tandas Prof. Syamsudin.

Islam Membangun Sistem Keuangan Tanpa Konsep Riba

Sementara itu, Prof. Agus Widarjono menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Meneguhkan Kembali Prinsip Ekonomi Bagi Hasil Bank Syariah Menuju Kestabilan Sektor Perbankan.

Dalam pidato pengukuhannya tersebut, Prof. Agus Widarjono mengemukakan bahwa Islam membangun sistem keuangan tanpa konsep riba (suku bunga). Lembaga keuangan syariah terdiri dari perbankan syariah, sukuk, reksa dana syariah, takaful dan lembaga keuangan Islam lainnya.

“Total asset tahun 2020 sebesar US$ 3.374 dimana perbankan syariah merupakan sektor terbesar dari sektor keuangan syariah (US$ 2.349 miliar). Bank syariah di Indonesia menduduki peringkat 10 besar dengan total aset US$ 39 miliar,” paparnya.

Prof. Agus Widarjono menuturkan sebagai pemain paling akhir memasuki dunia perbankan di Indonesia, kinerja keuangan perbankan syariah sangat baik selama periode 2012-2021. Kecukupan modal (CAR) sebesar 16,29%, di atas batas ambang minimum sebesar 12%. Keuntungan (ROA) sebesar 1,45%, di bawah batas ambang 1,5%. Pembiayaan macet (NPF) sebesar 3,31%, dibawah bawah ambang batas 5%.

“Pembiayaan (FDR) sebesar 88.82%, lebih tinggi ambang batas maksimum 75%. Efisiensi operasi (BOPO) sebesar 85,76%, dibawah batas maksimum 94%,” tambahnya.

Kendati demikian menurut Prof. Agus Widarjono, meskipun telah berjalan selama lebih dari 25 tahun, masih banyak kedala dan tantangan yang dihadapi oleh bank syariah. Di antaranya adanya profit-driven consumers, rendahnya efisiensi dan mahalnya produk bank Syariah, rendahnya bagi hasil (Displaced Commercial Risk), dan rendahnya porsi pembiayaan bagi hasil.

Akibatnya, lanjut Prof. Agus Widarjono, bank Syariah belum bisa bersaing dengan bank konvensional dalam menghimpun dana masyarakat dan memberi pembiayaan kepada para pelaku usaha.

Agar bank Syariah bisa bersaing maka perlu skala prioritas dalam mengatasi kendala dan tantangan yang dihadapi. Prioritas utama adalah mengembalikan konsep bisnis bank Syariah ke core business yaitu meningkatkan porsi pembiayaan bagi hasil melalui pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah.

Menurut Prof. Agus Widarjono ada beberapa kelebihan model pembiayaan bagi hasil. Pertama, pembiayaan bagi hasil merupakan akad yang adil karena kerugian atau keuntungan dibagi bersama, memberikan insentif yang lebih kuat bagi pengusaha dalam menjalankan usahanya.

Kedua, pembiayaan bagi hasil akan menghasilkan kestabilan bank Syariah. Ketiga, adanya fleksibilitas dalam pembayaran kembali pembiayaan yang diberikan yang cocok untuk usaha UMKM sebagai mayoritas jenis usaha di Indonesia.

Lebih lanjut dikemukakan Prof. Agus Widarjono, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan musyarakah akan menurunkan resiko pembiayaan, pembiayaan bagi hasil meningkatkan keuntungan dan menjadikan bank syariah mampu bertahan dan berkembang ketika krisis ekonomi terjadi.

Oleh karenanya menurut Prof. Agus Widarjono peningkatan size bank Syariah menjadi penting untuk dilakukan. Sebagai pemain terbaru dalam sistem perbankan ganda, bank syariah belum mencapai skala ekonominya. Oleh karena itu, bank syariah menghadapi biaya operasional yang tinggi sehingga belum bisa memberikan harga rendah untuk produknya.

“Rata-rata aset bank syariah di Indonesia sebesar 21,31 triliun sehingga belum memenuhi syarat minimal mencapai skala ekonomi,” tandas Prof. Agus Widarjono. (LY/RS)