Rabu, 17 April 2024
Perguruan Tinggi

HAJAR ASWAD DAN DONASI BENCANA

HAJAR ASWAD DAN DONASI BENCANA

(UINSGD.AC.ID)-Ketika ka’bah roboh diterpa banjir bandang, masyarakat Qurais bahu membahu memperbaiki Baitul ‘Atiq itu. Semula mereka seiring sejalan, namun ketika hendak meletakan kembali Hajar Aswad pada salah satu sudut Ka’bah, para pemuka Qurais terlibat dalam seteru. Bagi mereka, memiliki kuasa untuk meletakan kembali Hajar Aswad adalah kehormatan dan kemuliaan.

Ketika perseteruan nyaris berbuntut perang saudara. Mereka sepakat, bahwa siapa saja yang pertama kali masuk ke Masjidil Haram, itulah orang yang memutuskan Kabilah mana yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad. Dalam penantian ditemui, ternyata orang yang pertama masuk Masjidil Haram adalah Muhammad bin Abdullah. Mereka yang terlibat dalam seteru, kemudian sepakat mengangkat Muhammad sebagai pengambil keputusan.

Setelah mendengar masalah yang dihadapi. Diluar dugaan, sorang pria yang dijuluki al-Amin itu, membentangkan sorban yang dipakainya. Beliau letakan Hajar Aswad di atasnya. Para tokoh Qurais yang berseteru diajak untuk mengangkat setiap sudut kain sorbannya. Lalu mengangkat Hajar Aswad itu bersama-sama. Semua tokoh Qurais yang berseteru tersanjung, mereka merasa diperlakukan sangat adil atas keputusan itu.

Terkait bencana alam yang kerap menimpa, sangat banyak elemen dari bangsa ini yang terketuk nuraninya untuk bergerak menghimpun donasi. Sayang motivasinya beragam, ada yang tulus menghimpun donasi untuk kemanusiaan, ada yang demi melejitkan popularitas diri dan organisasi, ada juga untuk kepentingan konversi iman korban bencana. Bahkan tidak sedikit yang menghimpun donasi sebagai muslihat untuk memperkaya diri.
Bagi mereka yang menghimpun donasi untuk melejitkan popularitas diri dan organisasi.

Bencana alam dan ragam musibah yang menimpa, menjadi “berkah” baginya. Disimpulkan demikian, sebab semakin banyak musibah yang menimpa, akan semakin banyak momentum untuk pansos sekaligus membangun citra positif diri dan oraganisasi.

Bagi mereka yang menghimpun donasi untuk kepentingan konversi iman para korban bencana. Donasi yang mereka himpun, jelas nihil dari nilai kemanusiaan. Ragam bantuan yang didistribusikan ia posisikan sebagai umpan untuk memancing korban agar pindah keimanan dan keyakinaa. Pada motivasi ini, donasi yang sejatinya menjadi solusi, tak jarang menjadi masalah yang memantik potensi konflik yang tinggi.

Bagi mereka yang menghimpun donasi untuk memperkaya diri. Bencana alam dan musibah yang menimpa, adalah ATM yang bisa ia gesek demi mengumbar nafsu hedonnya. Laiknya begal, dengan biadab dan bengal ia jegal donasi untuk saudaranya yang tertimpa musibah. Mereka adalah muslihat yang berkedok donasi.

Sebagai negara yang memiliki kondisi geografis dan demografis yang rawan bencana, dimana faktor-faktor seperti; degradasi lingkungan, pembangunan yang tidak berbasis pada kajian resiko bencana, populasi pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi serta peningkatan kebutuhan lahan untuk tempat tingal yang kadang abai pada persoalan lngkungan hidup. Maka resiko untuk hadirnya bencana alam akan semakin tinggi.

Karena itu, bila bencana menghampiri, mari kita belajar dari Hajar Aswad. Menghimpun donasi untuk membantu yang tertimpa musibah, laiknya memindahkan Hajar Aswad pada tempat asalnya. Hal ini merupakan sesuatu yang Mulia. Untuk kemuliaan itu, awali donasi dengan mengendalikan motivasi rendahan. Bukan untuk popularitas apalagi umpan untuk konversi iman. Donasi dilakukan demi kemanusiaan. Setelah itu, mari bencana ini kita tanggung bersama demi kepentingan bersama, dan kemulaan bersama.

Dr Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Pikiran Rakyat 29 November 2022