Jumat, 29 Maret 2024
Perguruan Tinggi

Dosen UII Berikan Pandangan Mengenai Perppu Cipta Kerja

Dosen UII Berikan Pandangan Mengenai Perppu Cipta Kerja

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. memberikan pandangannya terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja. Menurutnya, pemerintah wajib mempelajari pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), baik dari segi perbaikan proses legislasi maupun terkait UU Cipta Kerja yang telah diperintahkan MK.

Ia berpendapat bahwa dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja membuktikan pemerintah, terutama Presiden tidak memiliki itikad baik untuk mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.  Dalam putusan MK tersebut, salah satu amarnya yaitu: “Memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen”. 

Artinya lebih diutamakan untuk memperbaiki Perppu Cipta Kerja, apalagi MK telah memberikan jangka waktu selama 2 tahun sejak putusan. Waktu yang sangat cukup apabila pemerintah mau memperbaiki.

“Pemerintah juga melecehkan lembaga DPR selaku lembaga pembentuk Undang-Undang, karena dengan dikeluarkannya Perppu ini, pemerintah meminggirkan peran DPR,” kata Allan yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) UII.

Lebih jauh ia juga menilai, pemerintah juga meminggirkan partisipasi publik dalam proses pembentukan regulasi. “Pemerintah juga mengambil jalan pintas yang sesat yaitu dengan menggunakan dalih adanya kegentingan yang memaksa untuk menghanyutkan partisipasi publik,” imbuhnya. 

Prosedur dikeluarkannya Perppu berlandaskan Pasal 22 UUD NRI 1945 yaitu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang. Kemudian peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. “Artinya, Perppu hanya dapat dikeluarkan jika negara dalam keadaan genting memaksa,” tegasnya. 

Apakah Benar Ada Kegentingan yang Memaksa?

Meskipun kegentingan memaksa merupakan hak subjektif presiden, namun terdapat tiga kriteria kegentingan memaksa yang dapat merujuk pada Putusan MK 138/PUU-VII/2009, yaitu, (1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, (2) UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada, (3) terjadinya kondisi kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Menurut penuturan Allan Fatchan Gani Wardhana, faktanya, kekosongan hukum tidak ada. Dalam amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK Menyatakan UU 11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun. 

“Artinya Perppu Cipta Kerja masih berlaku sampai dilakukan perbaikan hingga November 2023. Waktu 10 bulan sangat cukup untuk melakukan revisian, bukan malah mengeluarkan Perppu UU Cipta Kerja,” tegasnya. 

Dampak Disahkannya Perppu Cipta kerja

“Dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini berdampak buruk bagi hubungan antar lembaga negara yaitu antara Presiden, DPR, dan MK. Presiden tidak menghormati putusan MK sekaligus tidak menghormati DPR selaku lembaga pembentuk Undang-Undang,” ucapnya. 

Pengesahan Perppu Cipta kerja ini menurutnya juga akan merusak sistem legislasi sebagaimana telah diatur dalam UU 13/2022. “Padahal kalau kita lihat dalam UU 13/2022, tidak ada ketentuan yang membolehkan Perppu dibuat dengan metode omnibus,” imbuhnya. 

Penggunaan metode omnibus dalam UU 13/2022 secara khusus hanya boleh dilakukan bila tahapannya dimulai dengan mencantumkannya di dalam dokumen perencanaan peraturan, seperti prolegnas.

“Apabila DPR memiliki akal sehat, Perppu ini harus ditolak karena telah meminggirkan peran DPR untuk ikut memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK,” jelasnya. 

Di sisi lain, sudah terdapat gugatan pengujian Perpu ke MK. “Oleh karena itu MK dalam menguji harus hati-hati, kritik publik harus didengarkan, mampu memainkan peran sebagai the guardians of constitution serta apabila pemerintah membangkang konstitusi, sudah menjadi tugas MK untuk menegakkan dan menertibkannya,” pungkasnya. (LMF/ESP)