Sabtu, 20 April 2024
Sekolah Menengah Atas

“Menggugat” Keadilan

Johannes Pieter P.A.Callas, S.Pd, Gr

Oleh : Johannes Pieter P.A.Callas, S.Pd, Gr

Pendidikan abad 21 mengharuskan pembelajaran kontekstual menjadi satu satunya cara yang ampuh untuk mengangkat derajat manusia ke titik yang maksimal. Karena melihat tradisi yang dijalankan selama ini belum mampu menjawab manusia memecahkan berbagai problem sosial yang ada di sekitarnya.

Hal lain juga, dalam pendidikan abad 21 ini identik dengan pendidikan berbasis digital. Dimana semua elemen pendidikan baik dari pengambil kebijakan, sekolah, masyarakat ataupun murid dan guru mau tidak mau segera bertranformasi ke dalam dunia digital.

Di banyak negara di belahan dunia ini,sedang gencar-gencarnya transformasi pendidikan. mengingat, hal ini penting demi kemajuan suatu bangsa. Sudah saatnya isu-isu pembangunan sumber daya manusia menjadi topik utama yang perlu digarap oleh suatu negara.

Dalam konteks ini, Indonesia mengambil langkah yang proaktif, guna menghindari ketertinggalan, serta mempercepat proses perpisahan kesenjangan dengan negara negara lainnya. Melalui kementerian pendidikan, akhirnya kebijakan tranformasi pendidikan menjadi suatu komitmen bersama untuk mendukung gerakan perubahan di dunia pendidikan.

Saat dimana seluruh penghuni bumi ini mengalami krisis kesehatan Global, terlebih khusus Indonesia, sektor pendidikan menjadi salah satu dari sekian banyak sektor yang mendapat tamparan paling serius oleh makhluk astral asal Wuhan itu. Tidak sedikit anak-anak indonesia yang putus sekolah akibat ganasnya wabah ini, dan berpotensi mengancam masa depan mereka.

Pendemi covid 19 memaksa cara kerja manusia lebih extraordinary untuk merespon kerja-kerjanya. Karena,apa yang dilakukan manusia selama krisis kesehatan global ini tidak lebih dari bentuk proteksi dari badai covid 19. Sehingga memaksa kita untuk berdiam diri di rumah, dan berkerja dari rumah.

Tidak sedikit juga masyarakat Indonesia menganggap pendemi covid-19 ini merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup.Namun, disisi lain saya melihat pendemi covid-19 ada manfaat laten yang secara tidak sadar kita dapat darinya. Sepertinya apa itu? Jelas memaksa kita untuk beradaptasi dengan dunia baru yaitu, dunia digital, yang salah satunya juga dalam dunia pendidikan.

Sebelum kita menyadari manfaat laten itu,kita mengklaim dunia pendidikan di tanah air sedang diselimuti kabut hitam, semua aktivitas belajar terpaksa dihentikan sejenak. Tapi, niat tulus pemerintah tidak pernah berhenti untuk menggerakkan roda pemberdayaan. Sehingga, Covid-19 memaksa kita keluar dari cara cara lama untuk bisa segera beradaptasi di era pendidikan abad 21, yang salah satunya ialah digitalisasi pendidikan.

Namun, perjalanan perkembangan pendidikan di tanah air saat ini tidak bisa dikatakan mulus. sederet persoalan masih banyak yang terkubur dan belum tuntas,karena secara keseluruhan pendidikan di tanah air harus masuk pada fase transformasi digital. Sebab, pekerjaan rumah yang paling besar dari transformasi pendidikan kita adalah bagaimana untuk menyelaraskan segala sumber daya yang ada di semua sekolah.

Hal ini akhirnya muncul ke permukaan, bahwa kesenjangan sumber daya digital di semua sekolah hampir tidak terdistribusi secara merata. Tentunya hal ini menjadi hambatan untuk kita semua. Dalam mendukung gerakan-gerakan perubahan tadi. Kondisi ini juga sangat berdampak pada kemajuan pendidikan kita, selain keterbatasan akses literatur,bisa jadi memicu munculnya sikap psimitis dari pihak sekolah yang belum merasakan kue pembangunan itu.

Untuk sekolah sekolah yang berada di wilayah 3T (Tertinggal, Terlalu, Terpencil) tentu sangat merasakan, serta dilematis. Di sisi lain kita dipaksa untuk belajar dari rumah, di sisi lain kita dipaksa untuk segera bertranformasi ke sistem digital. Probelm seperti ini tidak bisa dilihat sebelah mata, mengingat pemerataan akses jaringan internet untuk semua sekolah harus bisa menjadi prioritas, dan tidak bisa menggunakan prinsip sekolah sekolah di luar wilayah 3T menjadi prioritas.Untuk itu, sangat disayangkan jika ukuran keberhasilan pendidikan kita menggunakan standar wilayah kota,yang eksotik, kaya akan sumber daya.

Kesenjangan-kesenjangan infrastruktur digital semacam ini bisa saja memunculkan stigma di mata publik, bahwa jika kita bicara tentang mutu pendidikan itu selalu identik dengan Jawa atau wilayah kota. Sebaliknya jika berbicara tentang kegagalan pendidikan kita itu selalu identik dengan sekolah sekolah yang berada di wilayah 3T. Apa yang perlu kita analogikan di sini ialah bahwa, Indonesia tidak bisa saja diterangi oleh obor yang ada di Monas. Tapi, Indonesia akan menjadi lebih terang oleh lilin-lilin kecil di daerah yang terpencil.

Harapannya, cerita tentang kesenjangan infrastruktur digital hari ini tidak terus bernapas panjang. Perlu sentuhan sentuhan tangan mulia dari pemerintah untuk upaya pemerataan infrastruktur jaringan komunikasi di setiap sekolah guna mendukung spirit pembelajaran kontekstual untuk wajah pendidikan Indonesia yang lebih cerah kedepannya.