Jumat, 19 April 2024
Perguruan Tinggi

Gagasan UU Restorative Justice untuk Kepentingan Rakyat

Gagasan UU Restorative Justice untuk Kepentingan Rakyat

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M., mengapresiasi gagasan pembentukan Undang-Undang (UU) Restorative Justice oleh Forum Silaturahmi Doktor se-indonesia (Forsiladi), karena untuk kepentingan rakyat dan bangsa. Hal ini disampaikan Reda dalam Stadium General “Restorative Justice: Pentingnya Lahirnya Undang-Undang Keadilan Restorative, Demi Kepastian Investasi Ekonomi di Indonesia” dan Pelantikan Forsiladi Provinsi DKI Jakarta, di Aula Kasman Singodimedjo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ), Rabu (18/23).

“Saat ini UU Restorative Justice (RJ) belum ada, oleh karena itu gagasan Forsiladi sangat baik dan luar biasa. Target kapan UU ini terbentuk, karena ini adalah ide dan/atau wacana, nanti terserah Forsiladi untuk dikirim ke DPR, Baleg, karena ini bukan kepentingan kepolisian, kepentingan kejaksaan, dan kepentingan peradilan, tetapi kepentingan rakyat dan bangsa yang terlibat masalah hukum agar tidak berlarut-larut,” ujar Reda. Diketahui, penerapan RJ di Indonesia diatur dalam Peraturan Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung, dalam Kejaksaan sudah menyelesaikan kurang lebih 1400 kasus dengan RJ.

“Ada perdamaian yang sudah diselesaikan yang melibatkan kasus anak, perempuan, dan kejahatan ringan yang sudah ditentukan,” ujar Reda. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa dalam Pasal 132 huruf g KUHP baru, RJ sudah ada dan akan memperkuat apabila dibentuk dengan UU RJ.

“RJ diperlukan karena over capacity di lapas menembus 500%. Dengan adanya RJ ini mudah-mudahan pelaku pidana dapat menurun seperti di Belanda yang lapasnya kosong. Pada dasarnya RJ ini mengenai tindak pidana ringan dengan penyelesaian melalui proses ritual maaf memaafkan,” pungkas Reda.

Rektor UMJ Dr. Ma’mun Murod, M.Si., mendukung adanya UU RJ karena konsep RJ dalam Islam sudah ada, yang di mana banyak kasus yang terjadi di zaman Rasulullah yang diselesaikan dengan konsep berkeadilan. “Ke depan perlu UU RJ agar tindak pidana ringan cukup selesai di RJ, bisa memperlancar kepastian investasi dan kepastian hukum serta tidak menimbulkan polemik lainnya,” tambah Ma’mun yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Forsiladi DKI Jakarta.

Penyelesaian kasus yang tidak saling merugikan akan menciptakan stabilitas politik, bagi investor tentu situasi ini sangat penting. Menurut Ma’mun, UU ini akan berjalan lancar karena cukup banyak kepentingan yang mendukung lahirnya UU RJ ini untuk dilanjutkan melalui DPR, Baleg bahkan Prolegnas.

Ketua Forsiladi DKI Jakarta Dr. Taufiqurokhman, M.Si., menyatakan UU RJ sangat perlu diperjuangkan karena terkait dengan keadilan. Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Oleh karena itu, pada momentum pelantikan yang dibarengi dengan Stadium General ini, Forsiladi mengambil momentum yang strategis untuk mengusulkan UU RJ. “Investor itu tentu butuh kepastian. Jika konsep RJ dikuatkan menjadi UU tentu bakal menguntungkan bagi masyarakat dan pelaku ekonomi, karena kasus-kasus yang ada bisa diselesaikan secepat mungkin dan tidak akan larut di pengadilan”, ujarnya.

Anggota Komisi III DPR RI, Didik Mukrianto mendukung langkah yang dilakukan oleh Forsiladi DKI Jakarta. Ia mengatakan UU harus dibuat untuk kemaslahatan bersama dan bersifat konkret. “Upaya Forsiladi ini jelas, karena gagasan UU RJ kepentingannya terkait keadilan masyarakat, DPR wajib meresponnya dengan baik. Saya menyambut positif ide ini, kita di DPR bakal perjuangkan usulan UU RJ ini,” tutur Didik.

Dosen Fakultas Hukum UMJ Dr. Bahria Prentha, MH., dan Guru Besar Universitas Al-Azhar Indonesia Prof. Dr. Suparji, MH. turut serta menyampaikan materi mengenai RJ. Bahria menjelaskan RJ mulai dari pertimbangan filosofis, pergeseran falsafah pemidanaan, transformasi konseptual dalam sistem pidana, hingga munculnya semangat untuk mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi dalam hal ini adalah RJ, yang sudah familiar terdapat pada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Suparji mengutarakan tiga hal penting mengenai penguatan RJ demi kepastian investasi, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. “Filosofis dalam hal ini social justice dengan nilai hakiki harus dituangkan dan diwujudkan dengan RJ. Lalu, Yuridis belum ada regulasi yang kuat, hanya ada peraturan internal dan tafsir UU tertentu, tetapi dalam naungan UU khusus belum ada. Sedangkan, sosiologis menjadi sebuah kebutuhan bukan membalas tapi memulihkan, faktanya penjara tidak mejerakan. Singkatnya tiga landasan ini menjadi legitimasi untuk membuat RJ,” jelas Suparji. Menurutnya, persoalan muatan RJ dilakukan dengan komparasi sengketa di luar pengadilan dengan ada 3 hal yang dipakai yaitu mediasi penal, mengakomidir plea bergaining, dan penuntutan yang ditangguhkan.

Foto bersama antara narasumber dan para hadirin di Aula Kasman Singodimedjo FISIP UMJ, Rabu (18/23).

Kegiatan ini dihadiri juga oleh Wakil Rektor IV UMJ Dr. Septa Chandra, MH., Wakil Dekan II FISIP UMJ Djoni Gunanto, M.Si., Kaprodi Ilmu Hukum FH UMJ Dr. Aby Maulana, MH., Ketua Umum DPP Forsiladi Dr. Endang Samsul Arifin, M.Ag., serta jajaran kepengurusan Forsiladi DKI Jakarta. Forsiladi adalah badan hukum perkumpulan para doktor lintas keilmuan dan lintas profesi. (QF/KSU)