Sabtu, 20 April 2024
Perguruan Tinggi

Kisah Inspirasi Dua Orang Suku Anak Dalam Kuliah di UNJA

Kisah Inspirasi Dua Orang Suku Anak Dalam Kuliah di UNJA

JAMBI,- Generasi muda dari Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) telah memiliki pemikiran luas untuk bisa mengembangkan diri dan berusaha meningkatkan kemampuan individu. Salah satu bentuknya adalah dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang setinggi-tingginya. Bejujung dan Besiar menjadi contoh di antara segelintir anak SAD yang saat ini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mereka tercatat sebagai mahasiswa aktif di Program Studi Agrobisnis Universitas Jambi (UNJA).

Bejujung dan Besiar berbagi kisah hidupnya kepada tim HUMAS UNJA dalam menempuh pendidikan hingga membawa mereka ke Kampus Pinang Masak. Pada saat tim HUMAS UNJA mewawancarai, mereka sedang melakukan persiapan di Kebun Greenhouse Pertanian UNJA guna syuting film “Pulang Rimba” garapan ruangobrol.id yang mengangkat kisah hidup mereka. Mereka bercerita bahwasanya mereka adalah 2 di antara 3 putra asli Komunitas SAD yang saat ini aktif kuliah di perguruan tinggi, dengan satunya lagi sedang menempuh kuliah di Bogor.

Mereka berdua sudah menjadi sahabat setia selama lebih dari 11 tahun semenjak SD. Sama-sama berasal dari hutan Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, jenjang pendidikan yang meraka tempuh pun juaga selalu sama.

“Kami berdua satu kelas dan satu angkatan 2020. Sudah bersama-sama semenjak SD sampai sekarang kuliah,” tutur Besiar.

Pendidikan mereka dimulai di SDN 191 Pematang Kabau, berlanjut ke SMP Satu Atap 01 Sarolangun. Namun pada jenjang SMA, mereka pernah sampai pindah sekolah sampai 3 kali. Bejujung menuturkan bahwa kendala biaya sekolah yang menjadi penyebab utamanya sempat terhenti dan pindah sekolah. Waktu itu belum ada bantuan biaya dari pihak swasta maupun pemerintah, sampai pada kelas 3 SMA lah baru ada bantuan biaya pendidikan dari PT. Sari Aditya Loka 1 (PT.SAL 1), sebuah perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang berpusat di Desa Muara Delang, Merangin.

Bantuan biaya pendidikan tersebutlah yang akhirnya bisa membawa mereka sampai ke UNJA. Setiap bulannya mereka mendapatkan bantuan sebesar 2,4 juta dari perusahaan kelapa sawit tersebut di luar biaya kuliah. Bejujung bercerita bahwa pada awalnya orang tuanya tidak merestui ia untuk melanjutkan pendidikan, namun pada akhirnya berubah pikiran semenjak Bejujung menyampaikan pola pikir baru ketika menjadi mahasiswa.

“Kami ini kan tinggalnya di hutan, tidak selamanya kami bisa tergantung pada hutan. Satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ya dengan sekolah dan menempuh pendidikan. Awalnya orang tua tidak merestui, berawal dari inisiatif saya sendiri. Semenjak kuliah, orang tua akhirnya terbuka pikirannya,” ujar Bejujung.

Bejujung bercita-cita untuk segera mencari kerja setelah menyelesaikan pendidikannya di UNJA. Ia tidak mematok harus mendapatkaan pekerjaan di dekat kampungnya atau di Jambi saja, ia terbuka untuk mencari pekerjaan dimana saja ada peluang.

“Selain untuk mencari pekerjaan yang lebih layak, kami kuliah ini untuk memberi pesan motivasi kepada saudara-saudara yang masih ada di hutan. Untuk tau tentang dunia luar dan bersekolah di luar hutan. Jangan sampai hanya kami saja yang bersekolah, semua teman-teman yang di dalam hutan juga bisa bersekolah mengikuti jejak kami,” jelasnya.

Orang tua mereka pun kini sudah tidak lagi tinggal di dalam hutan, karena telah memiliki rumah di pinggiran/perbatasan antara hutan dan pemukiman warga. Rumah tersebut merupakan bantuan dari Kementerian Sosial yang dikhususkan kepada SAD yang ingin keluar dari hutan.

Kini Bejujung dan Besiar tinggal rumah kontrakan di daerah Jl. H. Ibrahim, Kec. Rawasari, Kota Jambi. Sehari-hari mereka mengendarai sepeda motor untuk bepergian ke kampus atau tempat-tempat lainnya. Semoga kisah mereka berdua bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak Komunitas SAD lainnya untuk dapat mendapatkan pendidikan yang layak setinggi-setingginya agar bisa mengembangkan diri.

“Kisah Besiar dan Bejujung menjadi penanda dan menggeser pandangan sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa SAD, sulit dan atau tidak mau mengenyam pendidikan tinggi. Seiring berjalannya waktu, di mana hutan sebagai ruang hidup dan penghidupan SAD semakin tergerus, sementara level kebutuhan SAD yang semakin meningkat, maka kesadaran untuk maju dan menyesuaikan diri dengan perubahan terus tumbuh di internal mereka, salah satu cara untuk menjemput impian tersebut adalah melalui pendidikan,” demikian menurut Dr. Fuad Muchlis, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FAPERTA, yang juga aktif dalam berbagai riset dan pengabdian tentang SAD.

Sebagai bagian dari upaya “Inklusi Sosial” bagi komunitas adat SAD, maka penguatan pada aspek pemberdayaan; membuka akses (terutama Pendidikan); meningkatkan pelayanan publik; meningkatkan partisipasi; mendorong kesetaraan dan keadilan sosial harus terus ditingkatkan sebagai jalan untuk memberdayakan masyarakat yang terpinggirkan dan rentan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan.

 Dimas Anugrah Adiyadmo / HUMAS