Sabtu, 20 April 2024
Perguruan Tinggi

Orasi Ilmiah Guru Besar Fikom Unpad Sampaikan Peran Komunikasi dan Literasi

Orasi Ilmiah Guru Besar Fikom Unpad Sampaikan Peran Komunikasi dan Literasi

Laporan oleh Salsabila Diah Diometa

[Kanal Media Unpad] Tiga Guru Besar baru Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran menjalani Upacara Pengukuhan dan Orasi Ilmiah Jabatan Guru Besar Unpad sesi 3 yang digelar di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Kampus Iwa Koesoemasoemantri, Bandung, Rabu (8/3/2023) pagi.

Guru Besar yang dikukuhkan pada sesi ini adalah Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si., Prof. Dr Eni Maryani, M.Si., dan Prof. Dr. Hj. Ninis Agustini Damayani, M.Lib. Ketiganya merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Atwar Bajari menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Ujaran Kebencian dan Konflik Identitas: Mengupayakan Komunikasi Dialektis dalam Media Sosial”.

Prof Atwar mengajukan dua teori untuk menjelaskan munculnya ujaran kebencian dalam ruang media sosial. Teori tersebut yakni Teori Kebebasan Berekspresi, yaitu ujaran kebencian merupakan bagian dari mimbar untuk berdemokrasi, dan Teori Pencucian Informasi yang memungkinkan sekelompok orang memanfaatkan platform sosial media untuk penyebaran fitnah yang seolah-olah didukung dengan serangkaian fakta konkrit.

Lebih lanjut Prof. Anwar berpendapat bahwa komunikasi dialektis mampu menurunkan tensi kebencian serta konflik identitas dalam media sosial. Menurutnya, komunikasi dialektis mengedepankan pembukaan komunikasi yang efektif, memperhatikan konteks sosial budaya, dan menekankan penyelesaian konflik melalui dialog dan negosiasi antar kelompok yang berbeda.

“Dalam konteks ujaran kebencian politik identitas, pendekatan ini mempromosikan kesepakatan yang menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan dari individu,” ujarnya.

Orasi ilmiah selanjutnya dibacakan Prof. Eni Maryani dengan judul “Kajian Kritis Media: Sebuah Refleksi Demokratisasi Komunikasi”.

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Eni mengungkapkan bahwa demokratisasi komunikasi lebih relevan merujuk pada komunikasi massa yang memperbincangkan keterlibatan publik secara personal dan kelompok. Demokratisasi komunikasi menjadi penting karena kebijakan publik murni tidak dapat dihasilkan, kecuali telah disampaikan pada warga negara dan kompetensinya harus didasarkan pada partisipasi demokratis yang terinformasi.

Ia juga menjelaskan bahwa distorsi komunikasi secara sistematis menjadi salah satu ancaman dalam demokratisasi komunikasi. Sistem produksi pengetahuan terkini tidak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, melainkan menciptakan dan memanipulasinya. Dominasi media oleh kalangan tertentu yang mengarah pada distorsi komunikasi yang tersistematis dapat menghancurkan anak bangsa dan meniadakan keberagaman masyarakat.

“Segala bentuk distorsi komunikasi yang sistematis sehingga mampu memanipulasi banyak pihak, terutama khalayak, baik disadari maupun tidak disadari harus segera dihentikan,” ujar Prof. Eni.

Sementara itu, Prof. Ninis Agustini Damayani membacakan orasi ilmiahnya yang berjudul “Literasi Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal”.

Menurut Prof. Ninis, pemahaman masyarakat mengenai bencana adalah hal yang krusial untuk menanggulangi resiko yang terjadi. Diperlukan sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dalam literasi mitigasi bencana. Di Indonesia sendiri, informasi mitigasi bencana telah banyak dituangkan dalam beragam kearifan lokal yang diajarkan leluhur secara turun temurun.

Prof. Ninis juga menjelaskan tentang beberapa kebudayaan lokal yang mengandung informasi mitigasi bencana. Contohnya adalah Masyarakat Baduy yang memegang erat beberapa keyakinan dalam mencegah bencana, seperti mengatur tradisi perladangan, memakai material tertentu dalam pembangunan rumah, jembatan, lumbung, dan sebagainya, serta pembagian zona hutan menjadi tiga wilayah sebagai upaya pelestarian ekosistem.

Selain itu, ada juga teriakan “Ami Nai Ia Ao” yang dilakukan Masyarakat Rote Ndao saat terjadi gempa, serta nyanyian Smong di Simeulue yang dipercaya menekan angka korban jiwa saat Tsunami Aceh terjadi. Dijelaskan juga mengenai prosesi adat Seni Badud oleh masyarakat dataran tinggi dan Hajat Laut oleh Masyarakat Pangandaran sebagai upaya preventif kebencanaan.

“Masyarakat yang literet kebencanaan yaitu masyarakat yang memiliki kemampuan menentukan sifat dan keluasan informasi yang dibutuhkan, mampu mengakses informasi secara efektif dan efisien, mampu mengevaluasi informasi dan sumber asalnya secara kritis, mampu menggabungkan informasi menjadi sesuatu yang padu ke dalam basis pengetahuan beserta sistem nilainya, mampu menggunakan informasi secara efektif untuk tujuan yang spesifik,” terang Prof. Dr. Ninis. (art)*