Jumat, 29 Maret 2024
Perguruan Tinggi

Fadil Zumhana: Hukum Harus Bisa Mengikuti Perkembangan Masyarakat

Fadil Zumhana: Hukum Harus Bisa Mengikuti Perkembangan Masyarakat

Laporan oleh Anggi Kusuma Putri

[Kanal Media Unpad] Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran menggelar kuliah umum dengan tema “Reformasi Hukum Pidana Nasional: Penegakan Keadilan dan Hukum dalam Peradilan” secara daring pada Senin (13/03/2023) siang. Pada kesempatan ini, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Dr. Fadil Zumhana, S.H., M.H., hadir sebagai pemateri.

Dalam paparannya Fadil Zumhana menjelaskan bahwa perubahan hukum tidak dapat dibendung dan hukum harus bisa mengikuti perkembangan yang ada pada masyarakat. Hukum yang hidup di tengah masyarakat tidak dapat diterapkan apabila tidak menerima setiap pergeseran dari pemikiran masa lalu sesuai dengan dinamika masyarakat.

“Perlu kita cermati bahwa hukum itu mendorong perkembangan masyarakat,” ujar Fadil.

Dalam proses penegakkan hukum, tujuan hukum yang terdiri dari keadilan, kepastian, dan kemanfaatan harus berjalan dengan selaras. Selain itu, hukum juga memiliki tujuan lain, yaitu mewujudkan kedamaian bagi masyarakat.

“Dalam proses penegakan hukum harus juga dirasakan bagaimana hukum dapat bekerja mengubah sesuatu yang tidak baik, sesuatu yang menimbulkan kegoncangan, menjadi keseimbangan,” jelas Fadil.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan restorative justice, kejaksaan tidak hanya fokus pada pemberhentian suatu perkara, tetapi juga berupaya mewujudkan keadilan di dalam kehidupan masyarakat. Keadilan ini juga ditujukan kepada tersangka untuk menghindari stigma buruk akibat tindakan yang telah dilakukannya.

”Kejaksaan saat ini sudah tidak lagi legalisir formil. Artinya, tidak hanya melihat suatu lukisan norma diterapkan begitu saja kepada seseorang, sehingga kejaksaan harus melihat bahwa tindak pidana itu memang harus dilihat secara utuh,” ujar Dr. Fadil.

Fadil Zumhana mengungkapkan bahwa praktik restorative justice sangat membuka diri dan menerima semua masukan dari para penegak hukum lainnya. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat dan menghindari perbuatan tercela yang dilakukan oleh jaksa apabila terjadi penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

“Karena keputusan yang kami keluarkan di Kejaksaan Agung Republik Indonesia harus mendapat dukungan dari masyarakat atau dapat diterima oleh masyarakat,” jelasnya

Fadli juga menambahkan, bahwa dalam pelaksanaan restorative justice, kejaksaan memiliki pijakan hukum yang sangat kuat, yaitu Pasal 139 KUHP. Jaksa dapat menentukan layak tidaknya suatu perkara untuk dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini mendorong seluruh jaksa untuk dapat menyelesaikan perkara melalui restorative justice.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa perkembangan teknologi menjadi salah satu alasan hukum perlu mengikuti perkembangan yang ada pada masyarakat. Saat ini, masih banyak hal yang belum diatur berkaitan tentang kejahatan berbasis teknologi infomasi. Untuk itu, diperlukan pembaharuan

regulasi terkait perkara berbasis teknologi informasi tersebut.

“Saat ini kecerdasan buatan sudah tak terbendung lagi. Namun, siapa yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana akibat kecerdasan buatan nantinya, sehingga kita akan terus-menerus melakukan pembaruan hukum karena hukum itu memang harus kita perbarui sesuai dengan perkembangan masyarakat,” jelas Fadil. (arm)*