Rabu, 24 April 2024
Perguruan Tinggi

MELURUSKAN NIAT BUKA BERSAMA

MELURUSKAN NIAT BUKA BERSAMA

(UINSGD.AC.ID)-Bulan Ramadhan memang menarik dan insya Allah akan tetap asyik karena dengan ibadah puasa sebulan penuh, Allah berjanji, akan meningkatkan kualitas jiwa menjadi orang takwa (tattaquun), bahkan yattaqun (QS.2:183-187).

Oleh karena itu, dengan ramat Allah di sepuluh malam pertama, umat Islam berbondong-bondong tidak hanya untuk menjalankan ibadah puasa, tetapi melakukan berbagai kebaikan, meraih pahala besar atau menebus dosa di masa lalu.

Terlebih bagi masyarakat Muslim Indonesia, Ramadhan berbumbu berbagai ritual keagamaan beriring lahirnya tradisi-tradisi kreatif: pawai obor, buka bersama, safari tarawih, shaur bareng, beduk keliling, kirim tumis dan parsel, belah ketupat, opor ayam, mudik, baju baru lebaran, dan sebagainya.

Kendati sebagian tradisi tersebut tidak tersurat langsung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, tetapi tetap tidak terlepas dari siratan makna yang memiliki nilai-nilai Islami yang dalam. Wajar jika tradisi itu terus mengalir menjadi warna-warni Ramadhan indah berjuta kenangan. Realitas itu pula yang sering dirindukan umat Islam untuk kembali ke bulan yang penuh magfiroh ini.

Puasa memang baru memulai, tradisi-tradisi Islami pun terus menggelinding menjawab kerinduan sebelas bulan lalu, sehingga Rasulullah pun mencontohkan berbagai do’a untuk memohon kepada Allah Swt. agar dipertemukan dengan Ramadhan. Bahkan, tiga bulan menjelang Ramadhan, Rasulullah pun mencontoh do’a, ”Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah (umur) kami pada bulan Ramadhan.”(HR. Ahmad).

Buka Bersama
Seusai tradisi pawai obor, dan tarawih keliling, mulai pertengahan sampai akhir Ramadhan, bisanya munculnya salah satu tradisi buka puasa bersama atau trend disebut bukber. Di dalam Al-Qur’an & Al-Hadist, tidak ditemukan kewajiban bagi umat Islam untuk berbuka puasa bersama. Setidaknya, dasar hukum kewajiban menjalankan ibadah Puasa (QS.2:183-187) tidak tersurat perintah menjalankan buka bersama.

Namun, tentang makan bersama merupakan salah satu sebab datangnya barokah atau keberkahan banyak Hadist Nabi yang dapat menjadi rujukan, walaupun sanad beberapa hadist tersebut pun masih perdebatan; masih diperlukan kajian mendalam dari para ahli hadist yang kompeten kaitanya dengan buka bersama.

Realitasnya, sebagaimana tradisi hal bil halal, buka bersama  (ifthar jama’i) pun dalam Masyarakat Muslim seringkali bermakna menjalin ukhuwah islamiyah, menumbuhkan kebersamaan, silaturahmi, rasa syukur, interaksi langsung antar umat, bahkan berbagi rizki pada pakir miskin dan kaum dhuafa. Buka bersama seringkali menjadi momentum siliturahmi sebagai sarana komunikasi di antara sesama muslim untuk berbagi kenikmatan makanan.

Kendati realitas lainnya pun sulit disangkal. Ada saja pihak-pihak yang membumbui buka bersama dengan mempertontonkan foya-foya kemewahan di antara warga yang kaya raya, para pejabat dengan menggunakan fasilitas negara, atau menjadi ajang lobi-lobi kolusi, bahkan menjelang Pemilu 2024, bukan hal tidak mungkin menjadi bagian dari strategi kampanye meraih simpati rakyat.

Jika di-gembah-uyah-kan, realitas tersebut dapat menjadi stereotip untuk lahirnya prespektif miring terhadap buka bersama. Manusia memang kadang terjebak pada pemikiran stereotip. Mungkin jika ada pejabat atau siapa saja yang menjadikan bukan bersama sebagai sarana foya-foya kemewahan, menggunakan fasilitas negara atau lobi-lobi negatif lainnya, bukan berarti keseluruhan kegiatan ifthar jama’i seperti itu.

Dalam konteks inilah, seluruh masyarakat Muslim harus arif dalam menyikapi kebijakan Pemerintah yang ”melarang” buka bersama. Dalam perspektif positif, kata ”meniadakan” dalam kebijakan Pemerintah tersebut bermakna Pemerintah berupaya untuk mengendalikan realitas negatif dari buka bersama dengan harapan ifthar jama’i kembali on the tract. Selain alasan-alasan lain yang menurut Pemerintah lebih bernilai penting kemaslahatanya bagi rakyat.

Luruskan Niat
Yang terpenting bagi kita, mari luruskan kembali niat berpuasa, termasuk niat menyelenggarakan berbagai tradisi Islami yang kaya nilai dan makna kebaikan sembari mengikis kemungkinan akibat negatifnya. Ifthar jama’i untuk memupuk tali silaturahmi karena dalam Sabdanya, Rasulullah dengan tegas menyebutkan, silaturahmi jalan kebaikan untuk menambah rizki dan memperpanjang usia.

Sejumlah ayat dalam Al-Quran pun dengan tegas menyuratkan pentingnya memupuk tali silaturahmi. Allah Swt. sangat tidak menyukai umat manusia yang bercerai berai dan memerintahkan untuk tetap menjalin kesatuan yang harmonis melalui silaturahmi (QS.3:101-103).

Yang harus menjadi catatan besar dalam ifthar jama’i adalah menghapus realitas-realitas negatif, seperti sikap terlalu ekslusif, silaturahmi hanya khusus kelompok pejabat, kelompok pengusaha, atau kelompok lainnya, tetapi memutuskan silaturahmi dengan kelompok lain. Karena Allah pun tidak menyukai sikap membeda-bedakan. Islam mengajarkan bahwa semua muslim saudara; semua manusia sama, lahir dari ”rahim” Hawa. Perbedaan yang ada justru sengaja diciptakan agar manusia saling mengenal; bersilaturahmi.

Dalam perspektif komunikasi antar-budaya, Gudykunst & Kim (1984) menyebutkan, manusia yang berhasil dalam kehidupan adalah manusia antar-budaya. Adler (1982) menyebutnya, manusia multibudaya: orang yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan; Orang yang intelektual dan emosionalnya terikat keyakinan fundamental, mengakui, menerima, dan menghargai perbedaan.

Manusia seperti itu sangat tepat hidup dalam khazanah Indonesia yang majemukitas, termasuk pada Masyarakat Muslim Indonesia. Berbagai kreativitas unik dan menarik mengiringi ritual Islami yang berbeda-beda sesuai budaya masing-masing akan terus hidup. Kegiatan-kegiatan bernuansa dan bermakna silaturahmi, seperti ifthar jama’i, justru akan menjadi agenda unggulan. Khilafiyah tetap hidup dan berjalan dengan indah berbumbu bunga silaturahmi tanpa pamrih, tanpa membedakan antara si kaya-si miskin, atasan-bawahan, golongan x golongan y, semua terikat dalam satu din: agama Allah. Wallahu a’lam biswahab.

Mahi M. Hikmat, Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Pegiat ICMI, IPHI, dan ISKI Jabar.

Sumber, Pikiran Rakyat 30 Maret 2023