Jumat, 29 Maret 2024
Sekolah Menengah Atas

KEBISUAN INI MEMEKAKKAN TELINGA

Vinsensius Nurdin

Dalam diammnya, ia mengatakan sesuatu atau suara dari kaum tak bersuara. Voice of the voiceless. Penggalan kalimat semacam ini mudah ditemukan dalam bagian-bagian tertentu dalam salah satu sesi gaya bahasa. Gaya bahasa diciptakan demi mengatakan sesuatu secara lain dari apa yang tampaknya disampaikan. Dalam gaya bahasa, kita menemukan usaha pernyataan suatu kenyataan dalam cara yang agak lain demi makdud yang terselubung di balik kenyataan yang ada. Orang yang terbiasa dengan ungkapan gaya bahasa, akan langsung menyadari arti yang mau dikatakan dari suatu gaya bahasa tertentu. Demikian pun pengandaian yang mau disampaikan dari misalnya kebisuan ini memekakkan telinga.

  Perjumpaan dengan berbagai kemelut hidup dengan berbagai konsekuensinya telah melilit membentuk fragmen baru dari peradaban kemanusiaan. Dalam setap lini kehidupan ditemukan berbagai geliat yang akan merambah kepada tercuatnya berbagai ketersembunyian hingga menjadi konsumsi publik dan menjadi layak untuk diperbincangkan. Tidak hanya berhenti pada garis yang dianggap tabu, tetapi juga ruang publik dengan kemudahan aksesnya oleh setiap orang akan merunut membentuk bahkan tatanan baru.

Kebisuan mengandaikan dua kondisi. Kondisi  inipun dihubungkan dengan berbagai situasi yang diperhadapkan kepada subjek yang mengalami. Kondisi pertama boleh disebut pilihan. Saya berhadapan dengan beberapa kenyataan yang membuat saya harus memilih di antara beberapa  pengandaian. Saya harus memutuskan yang ini  dan bukan yang itu, karena sesuai dengan situasi dan kondisi saya. Umumnya hal ini pun dikaitkan dengan kemampuan yang saya miliki untuk menentukan sesuatu sesuai dengan pertimbangan rasional atau pun terkait dengan pengalaman saya dan orang lain terhadap hal yang sama. Dalam pertimbagan yang dikondisikan dengan keadaan yang saya miliki, biasanya tersusun beberapa hal dalam pengandaian sayan bahwa jika saya memilih yang ini maka saya akan menduga akan terjadi seperti ini. Walaupun juga saya menduga tidak akan terjadi hal yang saya sangkakan atau jauh dari apa yang saya harapkan.

Terhubungnya kebisuan karena pilihan akan dialami oleh seorang pribadi dalam menjalani kehidupannya. Dalam kebisuan karena pilihannya, ia berhadapan dengan reaksi sosial kemasyarakatan. Di tengah pergulatan sosial inilah akan terbentuk beberapa akibat baik positif maupun negatif. Bertahanya pilihan dari kebisuan pribadi yang memilih sesuatu akan memunculkan stigma tertentu dalam kebersamaan. Setiap keadaan yang kita miliki saat ini adalah hasil dari cara kita dalam kebisuan memilih beberapa kemungkinan untuk dijalani. Sebagai apapun dan sebagai siapapun, itu adalah hasil dari cara kita dalam kebisuan memilih apa yang sesuai dan cocok. Ada konsekuensi. Itu sudah pasti. Itulah kehidupan. Dari kebisuanlah kita memilih apa yang ada dan membentuk siapa kita pada saat ini. Ada intervensi? Ya, tentu saja. Kita adalah makhluk yang selalu mengandaikan intervensi orang lain, yang dalam pengertian tertentu dinamakan kehidupan sosial. Memilih dari kebisuan inilah yang akhirnya membuat orang lain melihat, menyaksikan, mendengar dan mengalami siapa kita. Mugkin pertanyaan besar dalam pergulatan misteri manusai dalam frase who am I /siapakah saya perlahan-lahan dalam kesamaran terjawab meskipun tidak tuntas. Saya adalah manusia yang berasal dari kebisuan memilih untuk menjadi seperti ini dan bukan seperti itu. Pilihan saya dari kebisuan, memekakkan telinga sosial dan semkain mungkin mengetahui selubung rahasia keberadaan saya. Dari kebisaun memilih cara hidup membuat orang lain mengalami keberadaan saya sebagaimana adanya.

Dalam kondisi tertentu, saya dalam kebisuan memilih jalan ini karena saya melihat, mengalami dan mendengar orang lain yang pernah melakukan hal sama, persis di jalan yang sama. Hal seperi ini dialami karena saya merasa pilihan itu adalah sesuatu yang baik dan memberi saya keyakinan akan sesuatu yang luar biasa. Inilah yang disebut imitasi. Saya mengidolakan orang lain sampai saya mengidentifikasi diri sedemikian rupa sehingga sampai meyerupai orang lain bukan saja dalam hal fisik seperti penampilan, tetapi juga menserupakan jalan dari orang yang saya idolakan. Diakui ataupun tidak, di anatar kita banyak yang telah mencapai suatu karir tertentu, berawal dari proses imitasi ini. Dalam kebisuan, saya membuat kerangka sedemikian sehingga itu dapat mendekatkan saya pada seseorang yang saya idolakan. Banyak orang mengakui hal ini. Terkadang alasan yang ada di balik mengidolakan sesorang terdengat tidak masuk akal, tetapi di sanalah kebisuannnya memekakan telinga orang.

Kebisuan kedua yang diandaikan terjadi adalah kondisi sosial tertentu. Saya dan anda harus menyepakati bahwa banyak situasi dan kondisi yang terjadi hingga saat ini bukanlah hasil dari persetujuan kita secara pribadi. Hal itu tejadi dalam setiap persoalan hidup yang dialami, didengar. Kehidupan sosial dengan beraneka warna tidak pernah menuntut persetujuan kita untuk terjadi demikian atau untuk tidak terjadi sebagaimana yang kita inginkan. Ia tejadi begitu saja dan telah dikondisikan oleh orang-orang lainnya dalam situasi mereka sendiri. Kita kadang terpana menyaksikan beberapa situasi yang berada di luar jangkauan cara kita berpikir. Mengapa hal ini terjadi? Dari kebisuanlah kondisi itu terjadi dan telah memekakkan telinga kita semua. Situasi sosial kemasyarakatan sebagaimana yang kita alami dan saksikan, akan menuntut kita untuk memberi reaksi terhadapnya. Ketika kita diperhadapkan dengan tuntutan untuk mengatakan sesuatu yang benar sebagaimana yang kita sendiri alami, kita sendiri terdesak akan banyak hal yang membuat kita mengurungkan niat untuk mengatakannya. Kita mulai memertimbangkan banyak hal dan salah satunya menemukan satu alasan sehingga kita tidak harus mengatakannya. Ada banyak lilitan sosial yang terus melingkar semakin kuat dan membuat kita sulit untuk bernafas.

Mengapa kita harus peduli. Biarkan saja itu terjadi. Itu kan bukan saya. Apalagi setelah menelan pil pahit kepedulian terhadap orang lain, kita pun merasa direndahkan, dihina malah menuai hal negatif lainnya yang lebih berbahaya. Pertanyaan-pertanyaan pesimis seperti apa pedulimu, menjadi tameng yang membuat kita merasa harus menghindari peran sebagai orang yang peduli. Kita peduli karena kita harus melakukannya sebagai manusia yang berada di tengah hidup sosial. Apapun tantangannya, kepedulian menjadi bagian sentral dari cara kita berada sebagai makhluk sosial.

Dalam situasi/kondisi tertentu yang kita alami dan yang kita lihat/dengar, kita berusaha mengeramnya hingga tidak mudah diakses orang lain. Demikian pun sebaliknya sesuatu yang terjadi tidak secara langsung kepada kita, tetapi kita menjadi saksi terhadapnya. Dalam kedua hal seperti ini, kita misalnya, kita berusaha mendiamkannya atau membiarkan itu terjadi dalam kebisuan, tetapi kehidupan sosial sebagai suatu kenyataan mutlak dengan sendirinya akan membauat diketahui oleh pihak lain. Hal seperti itulah yang memekakkan telinga. Apa pun itu dan di mana pun itu semuanya terbungkus dalam balutan sosial manusia dan karenanya tidak pernah terhindar dari telinga sosial yang mendengar dan menuturkannya dalam komunikasi manusia.

Saya dan anda akan dapat menguraikan beberapa situasi dan kondisi kehidupan pada mana suatu kebisuan yang memekakkan telinga terjadi. Kita akan tetap diam di tengah situasi pada mana hal itu sebenarnya harus diwartakan. Mengapa itu terjadi? Karena ada banyak hal yang ingin kita pertimbangakan. Ada banyak hal yang akan terjadi ketika sesuatu yang mau kita wartakan dipaksakan untuk didiamkan atau malah tanpa kompromi diperdengarkan, didiskusikan. Saya dan anda dalam batas tertentu akan tetap mengatupkan tangan dan menguci mulut meski kita sendiri sadar bahwa itu tidak benar. Kadang terlintas kata-kata biarlah itu terjadi atau nanti saatnya akan tiba. Beranikah kita dihadapan situasi tertentu yang menuntut kita untuk diam karena tersandera kepentingan diri dan berujar. It is enough. I must say something.