Sabtu, 20 April 2024
Sekolah Menengah Atas

Doa Permohonan Yang Salah: ELOR ONE API PANDE NGGELOK, LABAR ONE API NERAKA

Doa Permohonan Yang Salah: ELOR ONE API PANDE NGGELOK, LABAR ONE API NERAKA

Vinsensius Nurdin

Pengantar

Demi memmertahankan bunyi ujaran sehingga menimbukan rima kadangkala kita jatuh kepada kekeliruan yang tidak mudah untuk dijelaskan ataupun tidak mudah diperbarui. Dalam tataran bahasa tertentu, kadangkala memertahankan bunyi ujaran dengan memerketat irama dan rima khususnya dalam puisi dan pribahasa menjadi kualitas mumpuni yang dikejar sebagian banyak pinkmat suatu karya tulisan dan lisanan. Perhatian yang saksama ini akhirnya sangat rentan terhadap kealpaan dalam memerhatikan arti dan makna. Hal ini sering kita alami dalam menikmati karya tertentu yang kita baca atau yang kita dengar. Kita jugakadangkala menjadi pelaku utama tanpa menyadari kesalahan fatal di dalamnya.

Tulisan sederhana ini akan menyoroti salah satu dari sekian kekeliruan cara kita menulis dan atau cara kita menikmati suatu karya tanpa tanya.Gabungan huruf menjadi kata dan merangkai kalimat akan membentuk pengertian dan pemahaman. Dalam lingkaran ketatabahasaan tidak asing lagi hal ini menjadi basis dari pergulatan bahasa manusia. Dalam berbagai peraturannya sesuai dengan karakteristiknya masing-masing,  bahasa menjadi alat komunikasi resmi antara manusia yang dapat membantuk kesalingpengertian dan kesalingpahaman. Bahasa formal dan non formal juga terbedakan dalam penggunaannya.

Saya akan menelusuri salah satu latah sosial kebahasaan dalam tataran bahasa Manggarai. Pada umumnya bahasa Manggarai mengenal dengan namanya tuturan harian dan tuturan resmi. Dalam tuturan resmi inilah goet berperan penting dalam membentuk berbagai bunyi ujaran yang sebagaian besar mementingkan rima. Mencari kesamaan rima dalam lingkup puitis atau pribahasa sangat mudah ditemukan dan menjadi kualitas yang menduduki tempat tersendiri. Tanpa kita perhatikan dan tanpa kita selidiki lebih jauh, kebanyakan tuturan budaya itu tidak sama sekali mementingkan arti dan makna. Keterhubungan arti dan makna dari suatu ujaran kadang dikesampingkan sedemikian rupa sehingga latah sosial membendung massa untuk cukup puas dengan rima tertentu. Kesalahan fatal yang tidak disadari ini membias hingga ke ruang pribadi dan menjadi salah satu intensi dalam doa-doa keagamaan.

Isi

Dalam beberapa kesempatan, saya dan mungkin anda pernah melantunkan doa dalam bahasa Manggarai atau mendengar orang lain mendaraskan doa dalam bahasa Manggarai. Dalam pada itu, pendalaman akan cara berdoa dengan cara ini dirasakan lebih memasuki relung hati orang Manggarai karena berasal dari bahasa ibu. Proses inkulturasi dalam bahasa Manggarai sudah lama dilakukan semenjak agama masuk menjadi bagian dari cara menyembah Sang pemberi kehidupan. Rangkuman paham kehadiran Sang pencipta ini digambarkan dalam syair sebagaimana dinyatakan Doroteus Hemo dalam bukunya SEJARAH MANGGARAI yang menunjuk kepada pengertian manusia tentang bimbingan, penyelenggaraan, penguasaan Tuhan atas semua ciptaaNya:  denge le Mori agu ngaran, bate jari agu dedek, Ite Te Pukuln parn awo kolepn sale, ulun le wa’n lau, tanan wa awangn eta, torong ata molorn, titong koe tingo, tura eta Mori wura, baro eta Mori Andung, senget koe Lite, gesar dami mendid, kaing dani tegi becur, sor monggong nggelak nata dami mendim.

Memasuki ujud doa dari kedalaman hati dengan ungkapan kata-kata yang berasal dari bahasa ibu, seperti bahasa Manggarai akan memampukan kita dengan benar dan yakin dapat masuk ke kediaman Allah. Bahasa Manggarai sebagai bahasa ibu dan telah benyak berinkulturasi dalam agama sebagai satu dan lain cara demi menyatakan keberadaan manusia di hadapan pemberi kehidupan. Doa-doa dalam bahasa Manggarai sedari dulu hingga kini dari penutur berbahasa Manggarai dirasakan lebih luwes dalam menyatakan kepasrahan manusia di hadapan Allah dan lebih terang menyatakan penyelenggaraan Allah kepada manusia.

Penelusuran yang saya lakukan pada saat ini berasal dari beberapa cara kita sebagai makhluk ciptaan dalam menyatakan keagugan Sang Pencipta melalui doa-doa yang kita lantunkan dalam bahasa Manggarai. Saya akan mencoba memaparkan ini dengan berlandas kepada paham teologi yang benar dengan menoleh kepada sumber yang sahih dan tidak terbantahkan. Keseringan berpuas diri dengan memberi pemkanaan pada bunyi dari ujaran dengan menghasilkan rima tertentu tanpa memerhatikan maknanya akan meruntuhkan bagunan paham keTuhanan pada umumnya dan secara khusus dalam terang teologi katolik. Pada bulan Mei ini, seluruh umat Katolik sejagat menyelenggarakan doa Rosario keliling, dari rumah ke rumah. Bulan Mei sebagai bulan Maria diselenggarakan Gereja dengan keyakinan mendasar bahwa pada bulan ini kita memersembahkan doa-doa kepada Allah bersama Bunda Maria. Dalam ujud-ujud Rosario sambil mengenangkan peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus, umat mendoakan banyak hal, meminta penyelenggaraan Allah dan doa dari Bunda Maria dalam setiap setiap situasi hidup. Berdoa bagi kita yang masih hidup juga bagi mereka yang sudah meninggal dunia. Yang menarik perhatiaan saya akan hal ini adalah salah satu intense doa yang dikhususkan kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia. Mendoakan para saudara atau saudari yang sudah meninggal dunia adalah suatu anjuran Gereja. Akan tetapi dan inilah masalahnya adalah penempatan dan pemilihan kata-kata kita yang berdoa dalam bahasa Manggarai akan membuat kita lupa atau buram terhadap ajaran Gereja yang sebenarnya. Demi kelenturan penggunaan kata dengan memertimbangkan bunyi yang sama sehingga klop satu kata dengan kata selanjutnya, kita malah terjebak dalam ajaran sesat. Coba kita pertimbangkan ujud doa ini dalam bahasa Manggarai lelo koes ase kae dami ata ELOR ONE API PANDE NGGELOK, ata LABAR ONE API NERAKA.

Kita kan mencoba mencermati untaian kata-kata dalam doa berbahasa Manggarai ini dan mencoba menyadingkannya dengan ajaran yang benar dari agama Katolik. ELOR ONE API PANDE NGGELOK. Kata ELOR dalam bahasa Manggarai dapat berarti bepergian tanpa tujuan, berkelana, pergi ke suatu tempat dengan semaunya tanpa maksud, lalu-lalang, berjalan-jalan tanpa tujuan jelas, dengan tidak ada beban melitasi suatu tempat secara teratur dengan tidak ada tujuan. Inilah arti yang sedikit banyak menggambarkan aktifitas ELOR. Kemudian kita langsung berhadapan muka dengan istilah teologis API PANDE NGGELOK yang diterjemahkan sebagai API PENYUCIAN. Ajaran Gereja berhubungan dengan Api Penyucian sangat tampak berasal dari keyakinan akan apa yang diajarkan kitab suci. Ajaran tentang adanya api penyucian juga menjadi dasar bagi umat katolik dalam mendoakan orang-orang yang sudah meninggal (bdk. 2 Mak 12:43-46). Ajaran Gereja yang menempatkan manusia pada satu situasi tertentu dan di tempat tertentu(meski tetap ditekankan tentang tidaklah situasi dan tempat sebagaimana dalam paham manusia secara fisik) demi penyucian atau pemurnian. Kelayakan berada di hadirat Allah yang kudus sehingga perlu disucikan atau dimurnikan. Ajaran tentang api penyucian diteguhkan dalam Konsili Lyon (1274) dan oleh Konsili Florence (1439) dan mendapat penekanannya kembali dalam Konsili Trente dalam melawan kaum reformasi. Paham Gereja yang benar tentang api penyucian ini dan dihubungkan dengan cara kita orang Manggarai dalam ungkapan doa ELOR ONE API PANDE NGGELOK tidaklah pas sama sekali. API PANDE NGGELO bukanlah tempat untuk ELOR, bukanlah tempat untuk melalang buana tanpa tujuan. API PANDE NGGELOK bukanlah sekedar suatu keadaan/situasi untuk menghabiskan waktu luang semata, bukanlah tempat untuk berjalan-jalan tanpa arah. Doa permohonan yang secara lugas menyatakan api penyucian/api pande nggelok sebagai sekadar suatu  keadaan untuk menghabiskan waktu bukanlah maksud dan tujuan di balik ajaran Gereja. Kesadaran akan kenyataan bahwasannya semua manusia berdosa membuat api penyucian menjadi semacam gerbang yang harus dilewati untuk kelayakan menghadap tahta Allah sumber segala sesuatu atau ketidaklayakan menghadap tahta Allah sehingga harus mendekam di tempat siksaan(neraka). Kalau pemahamannya seperti ini maka sangatlah tidak cocok, tidak benar, tidak sesuai API PANDE NGGELOK menjadi tempat untuk ELOR. Ungkapan ELOR ONE API PANDE NGGELOK jika perlu dicermati dari sudut pandang pemilihan kata dan maknanya sangatlah tidak sesuai satu sama lain. kalau API PANDE NGGELOK merupakan tempat ELOR, kenapa perlu didoakan supaya cepat keluar dari sana. Pemahaman yang benar tentang ajaran API PANDE NGGELOK membuat kita harus menyadari pilihan kata yang tepat sehingga sesuai dengan ajaran Gereja Katolik yang sejati.

Hal berikutnya yang parallel dengan kesesatan pilihan kata dalam berdoa ada dalam ungkapan LABAR ONE API NERAKA. Ini kesesatan fatal berikutnya. Kata LABAR dalam bahasa Manggarai jika dimengerti dalam bahasa Indonesia berarti bermain, bersenang-senang dan umumnya hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang atau sekadar mencari kebugaran jasmani, biar keluar keringat. Dengan padanan arti LABAR dalam bahasa Manggari yang dimenegrti seperti ini akan menambah semakin parahnya kesesatan kita. Ajaran Gereja tentang adanya api neraka berasal dari pernyataan-pernyataan Alkitab. Ide tentang nasib kaum berdosa yang menghadapi pengadilan Allah dan menerima akibat dari dosa-dosa mereka ditemukan dalam  kitab suci. Gambaran tentang api siksaan bagi pendosa yang disebut neraka berasal dari praktek harian hidup manusia dalam memberi hukuman kepada orang-orang yang melanggar hukum. Hari dimana Allah akan mengadili manusia berasal dari tradisi tua Kitab suci dalam pengalam misalnya pada nabi Amos yang mengaitkan hari Yahwe dengan hari kegelapan dan kekelaman(bdk.Ams 5:18-20;8:9). Nabi Yesaya secara tegas menandaskan bahwa hari Yahwe yang mengadili itu akan menurunkan orang-orang congkak dan angkuh(Yes 2:12) dan beberapa konsep para nabi Perjanjian Lama.

Gambaran tentang neraka berasal dari kata bahasa Aram Gehena, bentuk singkatan dari “lembah anak Hinon”. Terletak di pinggiran Yerusalem. Julukan yang menyeramkan tentang lembah ini karena digunakan untuk pembuangan untuk korban manusia (2 Raj 23:10). Berhubungan dengan kekeramatan tempat ini yang dikutuk karena kemaksiatannnya terungkap dalam pernyataan nabi Yeremia 7:31-33). Secara tidak langsung nabi Yesaya pun menyindir keberadaan tempat keramat kerena penuh kemaksiatan ini dan menyebutkan gambarannya: di situ ulat-ukatnya tidak akan mati dan apinya tidak akan padam (Yes 66: 24). Demikian pun kalau kita mau mencari gambaran api neraka dalam pernyataan Yesus sendiri sebagaimana tampak pada injil Mateus 5:22,  sebagai lubang di mana orang-orang jahar dibuang (Mat 5: 29) dan penginjil Markus menekankan kengerian api neraka yang tidak akan padam(Mrk 9:43,45) dimana ulat-ulat bangkai tidak akan mati dan api tidak padam(Mrk 9:48).

Melihat sebagian data kitab suci yang diberikan ini menjadi jelas bagi kita ajaran api neraka yang penuh kengerian, tempat manusia berdosa ditempatkan. Dengan penegasan ini mau dinyatakan bahwa itu bukanlah sesuatu yang dilakukan ala kadarnya, sekadar membuang-buang waktu, sekadar tempat untuk permainan yang menimbulkan kegembiraan atau kegairahan jasmani sebagaimana tampak dalam kata LABAR. Api neraka sebagai tempat bukanlah untuk permainan semata. Hanya untuk bermain-main. Ia adalah tempat/situasi serius bukan candaan seperti dalam permainan/LABAR. Ungkapan LABAR ONE API NERAKA dengan demikian tidaklah cocok dan tidaklah alkitabiah. Tidak sesuai dengan ajaran sejati Gereja. Ungkapan doa seperti ini secara jelas menandaskan kesesatan cara memilih kata yang munkin berpulang kepada salah pengertian atau kurang/tidak mengetahui ajaran Gereja yang otentik.

Penutup

Pilihan kata dengan padanannya memberi gambaran akan kenyataan entah memahami atau tidak memahami. Sebagian dari kita mungkin masuk golongan pertama yakni memilih karena mamahami. Dengan pemahaman yang benar, maka pilihan katapun dengan sendirinya bersesuain. Sebagian dari kita juga mungkin masuk golongan kedua yakni memilih karena tidak memahami. Dengan pemahaman yang tidak benar, maka pilihan katapun dengan sendirinya serampangan. Dengan serampangan berarti tidak pernah memertimbangkan kualitas dari ungkapan kata yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Manggarai. Mudah-mudahan kita tidak dipengaruhi gaya bahasa yang mementingkan bunyi ketimbang maknanya.