Jumat, 29 Maret 2024
Sekolah Menengah Atas

POLITIK AMATIRAN-CORETAN KEGUNDAHAN PRA  PEMILIHAN PEMIMPIN

POLITIK AMATIRAN-CORETAN KEGUNDAHAN PRA  PEMILIHAN PEMIMPIN

Vinsensius Nurdin

Dalam bingkai global kita harus mengakui  bahwa segala sesuatu yang terjadi hari ini dalam urusan pemerintahan tidak pernah luput dari dinamika manusia yang berpolitik. Ini juga menjadi penanda akan jurang pemisah antara pemikiran klasik tentang pengorganisasian manusia di bawah satu tanggung jawab seorang figur yang didewakan. Pemimpin adalah reperesentasi dari seorang dewa. Paham kepemimpinan ini akhirnya menetaskan cara berpikir yang mengutamakan kebahagiaan yang dianugerahkan oleh para dewa. Konsep kebahagiaan yang dalam bahasa Yunani eudaimonia terbentuk dari dua kata yakni eu yang berarti kesejahteraan/kebahagiaan dan daimones yang berarti para dewa. [1]Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan dilihat sebagai anugerah para dewa kepada manusia. Hal ini juga diakibatkan oleh mitos dalam ruang kepercayaan klasik yang menempatkan seluruh eksistensi manusia yang tergantung kepada adanya kekuatan lain di luar diri manusia sendiri, Sehingga representasi dewa dalam diri seorang pemimpin berakibat kepada cara orang-orang melihat dan mengalami kepemimpinan sesorang. Himpunan manusia dalam organisasi klasik lebih didasarkan pada adanya  potensi  khusus seseorang yang tidak dimiliki oleh pribadi lainnya. Potensi khusus itu misalkan saja adalah kemampuan metafisik/supranatural berkomunikasi dengan seorang figur dewa yang tidak kelihatan. Kepercayaan yang telah mengakar ini diantaranya seseorang yang memiliki hak memerintah merupakan takdir ilahi untuk menjadi pemimpin masyarakat yang berasal dari keluarga tertentu, Juga menjadi pemimpin biasanya karena prestise tertentu dan berlaku secara terun temurun. Menjadi pemimpinpun dilihat karena kemampuan yang dimiliki secara khusus oleh pribadi tertentu dan tidak dimiliki oleh orang lain sehingga dalam bingkai kepemimpinan klasik seseorang pemimpin dianggap dewa atau didewakan. Hak memerintah dianggap berasal dari Tuhan, dewa atau wahyu.Otoritas politik turun dari langit , ia tidak muncul dari hati dan pikiran manusia-manusia mortal.Dengan ini jelas berakibat kepada berbagai dinamika kehidupan katakana saja tentang ganjaran dan hukuman sebagai akibat ketidakloyalan manusia kepada pemimpin sebagai perwakilan dewa dan kemurkaan para dewa melalui perjalanan nasib manusia tampak secara fisik. Itulah sebuah kekuasaan mistis.figur seorang pemimpin klasik adalah seorang yang mewakili keberadaan suatu makhluk supra human. Dengan berbagai aturan yang ditetapkan sebagai hukum yang mengikat setiap para penghuni suatu wilayah administrasi tertentu. Pengorganisasian manusia di bawah kepempimpinan karismatis ini sungguh dialami sebagai bagian dari tanggung jawab manusia dalam melayani para dewa. Keharmonisan dan kekhaosan dianggap sebagai bagian dari penetapan para dewa.

Hari ini penempatan seseorang menjadi pemimpin tergantung kepada kelihaian dalam mengelola kata dan perbuatan sehingga menjadi terkenal oleh khalayak ramai. Tidak saja berhenti di sana, pendongkrakan popularitas ini kadangkala juga diperlicin dengan harta kekayaan yang didistribusikan kepada banyak orang  secara dadakan. Tindakan kebaikan dadakan ini menjadi untuk beberapa orang adalah “sniper” dan untuk beberapa orang lainnya adalah “peeper”. Di antara dua sikap politik ini sadar ataupun tidak, ada jurang yang mengganga lebar dan jembatan yang dibuat untuk penyatuan konsep, ambruk sebelum digunakan. Politik pun menjadi pajangan yang ditentukan oleh penggemar. Paham seperti ini tidaklah buruk sama sekali mengingat manusia sebagai perancang dan pelaku memiliki keanekaan baik fisik maupu mental, dan karenanya berhak memilih sesuai selera (De gustibus non est disputandum). Ada kesenjangan yang terus terjadi sebagai akibat dari dinamika politik pajangan seperti ini. Sejauh problem kesenjangan sosial dicermati, ada pengabaian atas hak-hak sosial, ekonomis dan kultural penduduk miskin yang merupakan mayoritas rakyat negeri ini.

            Politik pajangan berkiblat pada terkuaknya kisah-kisah di balik berbagai rentetan peristiwa yang berwarna politik baik positif maupun negatif. Keanekaan manusia yang memiliki hak untuk memilih pajangan politik yang disukai berdampak pada terbentuknya kelas-kelas tertentu sesuai dengan filosofi yang dipreteli oleh ketua kelasnya. Wawasan ketua kelas dalam suatu pajangan politik berpengaruh besar terhadap popularitasnya di antara kelas-kelas yang lain. Ada persaingan di antara satu kelas dengan kelas lainnya. Ada usaha untuk mengungguli kelas lainnya dan tindakan melawan hukum/etika demi mendapat identitas hebat dan kuat menjadi hal lumrah.

            Dinamika politik hari ini sulit diprediksi karena niat kebaikan atau kejahatan kadang tumbuh secara musiman. Kebaikan atau kejahatan yang dadakan bagikan dua sayap politik yang saling memberi keseimbangan dan karena keterlanjuran ini, kebanyakan orang di zaman kita menyimpulkan aktivitas dalam politik sesuka hati. Keterlanjuran mengidentifikasi politik sesuai dengan yang dialami, dirasakan atau didengar cenderung mengaburkan makna politik dalam arti kata sebenaranya(in sensu stricto).  Melupakan fondasi dalam berpolitik akan meruntuhkan bagunan politik seluruhnya. Para pelaku politik amatiran berusaha sedapat mungkin mendapat simpati sebelum pemilihan dengan melakukan banyak kebaikan, menjaga tutur kata dan perilaku seetis mungkin. Selama proses kampanye setiap paket telah mengumbar program-program unggulannya, menjejali rakyat dengan janji politik yang atrakrif dan prospektif. Semua perubahan psikologi pra pemilihan dilakukan secara dadakan dan setelahnya berbalik arah. Politik dadakan juga dijumpai  pada babarapa pribadi yang hanya karena mau dipilih berubah menjadi jahat. Kemanusiaan tidak diperhitungkan lagi dan hal seperti ini bisa terurai dalam beberapa bentuk. Perhatian kita juga terarah kepada beberapa calon pemimpin yang gagal meskipun telah melakukan kebaikan atau kejahatan dadakan. Yang terjadi adalah kebaikan atau kejahatan dadakan yang dilakoni sebelum pemilihan cenderung mengalami gangguan psikologis. Orang seperti ini juga adalah korban dari keanggotaan dalam politik amatiran.

            Politik hari ini gampang sekali beridentifikasi dengan  pemilihan. Nuansa politik yang kental sangat terasa menjelang dan pada saat pemilihan pemimpin dan setelahnya redup sama sekali. Para elit dan partai politik boleh bertarung dan saling menyerang sebelum pemilihan umum, namun setelah Pemilu berakhir, mereka berembuk dan membangun koalisi besar . Pergerakan partai politik yang super sibuk hanya terlihat pada saat-saat menjelang pemilihan pemimpin dan setelahnya dipeti-eskan. Konstelasi politik sangat menonjol pada saat adanya perekrutan seorang pemimpin. Mengangkat seorang pemimpin di masa kita sangat tergantung kepada tawaran kebaikan dadakan pada saat dadakan pula (menjelang pemilihan).

            Rahim dari suatu peradapan politik tidak pernah lekang dari urusan dalam kebersamaan. Paham tentang mengurus kepentingan umum secara bersama-sama demi kebaikan semakin banyak orang adalah proses yang kurang lebih didekatkan kepada defenisi politik. Apalagi politik dengan konsentarsi utamanya pada demokrasi sebagai marwahnya. Esensi demokrasi adalah keterbukaan untuk menggapai suatu kekayaan dalam kebersamaan.Penghuni politik di bawah atap demokrasi akan mendapati nuansa hidup dalam keterbukaan sehingga segala sesuatu dapat dikomunikasikan, sedemikian rupa sehingga terselenggra dalam caranya para warga menghidupi kehidupan. Rezim demokrasi ditandai dengan kehendak rakyat yang ingin hidup di bawah undang-undang yang sebisa mungkin tidak membatasi kebebasan dan sejauh mungkin mendukung hasrat bebas rakyat untuk mendapatkan apa saja yang dimaui. Akan tetapi, paham makna politik yang kemudian dijelaskan dalam cara-cara kekuasaan dan kepentingan berujung kepada kebungkeman massa untuk terlibat aktif dalam politik dan kemuakkan untuk terlibat dalam urusan-urusan politik. Membuat garis batas antara kegiatan sehari-hari dengan politik menjadi suatu kegagalan massal. Padahal pilar demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk berbeda pendapat.Politik yang hanya beridentifikasi dengan urusan kompleks kenegaraan dengan berbagai kerumitannya menjadikan usaha simpel sehari-hari luput dari paham politik. Kesalahan ini terus diperparah karena kobaran nuansa politik lekat sekali dengan suatu kegiatan harian dari partai politik  menjelang pemilihan.

            Politik amatiran dialami sebagai suatu bentuk pola pikir dan tingkah laku yang hanya berdekatan dengan urusan kepemerintahan pada level awal dan level berikutnya adalah cara-cara yang tidak elegan dalam mencapai kekuasaan. Pelaku amatiran dalam politik sangat nampak dalam cara berpikir yang dengan sengaja terkonsep untuk menimbulkan kekaguman massa dan akhirnya menjadi populer. Kepiawaian mengolah kata dalam menyampaikan orasi politik dengan tanpa disertakan paham yang benar membuat para orator politik dengan suka hati mengatasnamai kesejahteraan. Politik amatiran berpotensi menghalalkan segala cara dan dengannya logika politik diabaikan. Para pelaku dalam politik bertindak seolah-olah mengenal dengan benar intimitas makna politik dalam rumusan-rumusan yang kelihatannya baku secara gramatikal. Tindakan amatiran ini berujung kepada pola pikir masyarakat kebanyakan yang merasa puas dengan seni berbahasa calon pemimpin baik dalam orasi politik maupun dalam kampanye-kampanya menjelang pemilihan seorang pemimpin.

            Politik amatiran akan dengan sangat kentara terejahwantah dalam politik uang.Kursi kepemimpinan dapat dibeli dengan uang. Modus operandi yang digunakan untuk hal ini ada dalam banyak cara. Politik uang adalah salah satu anak kandung dari pelaku politik amatiran. Menggunakan harta kekayaan demi kekuasaan adalah salah satu cara ampuh yang ditawarkan di hadapan khalayak yang miskin. Dengan uang kesucian orang ternodai. Dengan uang kebenaran dapat dimanipulasi. Benarlah kata Karl Marx: uang adalah pelacur umum yang membuat orang-orang yang bermusuhan berciuman, uang adalah pelacur umum yang membuat orang yang bermusuhan berdamai kembali ataupun sebaliknya. Kutipan pendapat Karl Marx memberi isyarat akan kenyataan politik amatiran yang menggunakan uang sebagai jembatan dan kesimpulan Marx bisa didekatkan ke sini. Politik amatiran yang yang salah satu butirnya  terlahir dalam politik uang biasanya memiliki perhitungan ekonomis. Politik amatiran dengan modifikasi politik uang mendulang banyak prestasi demi menggapai prestise politik. Politik uang sudah banyak mengisi halaman depan buku politik Indonesia.

            Politik amatiran lihai dalam mengakumulasi kekayaan dari brankas negara yang diperoleh dengan banyak trik dan dalil. Salah satu yang masih segar dalam ingatan kita adalah permasalahan kronis korupsi atau  KUNKER fiktif dan PUNGLI  yang dilakukan oleh segelintir orang dalam salah satu lembaga negara beberapa waktu terakhir. Mereka ini adalah para pelaku politik amatiran. Berbagai macam program kerja yang dilakukan oleh para elit politik amatiran kalau diselisik secara tajam akan ditemukan kejanggalan. Ini semuanya menjadi jiwa dari penganut politik amatiran. Mengeluarkan banyak dana sebelum pemilihan akan digantikan berlipat ganda ketika sudah berkuasa karena kekuasaan dengan mudah mengatur juknis kepemerintahan dan mencari celah untuk simpanan pribadi. Lord Action, seorang sejarahwan Inggris berujar: power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely/manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.Pelaku politik amatiran akan menggunakan berbagai cara untuk mengelak dari tuduhan penyalahgunaan yang meskipun sudah terbukti secara hukum. Berbagai kasus korupsi yang menjerat aparat pelaku politik amatiran akhir-akhir ini  adalah jawaban  langsung dari kehendak poltik personal maupun golongan tertentu yang bermuasal kepada politik amatiran.

            Politik amatiran mendulang banyak prestasi terutama di negara kita. Menjadikan isu perbedaan demi prestise adalah hal lumrah dalam percaturan politik kita. Mencalonkan diri sebagai pemimpin dengan memperhitungkan jumlah kekerabatan tanpa kualitas personal dari kandidat adalah fakta yang tidak mudah untuk dilewatkan. Standar mayoritas baik suku, agama, ras maupun golongan menjadi skala utama pencapain tujuan berkuasa dan itu memberi negasi akan kualitas pribadi. Indonesia sebagai kesatuan bukan merupakan bangunan cultural dan rasial yang monolitis, tetapi sebuah tatanan hukum yang mampu menampung pluralitas kultural, agama, etnis, dan ideologi yang ada. UU mungkin juga menjadi biang keladi kekeliruan ini. UU mengatur supaya setiap warga negara berhak untuk dipilih tanpa penjelasan yang memadai akan syarat-syarat dari kepemilikan hak tersebut. Dan karenanya setiap orang memiliki hak untuk memeroleh kekuasaan dengan dipilih oleh semakin banyak orang tanpa memperhitungkan kualitas pengetahuan dan moral yang dituntut untuk itu. Bahkan meminta penjelasan tentang politik saja untuk orang seperti ini akan membuang-buang waktu. Kaum amatiran politik ini akan berusaha sedemikian rupa untuk menyingkirkan berbagai situasi diskursus yang berhubungan dengan tanggung jawabnya dalam kehidupan politik.

            Pelaku politik amatiran juga ditemukan pada beberapa orang yang menggunakan beberapa kesempatan untuk populer. Kemampuan untuk menggunakan sarana tertentu demi populritas misalnya agama tertentu menjadi jiwa dari para pelaku politik amatiran. Agama dijadikan sebagai tunggangan politik sudah dianggap wajar dalam percaturan politik kita. Mendekatkan agama yang ditunggangi dengan pribadinya demi melihat kualitas keberagamaannya tidak pernah menjadi titik simpul dari pelaku politik amatiran. Agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Para politisi, pemuka agama dan orang awam, terlibat dalam manipulasi simbol-simbol keagamaan sebagai salah satu teknik dalam perjuangan untuk kekuasaan. Ketika agama dipolitisasi, maka yang tertinggal adalah kesulitan yang tidak berkesudahan untuk membedakan antara agama dan politik. Massa rakyat yang berada dalam masa transisi mencoba menerjemahkan berbagai geliat politk dalam berbagai bentuk. Sebaliknya dalam masyarakat-masyarakat yang sedang dalam transisi, agama dapat menjadi alat, dengan mana massa menjadi sadar politik. Baik agama maupun politik keduanya berperan besar dalam pembanguna manusia yang utuh. Ketidakhadiran yang satu ataupun pencampuran keduanya akan berakibat fatal kepada kemandekan logika. Kemandekan logika akan melahirkan budaya instan dan budaya instanpun terejahwantah kepada akumulasi harta kekayaan yang diperoleh secara simultan dengan prestise politik. ada transaksi kepentingan pragmatis. Sebagai epilog dari uraian ini, saya menutip kata-kata Abraham Lincoln bagi calon pemimpin politik: satu kali saja kamu mengecewakan orang yang memilihmu, maka seribu kali engkau tidak dipercaya.