Sabtu, 20 April 2024
Sekolah Menengah Atas

GURU BERITA PAGI *)

Pagi hari itu, Pak Dila memasuki ruang tempat ia akan mengajar. Setelah acara penyambutan dan doa selesai dilaksanakan, Pak Dila memanggil salah seorang peserta didiknya dan menyuruhnya untuk mencatat pelajaran di papan tulis. Selesai memberikan mandat tersebut, dengan santai dan perasaan tak berdosa, Pak Dila keluar dari ruangan kelas menuju ruang guru setelah terlebih dahulu memberi wejangan kepada peserta didiknya untuk tidak keluar-masuk selama jam pelajaran berlangsung. Ironisnya, sesampai Pak Dila di tempat tujuan, ia mengambil gadgetnya dan langsung menggunakannya dengan sangat luar biasa serius. Saking seriusnya, Pak Dila bahkan tidak sadar telah lebih dari satu jam berkutat dengan gadgetnya. Akibatnya, kewajiban untuk membimbing siswa selama jam pelajaran habis sudah. Menjelang pergantian jam pelajaran, Pak Dila kembali ke ruang kelas, bukan untuk mengajar, melainkan mengambil buku pelajaran yang dititipkan ke peserta didiknya tadi.
Peristiwa yang digambarkan di atas merupakan salah satu contoh kejadian dalam potret dunia pendidikan. Guru “Berita Pagi“, mungkin kalimat yang pantas ditujukan atau barangkali gelar yang pantas dilekatkan untuk guru semacam Pak Dila. “BERI” berarti memberi, “TA” bermakna catatan, “PA” sama dengan pulang, sedangkan “GI” adalah lagi. Secara ringkas, “Guru Berita Pagi” adalah guru yang memiliki kebiasaan mengajar dengan cara memberikan catatan kepada peserta didik tanpa melakukan bimbingan secara langsung di ruang kelas.
Ditinjau dari sudut kode etik guru, setidak-tidaknya terdapat 4 hal yang tidak dilakukan oleh Pak Dila sebagai seseorang yang berprofesi sebagai seorang guru. Pertama, Pak Dila tidak melakukan kegiatan bimbingan terhadap peserta didik yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Kedua, dia tidak memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional yaitu kejujuran yang berkaitan dengan hati dan jiwa sebagai seorang pendidik. Ketiga, tidak diperolehnya informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. Keempat, tidak mampu menciptakan suasana sekolah untuk menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.
Menurut asal katanya, kata “guru” terdiri atas suku kata “gu” yang berarti digugu dan “ru” kepanjangan dari kata ditiru. Seseorang yang berprofesi guru, seharusnya adalah seseorang yang dituruti perkataannya dan ditiru perbuatannya. Guru adalah sosok manusia yang paling dihormati, terutama oleh peserta didik. Sosok ini merupakan prototipe kebaikan atau suri tauladan (uswatun hasanah).
Bagi peserta didik, guru dianggap sebagai dewa penolong dan orang yang mengetahui banyak hal. Di Jepang, Australia, Amerika, dan hampir semua negara di dunia, para peserta didik memiliki ungkapan-ungkapan yang ditujukan kepada guru seperti The Man Who Knows Everything (orang yang mengetahui banyak hal),The Place To Ask (tempat untuk bertanya), The Teacher Is The Good Man (guru adalah orang baik), dan sebagainya. Masalahnya, tidak semua guru layak mendapat predikat-predikat tersebut, atau dapat berperan sebagai guru yang baik.
Masih melekat dalam ingatan penulis, wejangan salah satu kepala sekolah tentang salah satu ciri guru yang baik yaitu, kalau sedang mengajar, ia merasa bahwa ruang kelas adalah rumahnya. Apa pun yang terjadi di luar rumahnya, sang guru tidak akan terpengaruh untuk keluar dari ruang kelas (kecuali ada alasan yang jelas dan diterima akal). Kemudian, seandainya pada waktu berlangsungnya kegiatan pembelajaran, guru merasa kurang nyaman (mungkin karena faktor personal, kondisi ruangan, atau faktor lain), guru dapat melakukan apa pun yang sifatnya mendidik dan menghindari keluar dari ruangan (melakukan selingan atau breaking ice untuk lebih mengoptimalkan pembelajaran atau memberikan jeda istirahat dalam kegiatan pembelajaran).
Sekilas, pernyataan atau wejangan tadi dirasakan terlalu berlebihan, seolah-olah guru dipaksa untuk menjadi “hantu” atau penunggu ruang kelas. Namun jika dianalisis secara mendalam, dipikirkan dengan pikiran jernih, diterima oleh hati nurani dan akal sehat, wejangan tersebut mengandung makna yang cukup dalam. Kita mengetahui bahwa sebagian besar kegiatan pembelajaran di sekolah berlangsung di dalam ruang kelas. Dalam kegiatan pembelajaran tersebut, terjadilah proses-proses penting yang merupakan inti kegiatan  pembelajaran yaitu proses pengajaran dan proses pendidikan.
Proses pengajaran merupakan salah satu metode yang digunakan dalam dunia pendidikan melalui transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) sehingga dapat dipahami oleh peserta didik. Di samping itu juga, proses pengajaran dapat diartikan sebagai proses memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan bagaimana menjadi manusia seutuhnya, termasuk di dalamnya adalah hubungan timbal balik (feedback relationship)antara peserta didik dengan guru, dan bimbingan bermakna lainnya. Proses ini lebih bersifat teknis meliputi proses merencanakan, mengarahkan, memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik untuk memperoleh ilmu pengetahuan baru dan penguasaan teknologi. Sedangkan proses pendidikan merupakan sebuah konsep menyeluruh yang berkaitan proses pembentukan manusia yang utuh dan berkualitas.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Pak Dila dapat dikatakan sebagai guru yang baik? Apakah seorang guru dapat mendidik secara optimal jika tidak pernah melakukan bimbingan langsung di dalam kelas? Atau, apakah kita termasuk guru yang berprilaku sama dengan Pak Dila?
Pak Dila hanya merupakan satu contoh guru yang belum (bukan kurang) melaksanakan tugasnya dengan baik. Nama Dila mungkin bisa diartikan sebagai pendidik yang khilaf. Boleh jadi masih banyak Dila-Dila lain.

*) admin