Jumat, 29 Maret 2024
Sekolah Menengah Atas

ALLAH YANG KEJAM!

ALLAH YANG KEJAM!

poli muing garis mose dite hoó ga?

NASIB=HIDUP KITA SUDAH DITENTUKAN. ITUKAH TAKDIR?

Para saudara sidang pembaca yang berbahagia. Salam literasi. Sudah banyak hal yang saya refleksikan sejauh ini tentang beberapa tema yang berbeda. Pada saat ini saya merasa sangat tergugah dalam kegoncangana menafsirkan beberapa anggapan yang bagi saya patut kita perdebatkan secara bersama. Dalam beberapa kesempatan ketika berkumpul dalam salah satu komunitas tertentu, ada saja ucapan celotehan orang-orang yang membuat kita tidak secara serampangan memberi tanggapan tanpa kecukupan paham. Beberapa orang di antara kita ada yang berpikir bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh Allah.  Bahkan lebih hebat lagi jauh melampaui itu yakni hidup kita bahkan sebelum terbentuk secara fisik/sebelum kita dilahirkan sudah digariskan akan menjalani hidup sesuai dengan ketentuan sebagaimana daftar nama dan pekerjaan yang harus dijalankan. Secara negatif juga diungkapkan bahwa kita tidak memiliki hak untuk mengubahnya. Pertanyaan pemantiknya bagi kita adalah seburuk itukah Allah Kita? Sekeras itukah pemilik kehidupan ini? Dalam retorikanya kemudian dirumuskan salah satunya adalah sedangkal itukah pemikiran kita dalam melihat Allah yang melengkapi kita dengan pola pikir yang selalu berbeda setiap pribadinya bahkan untuk satu hal yang tampaknya sama? Bagaimana semua ini bisa diperdamaikan?

Sebagai suatu komunitas, manusia membentuk segala sesuatu dan alam pikirannya dibentuk oleh cara orang-orang itu memandang. Cara pandang yang terbentukpun pernah diakui sebagai akibat dari pola kehidupan yang dijalani. Untuk beberapa dekade, pola pemikiran manusia yang berakibat kepadaa cara pandangnya terhadap segala sesuatu dibentuk berdasar pada apa yang dialami dan dirasakan. Menerjemahkan pengalaman dan perasaan telah mengikatkan mereka pada cara tertentu dalam berpikir dan bertindak. Masa nomaden/kehidupan berpindah-pindah dari manusia pra sejarah juga berpeluang besar kepada cara mereka memandang sesuatu. Keseluruhan proses yang bergantung kepada penyediaan alam telah menjadikan mereka mampu meraih suatu cara pandang yang bergesekan dengan pola yang selau berulang-ualang dalam pengalaman.

Dalam ulasan-ulasan akademis ditemukan sedikit benang merah antara cara hidup manusia zaman dulu yang berada di bawah pengawasan seorang figur sebagai pemimpin dengan paham yang menjadi cikal bakal paham nasib atau takdir. Pola kerajaan dengan menempatkan seorang sebagai penguasa dan sang penguasa dilihat sebagai titisan satu kekuatan gaib menjadi salah satu awal caranya manusia hidup. Perintah seorang raja diyakini sebagai pengejahwantahan kekuatan yang tidak kelihatan, sehingga ada unsur keterikatan yang mesti dijalankan dan kalau membangkang dari perintah raja ada akibat yang harus diterima. Semua konsep ini melingkupi keseluruhan cara pada mana manusia terikat oleh satu kekuasaan tertentu dan manusia sebagai makhluk yang tergantung pada penguasaan seorang, tidak memiliki andil apapun untuk mengubahnya. Semua dilakukan dalam ketertundukan total. Melakukan tugas-tugas dalam suatu kerajaan yang sesuai dengan kelas sosial sudah merupakan garis linear yang tidak pernah salah. Pola ini terus berlanjut sehingga semua hal dilihat hanya sebagai bagian kecil dari suatu roda yang dikendalikan oleh seseorang dengan raja sebagai titisannya. Kalau kita mau bertolak lebih ke dalam paham yang demikian, kita akan menemukan satu istilah kunci yakni eudaimonia. Istilah kunci ini berarti kebahagiaan. Kebahagiaan dipandang sebagai tujuan tertinggi hidup manusia. Setiap usaha yang manusia lakukan demi dan hanya untuk menggapai kebahagiaan. Akan tetapi, benarkah istilah eudaimonia/kebahagiaan lepas sama sekali dari konsep ketergantungan. Ketika diselisik, kita menemukan bahwa konsep ini sangat melekat dengan pengertian sebagaimana nasib manusia yang ditentukan oleh orang lain/figur lain di luar tanggung jawab seseorang. Buktinya, secara etimologi kata eudaimonia  terbentuk dari dua kata yakni eu berarti kebahagiaan/kesejahteraan dan daimones berarti para dewa. Dengan ini menjadi jelas bahwa kandungan dari istilah ini menunjukan bahwa kebahagiaan/ kesejahteraan bukanlah usaha murni manusia, tetapi merupakan anugerah para dewa. Paham yang ditunjukan dari istilah eudaimonia  ini menunjukkan konsep manusia tentang peyelenggaraan segala sesuatu di dunia fisik kita yang dikendalikan oleh satu kekuatan adikodrati, kekuatan adidaya yang melampaui cara berpikir dan cara bertindak manusia. Dalam posisi seperti ini, manusia hanya dpreteli layaknya mesin sedemikian rupa sehingga akan bergerak sesuai dengan kesukaan pemegang remot. Pemegang remot yang mengontrol manusia tidak dengan sendirinya bergerak. Pengendalian total ini pada akhirnya meniadakan secara total kebebasan manusia yang memiliki instrument untuk memilih yang sesuai dengan keadaannya. Paham yang meniadakan secara total kebebasan manusia untuk memilih harus segera ditinggalkan dengan merujuk kepada beberapa uraian berikut ini.

Sekian banyak uraian tentang eksistensi manusia yang menunjuk kepada adanya kemampuan dalam dirinya untuk dapat membedakan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Hal-hal inipun disadari sebagai salah satu kenyataan manusia yang berada dalam salah satu komunitas yang menetaskan cara berpikir dan bertindak.  Dengan cara berpikir dan bertindak yang dierami dan ditetas oleh komunitas dalam budaya manusia, terlahirlah beberapa cara berbeda dalam menghidupi kehidupan. Salah satu instrument yang dipakai oleh manusia dalam menentukan apa saja, berasal dari adanya kemampuan rasional yang dengannya terbedakan dengan makhluk hidup lainnya di atas planet ini. Instrument rasional ini diakui menjadi kekuatan yang memampukan manusia  menentukan pilihan dalam hidup. Retorikanya sederhana: kalau segalanya sudah ditentukan sebagaimana paham nasib atau takdir, maka tidak perlulah kita bergerak. Kita hanya menunggu, kapan ia(nasib) itu datang. Kalau cara pandang ini menyusup masuk ke dalam pola pemikiran kita, maka kita sesungguhnya mengkhianati keberadaan kita sendiri sebagai makhluk yang untuk hal-hal tertentu kita mampu memilih yang ini dan bukan yang itu.

Sebagai ulasan teoritis, ada banyak hal yang akan dikaitkan sehingga menunjuk kepada terhubungnya cara pandang kita akan destinasi. Dan lebih sederhana lagi bagaimana kiranya cara kita menyikapi pandangan yang agak keliru tentang nasib/takdir. Saya akan mencoba memandu pembaca sekalian untuk melihat peri hal kehidupan pada awal mula yang dapat membuka selumbar demi selumbar di mata kita, sehingga harapannya melihat secara terang benderang apa saja yang berhubungan dengan diskusi kita. Saya mengangkat salah satu kisah dari Yahudi-Kristiani dari kitab Kejadian. Dalam kitab Kejadian ada kisah menarik yang menunjuk kepada entakah itu nasib ataukah pilihan karena kehendak bebas. Dalam kisah Adam dan Hawa kita menemukan goresan awal yang memberi  sekurang-kurangnya pengantar bagi kita kepada nasib/takdir. Adam dan Hawa diberi keleluasaan oleh Allah untuk menikmati indahnya Taman Eden, tetapi pada kesempatan yang sama Allah memertimbangkan keleluasaan itu dengan memeberi manusia pilihan yang akan menentukan keberlangsungan hidup. Pohon kehidupan menjadi tantangan dalam menguji kebebasan Adam dan Hawa. Pilihan yang manusia buat untuk makan buah yang dilarang adalah pilihan manusia sendiri dan kalau kita cermati semenjak saat itu keharmonisan berubah menjadi kekacauan, kesadaran akan rasa malu bertumbuh seiring dengan pilihan bebas mereka. Mereka merasa malu karena mendapati dirinya telanjang di hadapan Allah. Pilihan bebas Adam dan Hawa akhirnya menjauhkan mereka dari Allah dan diusir dari hadapan Allah. Penyalahgunaan kehendak bebas inilah yang menjadi akar dari jauhnya manusia baik terhadap Allah maupun terhadap ciptaan Allah lainnya.

Kita sekarang beralih ke isu yang lebih dahsyat dalam Perjanjian Baru. Jika kita membaca PB secara keseluruhan dalam konteks yang benar, kita akan menemukan bahwa sesunggunya peristiwa inkarnasi adalah pernyataan tegas yang Allah putuskan untuk memasuki ruang dan waktu manusia dan dengannya memasuki sejarah manusia, Allah menjadi manusia. Keputusan mengambil rupa seorang manusia yang Allah lakukan demi mengalami kehidupan manusia di satu sisi dan sisi lainnya adalah hasrat yang tidak ada bandingnya untuk menyelamatkan semua manusia tanpa pengecualian. Bahkan kalau kita menempatkan salah seorang figur PB yang banyak disoroti sebagai orang terkutuk, terhina yakni Yudas Iskariot dalam konteks memahami nasib/takdir, kita akan tahu bahwa Allah yang mengetahui segala sesuatu bahkan yang akan dibuat Yudas Iskariot sekalipun, mau menyelamatkannya. Dalam Injil Mateus 10:1-10 kita membaca kisah terpanggilnya para murid Yesus dan menyertakan mereka dengan kualitas yang sama tanpa pengecualian. Yudas Iskaroit dan kesebelas murid lainnya diberi otoritas yang sama untuk memberitakan Injil dan kemampuan super yang Allah anugerahkan tanpa pengecualian, meskipun Yesus tahu bahwa dia akan menkhianatiNya nanti. Demikianpun kalau kita membaca Lukas 10:17-20 dimana ke tujuh puluh murid diutus dan dalamnya termasuk Yudas Iskariot. Satu hal yang menarik dari teks Lukas ini adalah di ayat 20 dengan pernyataan bahwa nama-nama para murid yang diutus dan kembali dengan kemenangan akan ditulis di surge. Lagi-lagi termasuk Yudas iskariot. Dengan kata lain, Allah sungguh memiliki niat menyelamatkan manusia tanpa kecuali termasuk orang yang sudah Allah ketahui akan mengkhianati Dia. Dalam konteks ini, kita menemukan bahwasannya siapa yang menang akan terukir namanya di surge dan namanya tidak akan terhapuskan dari kitab kehidupan (bdk.Why 3:5). Tetapi jika anda gagal, nama anda akan dihapus dalam kitab kehidupan (bdk. Kel.32:32-33).

Dalam bacaan-bacaan kitab suci yang coba saya tunjukan di atas, akan nampak bahwa Allah menghendaki keselamatan bagi semua orang tanpa kecuali. Keputusan untuk menerima keselamatan diserahkan kepada setiap orang. Apakah memilih diselamatkan atau dibinasakan? Dengan denmikian konsep nasib/takdir runtuh seketika berhadapan dengan fakta ceritera kitab suci dalam anggapan yang tidak mungkin salah tentang kehendak bebas. Penyalahgunaan kehendak bebaslah yang membuat kita jauh dari penyelenggaraan Allah. Tentang pemahaman Penyelenggaraan Allah, banyak di antara kita mungkin memahaminya secara tidak benar seolah-olah itu berhubungan dengan campur tangan Allah tanpa mengikutsertakan usaha dan karya manusia. Dr. Nico Syukur Diester dalam bukunya FILSAFAT KEBEBASAN mengutip pandangan teolog Paul Tillich dalam mendefenisikan penyelenggaraan Allah: kepercaayaan akan penyelenggaraan ilahi adalah kepercayaan bahwa tidak sesuatu pun dapat menghindari kita menyelesaikan arti terakhir keberadaan kita. Penyelenggaraan tidak berarti bahwa bagaikan pada sebuah mesin segala sesuatu berjalan menurut rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Penyelenggaraan berarti bahwa setiap situasi ditandai oleh suatu potensi kreatif dan menyelamatkan, yang tidak dapat ditiadakan oleh kejadian apapun juga. Penyelenggaraan berarti bahwa daya-daya keiblisan dan penghancur di dalam diri kita sendiridan di dalam dunia tidak pernah dapat menguasai kita seluruhnya dan bahwa ikatan yang mengikatkan kita pada cinta kasih yang sempurna tidak pernah dapat disobek sampai terlepas.