Sabtu, 20 April 2024
Perguruan Tinggi

Pakar Unpad Perkirakan Biaya Pengobatan Gangguan Kesehatan Jiwa Indonesia Mencapai Rp 87,5 T

Pakar Unpad Perkirakan Biaya Pengobatan Gangguan Kesehatan Jiwa Indonesia Mencapai Rp 87,5 T

Laporan oleh Anggi Kusuma Putri

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Prof. Irma Melyani Puspitasari, M.T., PhD, memperkirakan, total estimasi biaya langsung tahunan untuk gangguan kesehatan jiwa di Indonesia adalah sebesar Rp 87,5 triliun atau sekitar USD 6,2 miliar.

Hal tersebut disampaikan Prof. Irma saat menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Profil dan Biaya Pengobatan Gangguan Kesehatan Jiwa di Indonesia” yang dilaksanakan Dewan Profesor Unpad secara daring, Sabtu (27/5/2023).

Prof. Irma memaparkan, angka tersebut merupakan estimasi prevalensi gangguan kesehatan jiwa, mencakup gangguan skizofrenia, bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan selama setahun. Perkiraan biaya langsung tahunan untuk skizofrenia sebesar Rp 1,5 T, gangguan bipolar Rp 62,9 T, depresi Rp 18,9 T, dan gangguan kecemasan Rp 4,2 T.

Pada 2018, sekitar 470 ribu orang di Indonesia mengalami skizofrenia. Selanjutnya, gangguan bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan dialami oleh sekitar 19 juta orang di Indonesia. di Indonesia dengan asumsi semua pasien memathui perawatan medis dalam setahun.

Dalam penelitian yang dilakukan Prof. Irma dan tim pada 2020, didapatkan hasil bahwa biaya rata-rata pengobatan skizofrenia untuk satu tahun itu sekitar Rp 3,3 juta. Sementara untuk gangguan bipolar sekitar Rp 17,9 juta, depresi sekitar Rp 1,6 juta per tahun dan gangguan kecemasan Rp 1,1 juta.

Estimasi penghitungan ini didasarkan pada Burden of Disease (BOD) atau cost of illness. Pada studi cost of illness ada beberapa biaya yang dapat diikutsertakan, yaitu biaya langsung, biaya tidak langsung, dan biaya intangible.

“Biaya langsung biasanya berupa biaya obat, biaya konsultasi dokter, dan biaya administrasi. Biaya tidak langsung itu kerugian produktivitas karena tidak bekerja dan juga ada biaya intangible,” jelas Prof. Irma.

Namun, estimasi biaya kesehatan jiwa ini sebenarnya akan lebih rendah, karena tidak semua individu dengan gangguan jiwa di Indonesia mencari pertolongan untuk kondisinya atau patuh berobat. Data Riskesdas melaporkan bahwa hanya sembilan persen pasien depresi di Indonesia yang mendapatkan pengobatan.

“Hal ini mungkin terjadi karena pengetahuan tentang kesehatan jiwa yang kurang baik, sikap negatif terhadap pengobatan, efek samping pengobatan, efek terapeutik yang buruk, serta adanya stigma di masyarakat,” kata Prof. Irma.

Dalam penelitiannya, Prof. Irma juga mengadakan survei tentang persepsi, pengetahuan, serta sikap terhadap gangguan kesehatan jiwa dan pengobatannya kepada para mahasiswa. Hasilnya, 51,29 persen mahasiswa masih memiliki perspektif negatif terhadap gangguan kesehatan jiwa dan pengobatannya.

Karena itu, Prof. Irma menyampaikan bahwa promosi kesehatan tentang gangguan kesehatan jiwa harus dilakukan untuk meningkatkan perspektif menjadi positif, pengetahuan yang lebih baik, dan juga sikap positif dari masyarakat dan salah satu caranya adalah melalui media sosial.

Prof. Irma bersama tim juga mengembangkan aplikasi “De-stres” untuk memantau stress level dan deteksi dini dari gangguan kesehatan jiwa di Indonesia. Aplikasi ini dapat mengukur tingkat stress dan membantu orang mengenali respon tubuh terhadap stress serta deteksi dini gangguan kesehatan jiwa seseorang.

“Aplikasi ini sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan telah diunduh lebih dari 1.800 pengguna,” jelas Prof. Irma. (arm)*