Sabtu, 20 April 2024
Sekolah Menengah Kejuruan

Rahasia di Balik Pernikahan Dini


Ketika seseorang berpacaran; semua terasa indah. Waktu yang lama pun, terasa begitu
singkat. Walaupun sudah banyak hal yang diceritakan, rasanya ingin terus bercerita, bercerita, dan
bercerita lagi. Begitu nikmat, saat bercengkerama, saling tukar pikiran, atau sekedar tanya jawab.
Dan cerita ini akan berubah, manakala keduanya sepakat menjalin mahligai rumah tangga.
Awal sebuah pernikahan terkadang muncul konflik, mungkin saja hanya masalah sepele.
Setelah dikaruniai anak, permasalahan hidup juga makin kompleks terkadang muncul keengganan
untuk menjalin komunikasi yang lebih hangat. Hal ini harus segera ditanggulangi, sebelum
masalah menjadi lebih berat.
Pernikahan merupakan pengalaman yang paling penting dan paling menyenangkan dari
segala hubungan manusia. Pernikahan merupakan dasar sejati dalam hidup berkeluarga, tentunya
kurang tepat, andai kita menganggap, bahwa pernikahan itu sesuatu yang mudah untuk dijalani.
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, pada umumnya mereka berharap , bahwa
pernikahan itu hanya terjadi sekali seumur hidup. Berbagai cara ditempuh guna memupuk dan
memelihara relasi antar pasangan dan antar anggota keluarga, supaya perjalanan hidup berkeluarga
dapat dipertahankan di tengah arus zaman yang penuh godaan dan tantangan.
Relasi antar pasangan, juga relasi orangtua dan anak merupakan relasi yang ‘unik’. Relasi
ini terbentuk secara alami tanpa dapat ditentukan; bersama orang seperti apa kita akan berelasi?
Orangtua tidak bisa memilih, anak seperti apa, yang akan dimilikinya? Demikian pula seorang
anak tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi orangtuanya? Uniknya, kendati tidak
memilih sendiri ikatan cinta kasih dalam keluarga, pada umumnya terjalin dengan sendirinya,
tanpa syarat, terlepas dari gaya mengasihi masing-masing keluarga.
Permasalahan muncul, ketika dalam keluarga tidak mampu menangkap relasi kasih sayang,
antaranggota, khususnya relasi orangtua dan anak. Bagaimanapun orangtua yang pegang kendali,
di tangan orangtualah arah keluarga ditentukan; orangtua memiliki tugas penting untuk
menciptakan iklim relasi yang sehat.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya budaya Jawa, umumnya orangtua menduduki
posisi lebih tinggi daripada anak. Kendati penggunaan bahasa Jawa dalam interaksi keseharian
keluarga jawa sudah mulai jarang, terutama pada keluarga muda, namun hierarkis tampaknya
masih tersisa.
Budaya hormat pada orang yang lebih tua tentu saja merupakan hal yang perlu dilestarikan.
Meskipun pemaknaan rasa hormat perlu dipertimbangkan. Permasalahan muncul, ketika perasaan
saling menghormati tidak ditumbuhkan. Praktik yang tidak sehat, andai anak dijadikan ‘objek’.
Sebagai orantua secara tidak sadar, kita sering menjadikan anak sesuai dengan kehendak
kita. Keinginan itu membawa kita pada perilaku ‘meng-objek-kan anak, tanpa sungguh-sungguh
memahami, bahwa anak adalah pribadi yang lepas. Jika situasi ini sering dan terus terjadi, akan
ada dampak negatif yang menyertai kehidupan anak selanjutnya.
Bagaimana dengan fenomena pernikahan anak usia dini?
Menurut UU No.16 Tahun 2019 yang berisi penjelasan perubahan atas UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, dan berlaku sejak 15 Oktober 2019 menjelaskan batas minimal usia
menikah adalah 19 tahun, baik pria maupun wanita. Secara medis usia 16 tahun (di bawah 19
tahun) dianggap masih terlalu dini untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Hasil penelitian
menyebutkan, bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini antara
lain: faktor kemiskinan, pendidikan, budaya.
Manusia lahir ke dunia, satu dan yang lain berbeda asal, tempat lahir, siapa orangtua
mereka, dan dalam situasi yang bagaimana mereka dilahirkan. Siapapun kita, tidak bisa memilih
dalam hal kelahiran. Ada anak yang dilahirkan dari orangtua kaya, mapan, dan terhormat. Ada
pula anak yang dilahirkan dari orangtua miskin, tak berpendidikan, bahkan bernasib malang.
Dalam perkembangan, senyatanya nasib baik berpihak pada mereka yang lahir dan
berkembang dalam lingkungan dengan kondisi keluarga yang mapan, tercukupi kebutuhan materi
maupun kebutuhan batin. Lalu, bagaimana perjalanan hidup anak-anak yang lahir dari keluarga
miskin, tidak berpendidikan, atau orangtua yang bermasalah?
Hidup bagaikan sebuah perlombaan lari maraton dengan garis start yang berbeda-beda.
Ada yang dari garis start di daerah terpencil, terjal, dan sulit dilalui. Namun ada yang mendapat
garis start di tempat yang nyaman, dengan banyak kemudahan.
Untuk mencapai garis finish, perjuangan hidup mereka berbeda. Ada yang berhasil
mencapai garis finish dengan banyak kemudahan. Ada pula yang mencapai garis finish, setelah
melalui berbagai aral melintang. Namun ada pula yang gagal mencapai garis finish; hidup mereka
kurang beruntung, alias miskin yang pada akhirnya berujung pada masalah perekonomian
keluarga. Kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya pernikahan dini,
keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi cenderung menikahkan anaknya pada usia muda.
Karena orangtua merasa tidak mampu mencukupi kebutuhan anak dan merasa tidak mampu
membeayai sekolah, akhirnya mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan
lepas tanggung jawab, untuk membeayai kehidupan mereka, maupun harapan anak bisa
memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Di samping faktor kemiskinan, pendidikan juga mempengaruhi, terutama pendidikan
seksualitas. Banyak orangtua yang masih beranggapan, bahwa seksualitas itu tabu untuk
dibicarakan, karena berhubungan dengan seksual pria dan wanita dewasa. Sebelum memberikan
pendidikan seksual pada anak, sebaiknya orangtua harus memahami istilah seks dan seksualitas.
Seks adalah hal yang berkaitan dengan jenis kelamin pria dan wanita (menurut KBBI ). Sedangkan
seksualitas memiliki makna yang lebih luas; bisa dicermati dari berbagai pandangan; sosial,
psikologis, dan budaya ( sumber: PKBI ).
Pendidikan seksualitas pada anak, artinya mengajarkan struktur organ tubuh; fungsi tubuh,
merawat anggota tubuh, maupun perubahan yang terjadi saat anak remaja dan mengalami pubertas,
termasuk kesiapan organ tubuh saat seseorang yang masih belia menikah dini. Pendidikan
seksualitas juga mencakup perbedaan struktur dan fungsi organ tubuh antara laki-laki dan
perempuan, bagaimana menjalin relasi antara pria dan wanita, relasi antarteman dan orang lain,
menjaga suasana hati (perasaan) diri sendiri dan orang lain, kecermatan mengambil keputusan
dalam kehidupan sehari-hari, serta pemahaman dan penerapan nilai-nilai kemasyarakatan, yang
diyakini dalam keluarga.
Keberhasilan pendidikan seksualitas, dapat tersampaikan dengan baik, diperlukan relasi
yang baik pula antara orangtua dan anak. Orangtua perlu mengomunikasikan seksualitas secara
terbuka, bukan yang bersifat larangan-larangan. Di samping itu pendidikan seksualitas perlu
dilakukan secara berkelanjutan, mulai dari masa kanak-kanak sampai mereka remaja, seiring
perkembangan setiap anak. Orangtua yang paham akan pendidikan seksualitas, secara tidak
langsung dapat menekan jumlah perkawinan manusia muda secara dini.
Kita sadari bersama, bahwa kita hadir di kancah kehidupan ini, tidak dengan tiba-tiba ada,
tidak sekedar mak pecungul, dalam ungkapan Jawa. Kita hadir dan hidup melalui proses yang unik
dan berbeda satu sama lain. Proses yang unik dan berbeda dengan yang lain, tentunya melibatkan
orangtua kita. Lebih dari itu, kedua orangtua kita tidak hanya telah menghadirkan kita ada di dunia
ini, namun juga mempengaruhi cara kita berada, cara kita hadir dan cara kita berkiprah dalam
kehidupan. Suka atau tidak, mereka memiliki pengaruh yang kuat pada kita dalam hal berpikir,
memandang dunia, bersosialisasi dengan lingkungan, keterlibatan dalam masyarakat, yang
akhirnya membentuk sebuah komunitas yang dipageri oleh budaya, aturan-aturan, adat istiadat
dan kebiasaan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Budaya dapat menjadi pemicu terjadinya perkawinan usia muda, baik budaya dalam
keluarga yang bersangkutan, maupun budaya tempat seseorang bermukim. Budaya perkawinan
usia muda pada keluarga dikarenakan ada kekhawatiran seorang anak perempuan akan menjadi
perawan tua. Dan hal ini berlangsung terus menerus, sehingga anak-anak yang ada pada keluarga
tersebut secara otomatis dan turun temurun akan mengikuti tradisi keluarga. Budaya yang diyakini
masyarakat tertentu semakin menambah prosentase perkawinan usia muda di Indonesia.Misalnya
keyakinan bahwa tidak boleh menolak pinangan seseorang, walaupun masih dibawah umur 19
tahun, andaikan ada penolakan dapat dianggap menyepelekan dan menghina martabat seseorang
(pelamar). Ada pula sebagian masyarakat yang berpendapat, bahwa wanita itu pada akhirnya di
dapur dan mengurus keluarga, oleh karenanya tidak perlu sekolah terlalu tinggi! Nah…nilai-nilai
budaya tersebut dapat mempengaruhi makin maraknya pernikahan anak usia dini.
Ada banyak relasi antarpribadi, namun relasi orangtua dan anak merupakan relasi dasar
yang menentukan pelbagai aspek perkembangan kehidupan berikutnya, baik bagi anak maupun
orangtua sendiri. Relasi orangtua dengan anak terbungkus dalam kegiatan pengasuhan. Kendati
dianggap sebagai kegiatan dan fungsi natural, otomatis, serta tidak terikat syarat tingkat
pendidikan tertentu, pengasuhan merupakan kunci pokok dan landasan utama bagi perkembangan
pribadi anak, khususnya perkembangan identitas diri, keyakinan diri, bersosialisasi, emosional,
serta cara berpikir. Bagi orangtua, keterlibatan dalam mengemban tugas dan peran penting dalam
meletakkan dasar- dasar pengetahuan dan keterampilan hidup akan berpengaruh pada kematangan
dan kedewasaan pribadi anak, dengan harapan pernikahan usia dini bisa ditekan! (Penulis: Dra. Agustina Maria B.P, M.Pd)