Rabu, 03 Juli 2024
Perguruan Tinggi

Tim PKM-RSH FIS UNIMED Riset Budaya lokal Pemeliharaan Hutan Samosir

Tim PKM-RSH FIS UNIMED Riset Budaya lokal Pemeliharaan Hutan Samosir

Hutan memiliki fungsi krusial bagi seluruh makhluk hidup, terutama manusia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas area hutan Indonesia mencapai 94,1 juta hektare atau 50,1% dari total daratan Indonesia. Namun, ironisnya, tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 47% atau sekitar 8.431.969 hektare pada kawasan hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Kerusakan dan degradasi hutan pada skala nasional tidak terlepas dari tingginya aktivitas eksploitasi hutan, konsumsi yang tidak bertanggung jawab, dan deforestasi yang mengabaikan keberlanjutan hutan.

Tingginya aktivitas perubahan lahan hutan menjadi non-hutan melalui deforestasi juga menjadi potensi permasalahan lain, yaitu bencana alam seperti erosi dan longsor akibat tidak adanya pepohonan yang dapat menampung air hujan. Keadaan ini juga rawan terjadi di wilayah hutan di Sumatera Utara, khususnya Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara tahun 2021 mencatat peningkatan kasus bencana longsor setiap tahunnya dalam rentang 2018-2020 dengan total 73 kasus yang tersebar di berbagai wilayah Kabupaten Samosir, dengan Kecamatan Harian mencatatkan kasus tertinggi.

Ironisnya, hutan di Kecamatan Harian dahulu dipelihara dengan baik melalui sistem adat dan budaya setempat. Salah satu bentuk sistem budaya lokal etnik Batak Toba yang berperan dalam pemeliharaan hutan dikenal dengan “Huhuasi.” Huhuasi adalah bentuk komunikasi dengan entitas “roh” penjaga hutan, dimana masyarakat Batak Toba menciptakan rangkaian tradisi dan aturan pengelolaan hutan. Tradisi Huhuasi melibatkan praktik seperti Mambaen Hinoppingan (Pembuatan Sesajen), Mangelek (Membujuk/Meminta Izin), Manontuhon Tekke (Menentukan Usia Pohon), Mambabai (Menebang), Sibanggua (Larangan), Marsiruppa (Gotong Royong/Kerja Sama), hingga Manordahon (Pembagian Kayu). Namun, tradisi ini mengalami degradasi baik secara pengetahuan maupun praktik akibat peralihan status dan fungsi hutan adat menjadi hutan nasional, yang menurunkan partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan karena akses yang terbatas.

Sejalan dengan upaya konservasi dan revitalisasi kearifan lokal Huhuasi, salah satu tim PKM-RSH dari Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan berhasil meraih pendanaan riset dalam Program Kreativitas Mahasiswa Tahun 2024 oleh Kemendikbudristekdikti. Riset dilakukan di Desa Siparmahan, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir, lokasi yang dipilih berdasarkan data empiris sebagai area terdampak bencana longsor. Riset berlangsung sejak Mei hingga Juni 2024 dengan mengangkat judul “Risau Huhuasi: Keberlanjutan Budaya Pemeliharaan Hutan Etnik Batak Toba dalam Analisis Budaya dan Pemetaan Risiko Bencana Longsor di Kabupaten Samosir.” Tim riset ini terdiri dari Windo Putra Sanjaya Simbolon (Pendidikan Antropologi), Esrawati Satriana Simanullang (Pendidikan Antropologi), Amru Akbar Harahap (Pendidikan Geografi), dan Arbiansyah (Pendidikan Geografi, dengan dosen pendamping Dedi Andriansyah, S.Pd., M.Si.

Secara khusus, riset ini bertujuan untuk: (1) menelusuri dan menganalisis bentuk budaya pemeliharaan hutan pada etnik Batak Toba dalam analisis ekologi budaya di Kecamatan Harian, Samosir; (2) menganalisis tantangan keberlanjutan budaya pemeliharaan hutan pada etnik Batak Toba saat ini dan kaitannya dengan bencana longsor dalam analisis Pemetaan Risiko Bencana di Kecamatan Harian, Samosir; (3) mendesain model strategi yang optimal dalam penguatan keberlanjutan budaya pemeliharaan hutan sebagai upaya mitigasi bencana longsor di Kecamatan Harian, Samosir.

Melalui riset ini, diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah terkait konservasi hutan berbasis pendekatan kultural. Selain itu, menjadi model strategi optimal yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam memberdayakan hutan secara bijaksana berdasarkan kearifan lokal setempat. Dengan demikian kedepannya diharapkan terciptanya jaringan sosial sebagai katalisator ekonomi, menjaga kesimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. (Humas Unimed/eo)