Sabtu, 27 April 2024
Sekolah Menengah Pertama

Stop Bullying Menuju Muslim Sejati

Stop Bullying Menuju Muslim Sejati

Oleh : Abdul Halim *)

Era digital yang menyajikan kebebasan komunikasi memberikan peluang kepada manusia untuk mengungkapkan uneg-uneg dan kekesalan hatinya dengan makian dan kata-kata yang menyakitkan.

Sebelum hadirnya era digital, manusia tidak mudah menyampaikan kekesalannya. Seperti jika bertemu langsung, pasti ada perasaan sungkan ataupun was-was untuk melayangkan umpatan kepada orang yang dikesalinya. Tetapi saat era digital hadir, orang-orang lebih bebas merasa terlepas dari rasa sungkan dan takutnya. Bahkan terkadang tidak ada rasa hormat saat berkomunikasi via media sosial.

Guru saya pernah berkata menasehati santri-santrinya: “Hal yg perlu diamalkan oleh santri milenial adalah Akhlaq dalam bermedsos. Dan termasuk akhlaq dalam bermedsos adalah harus menganggap interaksi dalam medsos sama dengan interaksi berhadapan”. Hal ini tidak terlepas dari realita di lapangan, bahwa seorang santri yang notabenenya menomor-satukan akhlak seakan juga sudah lupa bahwa akhlak itu harus selalu dijaga. Baik di dunia nyata maupun dunia maya. Hal yang miris jika kita berinteraksi di medsos dengan guru, semisal, tapi tidak menggunakan tata-krama.

Tidak heran jika pada akhirnya muncul netizen (warga net) yang terkenal dengan komentarnya yang sangat pedas. Indonesia yang santun itu sudah tergeser dengan budaya nyinyir serta komentar pedas. Toh walaupun katanya netizen Indonesia (yang kita lihat sudah begitu sadis komentarnya) masih mending daripada netizen di negara-negara lainnya. Walaupun demikian kita harus mengupayakan kembalinya citra Indonesia yang begitu santun dan ramah bahkan dalam dunia maya sekalipun.

Bahasa kerennya, komentar pedas netizen tersebut adalah cyber bullying. Efek daripada terbiasa kebebasan berekspresi di dunia maya tidak jarang netizen yang mengekspresikan kebebasannya di dunia nyata. Bahkan siswa-siswa di sekolah pun banyak yang mengidapnya. Sehingga ditetapkanlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perundungan di Lingkungan Sekolah.

Dahulu kala Nabi kebanggaan kita, telah menasehati: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده. Artinya: “Orang islam sejati adalah orang yang sanggup menjamin keselamatan muslim lainnya daripada gangguan lisan dan tangannya”. Dalam artian, belum sempurna keislaman orang yang masih membuat orang terganggu dengan kata-kata dan perbuatannya.

Adapun ketikan atau tulisan bagaimana? Sebuah kata maupun tulisan sama saja, bahkan tulisan bisa lebih kejam dari sebuah kata. Tulisan lebih membekas dan akan selalu bisa terbaca selama belum menghapusnya.

Sebagian dari kita kadang ada yang memiliki prinsip “sikapku tergantung bagaimana sikap orang lain terhadapku”. Dalam hemat saya, ini adalah sebuah prinsip yang justru menjatuhkan diri sendiri dari maqam mulia. Kita yang awalnya adalah manusia yang diberi kebebasan ikhtiyar, malah menggantungkan sikap terhadap sikap orang lain mirip sebuah robot yang menggantungkan sikapnya pada tombol-tombol yang ditekan. Jika dia mengumpat saya maka saya pun akan mengumpatnya pula. Demikian kira-kira.

Ada kisah menarik yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada sahabatnya Abu Bakar dalam mengahadapi bullying. Suatu ketika ada seorang laki-laki mencela Abu Bakar, sedangkan Nabi saw duduk di samping beliau. Kejadian itu membuat Nabi saw. terheran-heran dan tersenyum. Kemudian ketika lelaki itu masih terus membullying, Abu Bakar ra. pun menanggapi sebagian perkataan (celaan) laki-laki tersebut. Hal itu membuat Nabi saw. marah dan meninggalkan Abu Bakar. Abu Bakar pun menyusul Nabi, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, orang itu mencelaku, engkau (hanya) duduk dan tersenyim. Ketika aku membantah sebagian perkataannya, engkau malah marah dan meninggalkanku.”

Rasulullah menjawab: “Saat kamu tidak membalas bullying dari lelaki itu, ada malaikat bersamamu yang akan membalaskannya untukmu. Dan ketika kamu mulai membantah sebagian celaannya, malah setan yang datang. Aku tidak mau duduk bersama setan.”

Penulis kira kisah tersebut sudah amat cukup untuk dijadikan sebagai teladan saat menghadapi bullying. Tidak perlu membalas. Bayangkan saja apa jadinya jika setiap orang yang dibully malah balas membully? Akan semakin carut marut dunia, karena tidak ada beda di antara keduanya. Sama-sama mengeluarkan umpatan dari mulutnya. Qiyas awlawinya: “Jika membalas makian saja tidak boleh apalagi memulainya”.

Adalah sesuatu yang sangat memalukan jika nantinya sikap seorang yang beragama islam tidak mencerminkan agamanya. Alih-alih berdakwah, malah menutup keindahan islam daripada perilakunya

*) Pembina Eskul Literasi MTs. Miftahul Ulum 1