Selasa, 14 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

MENYIRAM CUKA DI ATAS LUKA

MENYIRAM CUKA DI ATAS LUKA

(mengulek dan mencolek pengalaman Pak Asri dan rekan-rekannya)

Vinsensius Nurdin

Sman3borong.sch.id-Semua tentang kita. Kita yang terus mengukir kisah di atas batu karang kehidupan. Harapannya adalah ada orang yang menemukannya di suatu saat nanti dan dapat dijadikan salah satu pertimbangan di tengah kemelut yang ada. Apa saja yang kita lakukan saat ini dan sekarang ini dalam terjemahan paling sederhana adalah salah satu cara memertahankan hidup. Apapun itu dan dimanapun itu, semua hal dalam cara pandang paling awal dikaitkan dengan dan terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Segelintir saja orang yang memiliki peluang menerjemahkannya dengan hal yang berhubungan secara tidak terpisahkan dengan masalah eksistensi dan esensi manusia sebagai manusia. Bahasan yang terakhir ini kadangkala diabaikan oleh sebagaian besar insane rasional kerena terjaring dalam pola materialistic atau hedonistik. Ada sekian banyak keguncangan yang akhirnya ditimbulkan oleh tersumbatnya cara berpikir yang mengakibatkan saluran kepada tindakan nyata hanya mengandalkan situasi dan kondisi yang ada. Usaha untuk memerbaiki sumbatan dianggap sebagai pekerjaan sia-sia dan hanya membuang-buang waktu saja.

Menyiram cuka di atas luka adalah salah satu racikan konsep yang ingin menengahi suatu situasi tersumbatnya saluran rasional manusia dan hanya mengandalkan dan memuja SIKON sebagai pemicu terjadinya hal demikian. Ada banyak situasi dan kondisi kita yang dapat diringkaskan dalam sepatah kata saja atau bahkan hanya diracik dalam nada-nada puitis. Tentang hal inipun, pemikir besar masa lampau Francis Bacon pernah berujar  Poesis doctrinae tanquam somnium/ puisi adalah bagaikan sebuah mimpi mengenai ajaran filsafat/kebijaksanaan   Melalui beberapa ujaran dengan memerhatikan kaidah puisi, suatu situasi dan kondisi tertentu diterangkan sedemikian sehingga dapat membuka selubung yang terhalang karena dibajak oleh keegoisan kita. Pola-pola tradisional dengan mengedepankan paham dangkal semisal menerima saja apa yang terjadi tanpa kecukupan cara untuk keluar dari keterpurukan yang ada.

Menyiram cuka di atas luka adalah untaian kata-kata yang saya peroleh dari sahabat sekaligus rekan kerja saya di SMAN 3 BORONG Bapak Petrus Alexander Ese, S.Pd yang akrab disapa Pak Asri seorang guru kimia. Awal kisah terungkapnya ujaran  puitis ini ketika beliau dan beberapa rekannya mencoba mengadakan semacam diskursus dengan pemangku kepentingan politik di suatu daerah tertentu. Kata diskurus serasa bagi beberapa orang terlalu melebih-lebihkan dan bagi mereka kata yang cocok untuk menggambarkan situasi itu adalah demonstrasi. Kata ini banyak disalahpahami oleh beberapa orang dari kita dan seolah-olah bersinonim dengan kata pemberontakan. Kehati-hatian dalam caranya menempatkan kata demonstrasi untuk beberapa dari kita berakibat fatal kepada keengganan untuk berbicara dan bahkan ketakutan melakukan aksi demonstrasi. Dalam kaca mata konstitusi, kata demostrasi adalah salah satu saluran yang menjadi wadah aspirasi masyarakat akar rumput. Kegilaan penafsiran kata demonstrasi dipulangkan kepada beberapa kejadian yang menciderai nilai domstrasi itu sendiri sebagaimana pernah dialami anak-anak bangsa beberapa tahun lalu.

Kita kembali kepada ujaran Pak Asri tentang bagai cuka yang disiram di atas luka. Rangkaian puitis ini secara sederhana diterjemahkan dengan menambah tumpukan beban di atas beban. Sekelumit ceritera dari terciptanya ujaran ini adalah tatkala Pak Asri dan beberapa rekannya mengadakan tanya-jawab dengan pemangku kepentingan politik daerah berhubungan dengan tersendatnya hak yang mesti dimiliki para pengajar. Pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan demi terciptanya penerangan dalam persoalan yang dihadapi pada akhirnya dijawan dengan retorika menggelikan. Betapa tidak, jawaban yang diharapkan dapat memberi kepuasan kepada kemelut yang ada hanya mampu dialihkan dengan anjuran yang mematikan niat masyarakat akar rumput dalam menyalurkan aspirasinya. Ruang publik dalam politik demokrasi yang menjadikan demonstrasi sebagai salah satu wahana penyalur kepentingan akar rumpt teralihkan dan menjadi suram karena kelakuan pemangku kebijakan publik yang menganggap hal-hal yang sedemikian sebagai sekadar pembalut luka tanpa menyembuhkan. Coba kita bayangkan dan rasakan cuka yang disiram di atas luka dengan pengalihan isu pemangku kepentingan rakyat. Kami menuntut supaya hak kami diperoleh sebagaimana adanya. Kami sudah tidak makan dalam beberapa bulan ini. Kami minta hak kami dipenuhi. Rangkaian ujaran memelas ini disampaikan dalam diskusi yang dilakukan dengan pemangku kebijakan public sebagaimana diutarakan Pak Asri. Jawaban pemangku kepentingan kala itu sungguh tidak terduga. Kalau hak yang kamu wajib dapatkan saat ini tidak terpenuhi, silahkan mencari pekerjaan lain. Kalau hak yang kamu tuntut tidak dapat dipenuhi kami mempersilahkan anda semua untuk mencari pekerjaan lain. inilah jawaban pemangku kepentingan politik yang sunnguh menyiram cuka di atas luka.

Sepenggal kisah Pak Asri dan rekan-rekannya di waktu lampau mungkin pernah kita alami. Ada-ada saja keadaan tertentu yang menghantam niat baik kita dengan tanggapan yang tidak pada tempatnya. Pengalaman Pak Asri dan rekan-rekannya adalah pengalaman pahit yang mungkin masih tetap hidup dalam kebersamaan kita. Kita sebagai subjek yang mengalami kepahitan tertentu semakin diperhamba oleh beberapa bentuk tanggapan pihak lain yang dianggap berwenang mengatasi kemelut yang ada. Dalam nada penuh kedukaan dalam mendandani situasi semacam ini akan terdengar ucapan tanpa terdengar seperti kepada siapa lagi kami mengadu? Ke mana lagi kami mencari pertolongan? Adakah di luar sana yang bersedia memberi kami secercah harapan?

Menyiram cuka di atas luka adalah suatu bentuk peralihan kondisi riil kehidupan kepada kondisi lainnya yang sangat asing bagi kita. Fatamorgana padang gurun benar-benar menjadi bayangan yang sulit terjangkau. Inikah yang disebut suara dari kaum yang tidak bersuara/voice of the voiceless? Suara dari akum tak bersuara kerap menggema di negeri kita, tatkala berbagai hal yang berhubungan dengan kepentingan banyak orang dialihkan ke kemelut lainnya yang dengan sengaja tercipta demi efek senyap, diam, hilang dan terlupakan.

Propaganda kepentingan politik sangat berseberangan dengan kepentingan nyata masyarakat akar rumput ketika pengalaman Pak Asri dan rekan-rekannya dipetieskan. Pengalaman demi pengalaman akan diceriterakan kepada penghuni persada nusantara ini. Ada bayak lekukan terjal mematikan dan menghalagi tujuan perjalanan anak bangsa. Apa arti semua kemelut ini? Apa sajakah yang ada di belakang gesekan ini?

Beberapa waktu lalu saya sempat mendengar ucapan yang mengherankan dan luar biasa dari tokoh politik berkaliber dan sekaligus MENKO POLHUKAM MAHFUD MD dalam pernyataan: jika seandainya kita tidak melakukan korupsi, maka Negara kita akan sanggup memberi tunjangan dua puluh juta rupiah per orang di setiap bulannya. Coba kita bayangkan betapa bobroknya Negara ini disandera oleh kepentingan sectarian dalam pola laku korupsi. Betapa penyakit kronis korupsi telah membuat roda kepemerintahan demi kesejahteraan masyarakat terlalaikan. Bangkai korupsi dan korban baru masih kita jumpai dalam keseluruhan proses bernegara dan berbangsa di bawah sayap Garuda dengan slogan mulia NKRI. Mari bermenung dan nyatakan asamu demi pembangunan manusia yang manusiawi.