Rabu, 15 Mei 2024
Perguruan Tinggi

Pastikan Konsumen Terlindungi, Pemerintah Atur Izin dan Tata Kelola Fintech

Pastikan Konsumen Terlindungi, Pemerintah Atur Izin dan Tata Kelola Fintech
fintech
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ilya Avianti menjadi pembicara pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Ekosistem Fintech di Indonesia” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (2/10/2021).*

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Ilya Avianti, M.Si., AK, CPA, mengatakan, perlu ada pengaturan terhadap tata kelola fintech di Indonesia. Pengaturan ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen oleh regulator.

Fintech ini menyangkut transaksi keuangan dan pembayaran dengan proses yang relatif sederhana, mudah, dan tidak mensyaratkan apa-apa. Tetapi, regulator harus aware, konsumen harus dilindungi,” ungkap Prof. Ilya pada diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Ekosistem Fintech di Indonesia” yang digelar Dewan Profesor Unpad secara virtual, Sabtu (2/10/2021).

Kendati menjadi jenis transaksi keuangan yang mudah, fintech tidak bisa berjalan sendiri. Ada ekosistem yang mampu mendukung produk keuangan digital tersebut menjadi lebih aman dan mampu tumbuh.

Tidak hanya regulator, ekosistem fintech juga memerlukan peran akselerator, service provider, fasilitator konsultan, inkubator, capacity builder, dan infrastruktur teknologi yang memadai.

Selain itu, yang terpenting dalam ekosistem fintech adalah konsumen. Dalam hal ini, konsumen perlu mendapat perlindungan sekaligus edukasi dari penyedia layanan fintech.

Dari sisi regulator, lanjut Prof. Ilya, Fintech setidaknya diawasi oleh empat lembaga pemerintah, yaitu Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia untuk sektor sistem pembayaran, Kemenkominfo untuk sektor telekomunikasi, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Peran PPATK dibutuhkan untuk mencegah fintech mendukung aktivitas pencucian uang dan pendanaan terhadap terorisme. “Dengan adanya fintech yang apa-apanya mudah, banyak sekali aliran dana untuk pendanaan terorisme yang tidak bisa terdeteksi,” kata Prof. Ilya.

Lebih lanjut Prof. Ilya menjelaskan, izin usaha fintech harus mendapat “restu” dari OJK, Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk izin teknis dan operasional, serta izin usaha dari BI. Pengeluaran izin usaha dari BI harus berdasarkan standar operasional prosedur mengenai penyelenggaran teknologi finansial (tekfin) melalui Peraturan BI Nomor 19/12/PBI/2017.

Pada peraturan tersebut, BI melakukan regulatory sandbox, atau prosedur uji coba berupa pendampingan suatu usaha rintisan berbasis tekfin. Uji coba dilakukan sedemikian rupa sampai usaha tersebut dinyatakan aman sesuai peraturan.

“Uji coba dan pendampingan ini untuk memastikan bahwa produk, layanan, teknologi, dan modal bisnis telah memenuhi kriteria sehingga aman untuk masyarakat,” kata Prof. Ilya.

Guna mencegah maraknya penipuan dari layanan fintech, pemerintah sendiri telah membentuk Satgas Waspada Investasi sebagai tempat aduan untuk masyarakat.

“Mengapa kok sudah ada banyak aturan tetapi masih banyak penipuan? Kelihatannya sinkronisasi program sandbox dengan izin operasi dan teknis belum sempurna sehingga standar mengenai keamanan, layanan produk, hingga kecanggihan teknologi belum sama,” papar Prof. Ilya.*