Sabtu, 27 April 2024
Perguruan Tinggi

GLOBAL WARMING DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SAINS

GLOBAL WARMING DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SAINS

Global warming atau pemanasan global menjadi salah satu isu global paling hangat dalam beberapa dekade terakhir ini. Isu ini banyak dibincangkan di berbagai forum oleh banyak kalangan di dunia. Saat ini, global warming tak lagi sekedar isu semata, melainkan telah menjadi sebuah ancaman nyata yang mengkhawatirkan bagi penduduk bumi. Dampak global warming berupa climate change (perubahan iklim) menjadi ancaman bagi keberlangsungan kehidupan berbagai mahkluk di planet bumi ini. Malapetaka yang makin besar akan makin dirasakan, jika kita semua tidak punya kepedulian dan abai terhadap harmoni lingkungan dalam kehidupan ini. Pada tulisan ini, kita hendak mengetengahkan satu pemikiran bagaimana fenomena global warming itu dilihat dari perspektif filsafat sains dan peran apa yang dapat dilakoni secara aksiologis menurut pandangan filsafat sains tersebut.

Apa itu Global Warming?

Global warming adalah fenomena peningkatan suhu rata-rata di permukaan bumi. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini, suhu bumi meningkat agak cepat, dengan peningkatan rata-rata 0,6 – 0,9 derajat (Riphah, 2015), bumi terasa semakin panas.

Gbr. 1. Peningkatan suhu bumi
(Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/opini/)

Peningkatan suhu di permukaan bumi seiring dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfir dari kendaraan transportasi, industri dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gas karbondioksida dan beberapa gas lain mampu memerangkap panas yang dilepas ke atmosfir. Akibatnya, suhu di permukaan bumi menjadi naik. Itulah sebabnya dikenal dengan pemanasan global (global warming). Secara kuantitatif nilai perubahan temperatur rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa terhadap lingkungan. Perubahan suhu sedikit saja, dampaknya dirasakan luar biasa terhadap lingkungan.

Greenhouse Effects dan Global Warming

Pernahkah Anda mendengar istilah greenhouse effect atau efek rumah kaca? Greenhouse effect diyakini menjadi penyebab utama terjadinya global warming di permukaan bumi.

Lalu.., apa sesungguhnya “efek rumah kaca” itu?

Barangkali ada yang mengira bahwa efek rumah kaca adalah dampak dari bangunan-bangunan berdinding kaca yang banyak berdiri di berbagai tempat. Sebenarnya bukan itu, tak ada sangkut pautnya dengan bangunan kaca dimaksud. Istilah “rumah kaca” didasarkan pada sifat kaca yang mampu ditembus energi sinar atau cahaya, akan tetapi tidak dilewati energi panas. Di atmosfir bumi terdapat beberapa jenis gas di atmosfir bumi yang menyerupai sifat kaca, seperti CO2, N2O, CH4, SO2, senyawa freon dan lain-lain. Gas-gas tersebut membentuk semacam lapisan molekul-molekul gas yang mememrangkap energi panas di permukaan bumi. Oleh karena itu gas-gas tersebut dikenal dengan gas rumah kaca. Dalam kadar tertentu, eksistensi gas rumah kaca dan uap air di atmosfir sebenarnya sangat dibutuhkan untuk kehidupan. Tanpa gas rumah kaca, banyak makhluk tak mampu bertahan hidup bumi. Kanapa? Sebab suhu permukaan bumi sangat rendah mencapai – 18 oC. Bayangkan !

Gas CO2 sumber utamanya  transportasi, pembangkit listri tenaga batubara dan industri manufaktur dan aktivitas manusia. Sejak tahun 1970, emisi karbon global meningkat sekitar 90%, dengan kontribusi terbesar bahan bakar fosil and proses industri mencapai 78%. Gas metana (CH4) dilepaskan ke atmosfir dari sumber alami, seperti rawa (35-50%) dan aktivitas manusia (50-65%) antara lain industri gas bumi, tambang batubara, pengolahan air limbah dan peternakan. Meskipun volumenya jauh lebih kecil dibandingkan CO2, namun metana memiliki dampak sangat besar di atmosfir dengan daya rusak 25 kali dibandingkan  gas CO2. Menurut laporan EPA (2019), China adalah negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar yaitu 9,877 juta metrik ton per tahun, diikuti Amarika Serikat (4,745), India (2,310), Russia (1,640), dan Japan (1,056).

Gbr. 2. Greenhouse effect di permukaan bumi
(Sumber: https://www.artisenergy.com/sustainability/)

 

Dampak Global Warming

Global warming membawa pengaruh besar pada perubahan iklim (climate change) dan menjadi ancaman paling menakutkan abad ini. Betapa tidak, perubahan iklim merupakan ancaman tidak hanya bagi umat manusia tetapi bagi seluruh kehidupan di muka bumi. Keanekaragaman hayati terancam karena terjadinya perubahan siklus hidup dan perpindahan habitat. Akibatnya beberapa spesies tanaman dan hewan terancam punah. Global warming juga mempengaruhi sistem pertanian di berbagai wilayah. Dengan curah hujan yang cukup banyak dalam waktu yang panjang dan tak menentu menyebabkan waktu tanam menjadi terganggu. Akibatnya, terjadi gagal panen di mana-mana. Di samping itu, global warming menurut Balbus et al (2016) juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Dijelaskan bahwa cuaca ekstrim dan badai besar yang disebabkan perubahan iklim dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan prilaku nyamuk, kutu dan beberapa hewan membawa penyakit. Global warming menyebabkan salju dan gletser di kutub mencair. Implikasinya, permukaan air di permukaan bumi menjadi naik dan menyebabkan banjir di daerah-daerah pinngir laut.

Gbr. 3. Es di Antartika mulai mencair 6 kali lebih cepat
(Sumber: https://www.idntimes.com/science/discovery/)

 

Global Warming dari Perspektif Filsafat Sains

Dalam filsafat sains, semua yang ada di alam ini berada dalam keadaan harmoni (setimbang) sebagai konsep ontologis, etimologis dan aksiologis tentang hakekat hidup, eksistensi alam dan sinergisitas manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, perlu prinsip kehati-hatian disamping etika dan epistemologis dalam mengelola dan memanfaatkan alam ini. Menurut pandangan Deep Ecology (wunder, 1009) semua yang tersedia di alam ini tidak boleh dipandang sebagai fasilitas hidup manusia semata-mata, melainkan harus dilihat sebagai makhluk Tuhan yang setara, mereka berhak untuk dilindungi dan dijaga kelestariannya. Artinya dalam memanfaatkan alam, manusia tidak boleh berbuat sekehendaknya tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.

Nah, global warming yang menyebabkan climate change  di muka bumi adalah sebuah contoh nyata yang dihadapi akibat ketakhati-hatian manusia. Dari perspektif filsafat sains dan epistemologis global warming bersifat antropogenik, disebabkan tindakan manusia yang mengabaikan kesetimbangan dan nilai-nilai etika lingkungan. Jadi, meski ada kelompok yang skeptis, jika prinsip kehati-hatian diperhatikan maka berbagai kerusakan parah dan mengancam semua makhluk ini akan dapat dikurangi bahkan dicegah. Sebagian besar negara di bumi menyadari akan dampak besar perubahan iklim dan memasukkan prinsip-prinsip dalam materi debat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yang diadopsi pada KTT Rio tahun 1992. Prinsip-prinsip tersebut dipandang penting bahkan mengungguli filsafat sains dan etika, karena menyangkut sikap seseorang tentang tindakan apa yang harus diambil secara rasional, ilmiah dan bertanggung jawab dengan mempertimbangkan resiko terhadap kehidupan di muka bumi.

Jadi, setiap orang harus bertanggung jawab dalam menjaga dan melindungi bumi dari kerusakan akibat ulah tangan “jahil” manusia. Prinsip kehati-hatian  dalam dimensi futuristik-pragmatis bagi anak bangsa dalam menghadapi masa depan dengan memperhatikan kelangsungan sumber daya alam. Hal lain dari pandangan filsafat sains, sains dan teknologi yang merupakan alat penting untuk inovasi, harus bisa berperan dalam memberikan alternatif solusi untuk mememcahkan berbagai masalah global saat ini yang timbul di lingkungan sekitar.

Nofyta Arlianti, S.Pd., M.Pd. (Kandidat Doktor Program Studi S3 Pendidikan MIPA Pascasarjana Universitas Jambi) dan Prof. Dr.rer.nat. Rayandra Asyhar, M.Si. (Dosen Filsafat Sains Lanjut Program Studi S3 Pendidikan MIPA Pascasarjana Universitas Jambi)