Rabu, 15 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

Defisit Kesadaran Ekologis

Oleh : Joanes P.P.A. Calas, S.Pd,Gr.

Sman3borong.sch.id- Baru baru ini, kita disesaki oleh banyak pemberitaan media, baik lokal maupun nasional tentang polusi udara yang mengepung Jakarta.Tentu persoalan ini menimbulkan kecemasan masal untuk kita semua,selain akan adanya ancaman kesehatan, beberapa ancaman lainnya seperti aktivitas ekonomi yang terganggu turut menyumbang akibat persoalan tersebut.Namun, kita tidak ingin terjebak dalam kecemasan itu semakin lama, setidaknya kita bisa melahirkan pertanyaan pertanyaan reflektif yang bisa mengantarkan kita pada suatu pemurnian keadaan yang diharapkan.

Setidaknya ada beberapa penyebab udara di Jakarta sudah tidak ramah lagi dengan manusia,seperti asap kendaraan bermotor, aktivitas pabrik, pembakaran sampai di ruang terbuka dan debu debu jalanan.Ini menandai bahwa relasi alam dan manusia sudah tidak harmonis.Sementara kebijakan Work from Home (WFH) yang diturunkan oleh pemerintah setempat bukanlah satu satunya jawaban yang bisa mengatasi persoalan tersebut, mestinya perlu mengambil langkah preventif yang bisa menyentuh akar persoalannya.

Sebelum persoalan ini mencuat ke permukaan, jauh sebelum itu, kita mendapatkan informasi akan ancaman lainnya yang akan dihadapi Jakarta beberapa tahun kedepan. Mengenai potensi tenggelamnya Ibu kota,ekspansi air laut dan menyempitnya areal pemukiman di pesisir. kita sudah bisa membacanya dari hari ini,dan itu sangat mungkin jika minimnya kesadaran kolektif yang dibangun,serta aksi jangka panjang yang terus digemakan.

Jakarta adalah representasi dari “ibu kota kerusakan lingkungan”. Jelas,ini bisa dilihat dari menumpuknya problem kerusakan lingkungan di tempat itu. Mulai dari polusi udara, Krisis air bersih, minimnya ruang terbuka hijau,dan over populasi yang tidak diimbangi dengan kemampuan lingkungan untuk memproduksi energi, sehingga julukan itu pantas jatuh pada wilayah metropolitan itu.Pokoknya semua persoalan ekologis berkumpul di tempat itu.

Bukan tidak mungkin, persoalan ini tidak meluas ke daerah daerah lainnya di Indonesia. Di Manggarai Timur,walaupun masih dalam skala yang minim, bisa saja suatu saat akan seperti Jakarta nantinya. Sikap kita hanya berhenti pada kecemasan,belum ada dorongan lanjutan dari kecemasan itu, hal ini karena di depan mata manusia, simbol simbol kesejahteraan terus bergantung, sehingga sering kali menciptakan sikap kompetitif diantara kita yang sering kali menjadikan alam sebagai alatnya tanpa diikuti dengan aksi aksi ekologi.

Krisis lingkungan hidup tidak berhenti pada isu deforestasi, ataupun polusi. Ada banyak variabel yang perlu dilihat secara holistik. Di Borong, ibu kota kabupaten Manggarai Timur, krisis air bersih sudah semakin nyata. Hanya saja cara pandang kita melihat persoalan ini masih sangat sempit,lebih melihat krisi air bersih pada persoalan manajemen, sehingga faktor faktor lain yang lebih urgen seringkali luput dari perhatian.

Selain krisis air bersih, kelangkaan pangan juga menjadi satu ancaman yang serius.Bebeapa bulan belakang kita dicemaskan dengan harga beras yang melonjak naik.Lagi lagi banyak pihak yang mengklaim melambung harga beras di pasar karena lemahnya rantai distribusi.Persoalan lingkungan sebetulnya adalah personal yang kompleks,tidak bisa berhenti sampai di lemahnya rantai distribusi cara melihatnya,lebih dari itu, ada hal lain yang perlu dilihat kembali, tetap variabel ekologis menjadi acuan cara kita melihat persoalan ini.

Mengenai masalah pencemaran lingkungan,selama ini seringkali identik polusi udara. Sebetulnya,kalau dilihat lebih holistik ada banyak kasus pencemaran lingkungan. Lemahnya pengetahuan publik tentang hal tersebut, menjadi penghalang akan lahirnya langka langkah antisipatif untuk pengendalian pencemaran lingkungan lainnya.

Saat ini pencemaran linkungan terjadi pada tanah dan air. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali membuat biota air terancam eksistensinya dan butir butir humus tanah menjadi berkurang. Sehingga tidak heran kalau akhir akhir ini petani seringkali gagal panen.

Landasan Filosofis Ekosentris

Dulu, status moral tertinggi dari semua yang ada di alam semesta jatuh pada manusia. Bahkan,klaim manusia sebagai makhluk yang paling istimewa masih kencang sampai detik ini.Dalam waktu yang bersamaan sampai saat inipun, krisis lingkungan hidup semakin menjadi jadi.

Anggapan ini lebih awal mendominasi manusia,terutama para filsuf ahli ahli ekonomi Eropa yang memandang bawa alam semesta bisa dieksploitasi sebesar besarnya sepanjang itu memberikan manfaat bagi manusia,ini adalah cikal bakal lahirnya watak antroposentrisme yang sudah pasti membentuk manusia sebagai monster lingkungan.

Pandangan ekosntris melihat bahwa kedudukan manusia ,hewan, tumbuhan dan komponen abiotik lainnya berada dalam satu garis diferensial,tanpa harus mendominasi. Itu berarti, manusia sudah sepantasnya mengakui bahkan menghormati kebebasan komponen lainnya sebagai satu kesatuan yang harmonis.

Manusia dan alam sebetulnya adalah suatu komunitas moral yang saling melengkapi. Tuhan menciptakan segala isinya untuk saling berdampingan, mengasihi.Untuk itu,dalam konteks kekinian, sangatlah pantas diluar manusia (Hewan, tumbuhan dan komponen abiotik lainnya) wajib mendapatkan status moral yang utuh untuk saling menghargai.

Menghargai pohon untuk tetap tumbuh, itu sama halnya kita menghargai burung untuk tatap hinggap di pohon. Memberi hak sungai untuk tetap jernih, itu sama halnya kita menghargai hak biota air untuk tatap hidup,dan memberi hak pada udara untuk tetap bersih,sama halnya memberikan hak kita untuk tetap bernapas dengan udara yang bersih pula.

Sikap Kita Saat Ini

Problem percemaran lingkungan tidak akan bisa dikendalikan sepanjang manusia tidak bisa melepaskan diri dari antroposentrisme dan pergi ke ekosentisme. Antrposentrisme hanya bisa menciptakan manusia sebagai watak penakluk lingkungan, yang hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek, pragmatis dan mewariskan air mata untuk generasi yang akan datang.

Kita sebenarnya masih bertahan pada suatu masa kegelapan, belum bisa melepaskan candu antrposentrisme untuk lebih peka terhadap keberlanjutan lingkungan demi anak cucu kita. Dan saat ini, adalah saat dimana industrialisaai menjadi suatu gaya hidup baru, sehingga pemujaan terhadap kekayaan meterai menjadi tujuan akhir dari semua perjalanan usaha manusia saat ini.

Sebagai contoh, sistem pertanian kita saat ini yang punya ketergantungan pada pestisida,hanya berorientasi pada kepentingan pasar,bukan pada kepentingan jangka panjang.banyak serangga dan tumbuhan lainnya yang sebenarnya punya hak untuk hidup terpaksa harus dimatikan untuk kepentingan tanama hortikultura yang membawa keuntungan secara ekonomi.

Ini menjadi contoh bahwa moralitas manusia memiliki persyaratan estetika, tenaga pilih dalam mengambil sikap atas lingkungan.Sepanjang tanaman atau hewan tersebut membawa keuntungan secara ekonomi bagi manusia, sepanjang itu pula ada niat untuk dilestarikan keberadaannya, sebaliknya,jika tidak membawa keuntungan secara ekonomi, sudah pasti akan dimasukkan.

Sebetulnya, perjalanan peradaban manusia di muka bumi ini sudah melewati ambang batas kesabaran lingkungan hidup. Manusia tidak lagi melihat semua ciptaan Tuhan sebagai sesuatu yang harus dijaga. Sebab, semua yang ada di muka Bumi ini, semaunya dari Tuhan dan Dialah yang berhak untuk menentukan mati dan hidupnya suatu spesies,bukan pada manusia.

Sehingga tidak heran, ancaman pencemaran air, pencemaran tanah semakin meluas akibat ulahnya manusia yang tidak menghargai ciptaan Tuhan lainnya yang tidak masuk dalam daftar komiditas ekonomi manusia.Jika hal ini diberikan terus,maka ada satu kesimpulan kecil yang bisa dibangun, bahwa manusia era manusia sudah sedang berakhir di muka Bumi.

Bumi Kita Cuma Satu, Mari Bersatu Jaga Bumi.