Senin, 29 April 2024
Perguruan Tinggi

Implantasi Koklea Hadirkan Peluang Penderita Tulis Kongenital Menjadi Insan Unggul

Jakarta, 24 Februari 2024. Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D mengukuhkan Prof. Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.Oto.(K), MPH sebagai guru besar Bidang Ilmu Otologi, Fakultas Kedokteran (FK), UI pada Sabtu (24/2), di Aula IMERI FKUI. Pada pengukuhannya, Prof. Ratna menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Implantasi Koklea: Peluang Anak Tuli Kongenital menjadi Insan Indonesia yang Unggul”.

Ia mengulas permasalahan tuli kongenital pada anak dengan dampak terhadap kualitas hidupnya. Sebuah meta-analisis yang dilakukan berdasarkan asesmen Pediatric Quality of Life InventoryTM (PedsQL) menunjukkan bahwa anak dengan kondisi tuli memiliki angka kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan anak normal, terutama di bidang sosial dan prestasi sekolah. Hal ini karena mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses kesempatan yang biasanya diperoleh anak-anak tanpa masalah tuli kongenital.

Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang dialami seseorang sejak lahir. Gangguan ini terjadi sebelum bayi/anak belajar bicara. Kondisi tuli dapat disebabkan oleh faktor genetik (50%) maupun nongenetik dan lingkungan. Angka kejadian tuli sensorineural kongenital berkisar 0,5 sampai 4 per 1.000 kelahiran. Apabila tidak ditangani secara optimal pada fase golden period, tuli kongenital akan berdampak pada kemampuan anak dalam berkomunikasi, perkembangan sosial emosional dan kualitas hidupnya di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan tatalaksana yang tepat untuk menangani masalah ini.

Menurut Prof. Ratna, deteksi dini pada bayi baru lahir penting dilakukan mengingat tingginya angka tuli kongenital di Indonesia. Prosedur Early Hearing Detection and Intervention (EHDI) dilakukan untuk mendeteksi dan mengintervensi dini pada bayi usia 3–6 bulan yang memiliki risiko tinggi tuli kongenital. Apabila bayi memiliki satu faktor risiko, kemungkinan mengalami tuli menjadi 10,2 kali lebih besar, namun apabila memiliki tiga faktor risiko, kemungkinan tersebut meningkat hingga 63 kali lebih besar.

Sejak tahun 2002, program implantasi koklea mulai diterapkan di Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kesehatan telinga dan pendengaran masyarakat Indonesia. Program ini hadir sebagai solusi bagi anak tuli kongenital sensorineural yang tidak dapat ditangani dengan alat bantu dengar. Hingga saat ini, sebanyak 1.899 anak telah menerima manfaat implantasi koklea, 583 di antaranya berusia kurang dari 3 tahun, yang merupakan golden period dalam pemasangan implan koklea. Operasi ini dilakukan di 48 rumah sakit yang tersebar di penjuru Nusantara.

Dalam praktiknya, implantasi koklea merupakan prosedur memasukkan elektroda ke dalam koklea pasien. Terdapat tiga tahapan yang dilalui oleh kandidat implan koklea. Pertama, seleksi kandidat yang mencakup pemeriksaan telinga dan pendengaran, pemeriksaan radiologi, serta pertemuan dengan orang tua. Evaluasi menyeluruh dilakukan dengan prinsip patient-centered dan patient-safety. Kedua, tahap operasi, di mana anak menjalani pembiusan umum dan operasi pemasangan implan koklea pada satu/dua sisi telinga dan dilakukan pengecekan fungsi implan. Tahap terakhir, alat akan diaktivasi dan disetel melalui prosedur mapping pada 2–3 minggu pasca-operasi. Pasien menjalani terapi secara rutin agar dapat mendengar dan berkomunikasi dengan baik.

Prof. Ratna berharap “Indonesia Merdeka Mendengar” demi lahirnya insan unggul dapat terwujud. Ia mengatakan, “Perkembangan program implantasi koklea di Indonesia masih mengalami banyak kendala, terutama masalah biaya. Program skrining untuk deteksi dini anak tuli kongenital dan penanganan lebih baik dengan memanfaatkan kemajuan teknologi juga perlu ditingkatkan. Bagi para anak tuli kongenital, dengan menjalani implantasi koklea, diharapkan mereka mampu bersaing dan berkembang layaknya abak-anak yang tidak mengalami gangguan pendengaran,” ujarnya.

Penelitian Prof. Ratna terkait permasalahan tuli kongenital merupakan satu dari sekian banyak penelitian yang dilakukan sebelumnya. Beberapa di antaranya adalah Association Between Laryngopharyngeal Reflux and Obstructive Sleep Apnea in Adults (2022), Filtration Effectiveness on N95 Medical Mask Exposed to Repeated Ultraviolet Germicidal Irradiation Room (2022), dan Pharyngeal Transit Time in Different Consistency of Food Using Fiberoptic Evaluation of Swallowing (2022).

Sebelum dikukuhkan sebagai guru besar, Prof. Ratna menyelesaikan pendidikan Dokter Umum (1988), Program Dokter Spesialis THT (1998), dan Doktor pada Program Studi Ilmu Kedokteran (2006) di FKUI. Ia pernah mengikuti Fellow on Otology Programme, Sir Charles Gairdner Hospital, Western University Perth pada 2002; Dokter Spesialis THTBKL Konsultan tahun 2009; dan Master of Public Health di Universitas Gadjah Mada pada 2016. Saat ini, ia merupakan Dewan Penasehat Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia, serta Ketua Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI–RSCM.