Rabu, 08 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

EKSISTENSI KERIS DALAM TRADISI PANJENENGAN MASYARAKAT DUSUN BATU KANTAR KECAMATAN NARMADA

EKSISTENSI KERIS DALAM TRADISI PANJENENGAN MASYARAKAT DUSUN BATU KANTAR KECAMATAN NARMADA

Admin by Husnul Amrullah

Penanggungjawab ; Nursinah

Layout ; Hedi Hatadi

Editor ; Habiburrahman

Di era moderenisasi dan globalisasi ini keberadaan keris maupun pengrajin keris atau yang disebut dengan Empu sangatlah jarang ditemukan lagi di Indonesia. Sementara itu, keris sebagai warisan budaya tak benda merupakan warisan nenek moyang yang bernilai tinggi dan harus dilestarikan. Keris sebagai budaya dunia tak benda telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 25 November 2005, sebagaimana yang dikatakan Ahmad Fauzi bersama paguyuban pelestari keris dan tosan aji di Kabupaten Sumenep yang dilansir dalam laman litbang.kemendikbud.go.id dalam rangka menyambut baik rencana Pusat Penelitian Kebijakan dan Kebudayaan, Balitbang Kemendikbud yang melakukan kajian untuk pendukungan penyusunan naskah akademik pengajuan Hari Keris Nasional kepada Presiden RI.

Seperti yang diketahui keris telah mengalami kelangkaan terutama sang empu yang melakukan proses pembuatan keris. Akan tetapi, sebagai generasi muda setidaknya kita harus tahu apa itu keris, bagian-bagian keris, sejarah keris, fungsi keris, serta keberadaan dan peranan keris saat ini dalam kehidupan masyarakat di tengah-tengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan maju. Walaupun kita sebagai generasi muda belum mampu untuk membuat keris karena tidak sembarang orang bisa membuat keris yang dalam pembuatannya dilakukan dengan ritual dan doa-doa tertentu.

Keris adalah senjata tikam yang memiliki tiga bagian yaitu bilah (pisau), hulu (ganggang), dan warangka (sarung). Bentuk keris pada bilahnya ada yang lurus dan ada yang ber-luk (berkelok) dengan pamor atau motif yang beragam. Pamor ini pada umumnya bermotif ayat-ayat Al-Quran yang berfungsi sebagai doa untuk melindungi diri maupun doa yang menggambarkan harapan agar selamat dan meraih kemenangan ketika akan berperang di zaman dahulu. Motif itu dibuat sesuai dengan pesanan si pembeli juga sesuai dengan kegunaannya.

Sejarah keris itu sendiri dianggap kurang jelas oleh Danys Lombard, sejarawan besar dunia dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” (1996, jilid 2;194); ditulis bahwa pemakaian keris muncul sejak masa akhir Majapahit. Mengutip perkataan Tome Pires: “Setiap orang jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai”. Dipaparkan juga asal-muasal keris menurut mitos, dimana Sunan Giri yang keperegok oleh para kafir pada saat sedang menulis melemparkan kalamnya yang sedang dipakainya kepada mereka; “kalam itu berubah menjadi keris gaib yang menyerang dengan sengit orang-orang yang tak diinginkan itu sehingga dinamakan keris Kalam Munyeng.

Ketika zaman kerajaan Indonesia keris digunakan sebagai senjata. Akan tetapi, kegunaan keris telah mengalami perkembangan pada saat itu yaitu berfungsi sebagai sarana penunjang kegiatan budaya dan kemasyarakatan lainnya, seperti kelengkapan pakain adat, lambang status sosial, dan lambang kesempurnaan laki-laki yang dapat dilihat dalam kelengkapan pakaian adat Sasak, Bayan, dan Bali dimana keris terdapat pada punggung mempelai pria untuk menggambarkan status sosial serta kesempurnaan laki-laki terutama pada saat menikah.

Kegunaan keris sebagai penunjang kegiatan budaya masyarakat zaman dahulu berpengaruh sampai sekarang terhadap masyarakat moderen di beberapa tempat seperti di Dusun Batu Kantar Kecamatan Narmada yang masih menggunakan keris sebagai media tradisi yang dikenal dengan sebutan tradisi penjenengan. Hal tersebut menunjukkan bahwa eksistensi keris masih ada tetapi sudah jarang ditemukan sehingga tradisi penjenengan ini harus dilestarikan bersama.

Penjenengan adalah proses pemandian keris yang dipercayai oleh masyarakat Dusun Batu Kantar dapat meredam penyakit yang menimpa masyarakat desa tersebut. Penjenengan ini juga dianggap dapat menjauhkan hal-hal yang jahat (bahle) agar tidak menimpa masyarakat sekitar. Dalam menjauhkan hal-hal yang jahat (bahle) ini dikenal dengan sebutan bekerap oleh masyarakat. Bekerap dilakukan sore hari dengan kegiatan penyucian satu keris penjenengan dan satu keris pendamping. Kegiatan penjenengan tidak dilakukan secara teratur seperti upacara-upacara lainnya yang

memerlukan warige (penanggalan). Penjenengan dilakukan jika salah satu mangku didatangi mimpi. Dalam mimpi tersebut keris penjenengan meminta untuk dimandikan. Selain didatangi mimpi Inaq mangku mengatakan jika banyak masyarakat terkena penyakit terutama gatal-gatal dan banyak warga yang pingsan dengan tiba- tiba, maka upacara pemandian keris akan dilakukan.

Upacara penjenengan dilakukan dengan menyajikan jambeq yaitu sesajen berupa daun sirih, beras dan rokok dari kulit jagung kering yang diikat dengan benang berwarna putih, selawat, dan segumpal benang putih. Jambeq ini berisi lekok lekes berupa daun sirih yang digulung yang terdiri dari kapur dan gambir. Beras, rokok dari kulit jagung, daun sirih dan selawat (uang) diletakkan dalam sokan yang dibuat dari rotan. Jambeq itu sendiri bermakna sebagai pelengkap upacara.

Selain Jambeq yang berisi lekok lekes ada juga dulang yang merupakan sesajen yang digunakan sebagai persembahan untuk kedua keris tersebut. Dulang ini tidak diletakkan di piring atau mangkok tetapi diletakkan pada rondon. Rondon adalah tempat yang dibuat dari dedaunan. Biasanya rondon dibuat dari daun pisang, daun aren, dan daun nangka. Rondon diisi dengan makanan berupa isi dulang pada umumnya seperti nasi, daging, dan kacang-kacangan. Rondon ini dilengkapi dengan buah-buahan dan aneka jajanan tradisional. Dulang ini disediakan untuk kedua keris yang langsung diletakkan kedalam rumah tempat keris disimpan. Jadi, dulang ini nanti seakan-akan dimakan oleh keris penjenengan. Jika keris penjenengan tersebut tidak mau menerima sesajen atau dulang tersebut, maka setelah ditinggalkan beberapa saat sesajen tersebut akan berserakan. Hal itu menandakan bahwa ada yang kurang dalam sesajen yang dipersembahkan atau ada perlengkapan didalam dulang tersebut didapatkan dengan cara yang tidak baik seperti mencuri.

Kelengkapan upacara penjenengan yang lain berupa air rampe atau air bunga yang berfungsi sebagai tempat memandikan kedua keris yang dilakukan oleh amak mangku dan inaq mangku dengan membaca sebuah mantra. Keris kemudian digosok dengan jeruk nipis untuk membersihkan karat yang ada lalu dicuci dalam air rampe yang telah disiapkan. Setelah keris dimandikan, warga beramai-ramai mengambil air hasil

pemandian keris tersebut. Air hasil pemandian keris itu diyakini masyarakat mampu menghindarkan mereka dari musibah dan penyakit. Air hasil pemandian keris ini juga dibawa pulang kemudian dipercikkan keseluruh penjuru rumah mereka. Air itu juga dapat diminum dan digunakan untuk membasuh wajah .

Setelah itu masyarakat mengarak kedua keris mengelilingi kampung dengan membawa obor sebagai sumber cahaya. Inaq mangku mengambil posisi didepan keris yang digendong oleh amaq mangku dengan beralaskan bantal. Menurut mangku walaupun keris itu berukuran kecil tetapi terasa sangat berat dirasakan oleh yang menggendongnya dan yang menggendongnya merasakan adanya sesuatu yang menyedot tubuhnya. Pengarakan keris ini diiringi dengan kesenian desa tersebut seperti gendang beleq. Ketika keris diarak dilakukan kegiatan menabur beras kuning sebagai penuntun jalan keris penjenengan. Penaburan beras kuning dimulai dari tempat disimpannya keris. Selain sebagai penunjuk jalan penaburan beras kuning yang telah diwarnai kunyit ini juga sebagai pembagi rezeki pada hewan-hewan yang ada disekitar wilayah penjenengan.

Sesudah keris penjenengan dibawa berkeliling kampung, keris dibawa kembali dan mangku perempuan membaca mantra untuk membangunkan keris penjenengan yang berjumlah dua buah. Inaq mangku menuturkan bahwa ia bisa melihat kedua keris dengan sesosok manusia berpasangan yang diyakini wujud dari keris tersebut adalah suami istri. Inaq mangku hanya bisa membaca mantra ketika ia berhadapan dengan kedua keris tersebut tetapi setelah selesai iapun lupa dengan mantra maupun nama dari kedua keris tersebut.

Dalam tradisi penjenengan ini banyak sekali generasi muda yang sangat antusias mengikutinya. Salah satunya yaitu remaja perempuan bernama Natasya. Natasya remaja perempuan yang lahir pada tanggal 20 Juli 2006 ini merupakan penduduk asli desa Batu Kantar dan ia merupakan siswi SMAN 1 Narmada. Natasya belum lama ini telah berpartisipasi dalam pelaksanaan upacara penjenengan, ia mengatakan “Upacara penjenengan adalah upacara yang menyenangkan karena dapat melestarikan tradisi dan budaya Indonesia. Yang tak kalah serunya ketika saya berkeliling kampung

bersama masyarakat lainnya ditengah kondisi pandemi covid-19 ini tetapi masyarakat desa saya tetap menerapkan protokol kesehatan. Hal itu menjadi hal yang mengesankan karena kami dapat melakukan tradisi kami lagi di tengah pandemi covid. Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dalam tradisi ini yaitu nilai kebersamaan, gotong royong, kejujuran dan lain-lain. Selain itu hal yang membuat saya sangat antusias yaitu dengan digunakannya kesenian Gendang Beleq yang tidak hanya digunakan ketika adat nyongkolan ” Ungkap Natasya dengan senang dan bangga karena sebagai generasi muda ia mampu melestarikan salah satu budaya warisan tak benda yang telah diakui oleh UNESCO melalui tradisi desanya.

Beberapa masyarakat juga beranggapan bahwa tradisi penjenengan ini merupakan keterkaitan manusia dengan Tuhannya. Hal ini nampak dari proses berlangsungnya upacara, walaupun masyarakat percaya pada hal-hal ghaib. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan ada diantara masyarakat yang menyebut bahwa hal ini musyrik, tetapi kembali lagi pada keyakinan masyarakat yang meyakini yang memiliki penjenengan adalah yang Mahakuasa.

Jika kita merasa generasi muda yang hebat, maka kita perlu melestarikan tradisi penjenengan ini, terutama mengetahui sejarah keris sebagai media dalam tradisi ini apalagi keris telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Cara melestarikan hal tersebut kita dapat melakukannya dengan membaca buku, berkunjung ke museum untuk melihat berbagai macam koleksi keris atau melihat psoses pembuatan keris secara langsung yang semakin lama semakin langka dalam menemukan pembuat keris atau empu. Generasi muda Indonesia harus mempertahankan eksistensi keris yang bernilai tinggi ini sebagai budaya bangsa Indonesia.

Penulis : Yandika Yuda Bagas Alam (Siswa SMAN 1 Narmada)

Daftar Pustaka

Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Sudrajat, Unggul. 2018. “Rencana Penetapan Hari Keris Nasional Didukung Berbagai Pihak”, https://litbang.kemdikbud.go.id, diakses pada 9 Oktober 2021 pukul 10.45