Minggu, 19 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

Ancaman Homo Digitalis

Johanes P.P.A Calas, Guru Siosologi SMAN 3 Borong

Oleh : Johanes P.P.A Calas

Dulu sebelum manusia masuk pada zona determinasi ilmu pengetahuan dan teknologi, dinamika sosial bersifat sempit dan berbanding lurus dengan proses sosial, dalam artian segala proses sosial yang muncul ke permukaan masih bisa dikontrol, dan terukur. Ini sebetulnya membentuk homogenitas yang menjadi ciri kehidupan masa itu.

Kini,umat manusia masuk pada masa dimana positivisme menjadi kiblat kehidupan sosial. Homogenitas kini dilebur dalam banyak dimensi,sampai pada level konflikpun, semuanya muncul bukan saja melalui hasil interaksi face to face,tapi hasil reproduksi jari-jari manusia yang bersentuhan diatas layar ponsel.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini setidaknya sudah membuat kita umat manusia bernapas legah,melepas cengkraman keterbatasan unsur-unsur budaya lama yang dianggap tidak bisa beradaptasi dengan situasi saat ini. Manusia dipermudah segala aktivitasnya dengan budaya modern,sebagai satu satunya jalan keluar yang lebih efektif.

Globalisasi tidak saja hadir dengan wajah yang positif, sisi gelap globalisasi turut serta memberi dampak ruang sosial keseharian kita, mulai dari sekularisasi, konsumerisme,radikalisme, post truth dan sebagainya.

Tentunya sisi gelap ini mempunyai kekuatan seimbang untuk merayu manusia sebagai penikmat perubahan, tergantung sejauh mana kita mencermati dan memanfaatkannya semaksimal mungkin,sehingga tidak mendominasi.

Hampir separuh kehidupan masyarakat kita saat ini sudah bermigrasi ke sistem digitalisasi,selain untuk menjamin mutu kelangsungan hidup, tentunya diikuti oleh perubahan sikap dan mental yang dibentuk.

Mental instan, serta berbagai berita bohong turut mewarnai kehidupan sosial dunia maya, tentunya hal ini sangat disayangkan jika sering mengisi ruang sosial kita.

Tendensi tren masyarakat ke media sosial telah berkontribusi pada gencarnya Post Truth saat ini, tampak fenomena ini digunakan oleh orang orang pintar untuk memanipulasi fakta untuk mengejar kepentingan kepentingan tertentu.

Upaya pengaburan batas antara berbohong dengan pengungkapan kebenaran ini menjadi jeratan utama mereka untuk orang-orang kecil. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pengaruh munculnya internet dan platform media sosial yang beragam memilik potensi munculnya berita palsu yang intensif.

Percepatan arus distribusi informasi di Indonesia tampaknya benar terjadi. Gerakan informasi tidak dapat dibendung lagi, budaya masyarakat juga mulai bertransformasi secara cepat. Masyarakat banyak menemukan referensi informasi dari pelbagai media, khususnya media online.

Akumulasi pengetahuan dan informasi yang disimpan pada abad ke-19 telah menyebabkan ketidaktahuan yang sama besarnya. Ketika ada begitu banyak yang harus diketahui karena banyaknya bidang pengetahuan dan informasi.

Kata-kata yang sama digunakan dengan makna yang berbeda. Ketika seseorang mengetahui sedikit tentang pengetahuan maka akan menyulitkannya untuk beradaptasi dengan ledakan informasi. Ketidaktahuan atas kebaharuan informasi yang berkembang, akhirnya menstimulasi individu untuk mengganti pikiran dengan emosi.

Munculnya konflik horizontal dimasyarakat merupakan prodak dari informasi bohong yang berhasil digiring,ini tidak lebih dari kepentingan tertentu, masyarakat kelas bawah menjdi sasaran utama penggiringan opini sesat,hampir-hampir sulit untuk membedakan mana fakta dan mana opini. Harapannya dengan hadirnya media sosial, menjadi sumber informasi informasi inspiratif,serta banyak memberikan nilai tambah untuk kita semua.

Kita seakan masuk dunia Maya ini tanpa melewati masa transisi,loncatan teknologi yang begitu cepat seakan memaksa kita segera beradaptasi.Kita masuk dalam suatu jaringan market global yang suda didesain untuk menjadi konsumen dengan risiko ketergantungan tinggi. Bayangkan saja,sehari tanpa menggunakan ponsel, hampir sebagian besar kehidupan kita serasa banyak yang tertinggal.

Masa ini benar benar bentuk penjajahan baru, jika sebelumnya orang sering berkata “mulutmu adalah harimaumu,kini sudah tidak relevan lagi dengan konteks era 4.0. mungkin yang lebih relevan saat ini adalah “jarimu adalah harimaumu ” sekali klik,dalam hitungan detik kita sudah memproduksi sebuah risiko.

Ini yang perlu diwaspadai. Peran vital pendidikan tidak lagi bisa dilihat secara sempit, namun sebisa mungkin membentuk suatu jaringan belajar yang lebih luas, dalam hal ini keluarga, sekolah dan masyarakat harus memiliki frekuensi yang sama sebagai agen sosialisasi pembetuk kepribadian.

Teknologi hadir dengan efektivitasnya dalam meringankan beban kerja manusia, namun dia tidak bisa memproduksi karakter sebagai ujung tombak peradaban yang baik.