Minggu, 19 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

RABU ABU-ULASAN SEDERHANA

VINSENSIUS NURDIN

Dalam lingkaran kehidupan menggereja, berbagai hal dilakukan sebagai suatu perayaan kebersamaan dalam upacara liturgi. Dalam berbagai perayaan itu, kita manusia dihantar kepada paham yang mendalam akan hakekatnya sebagai manusia ciptaan Allah yang mulia sekaligus keberadaannya sebagai makhluk yang selalu berbuat dosa dan salah. Salah satu perayaan hikmat yang dipraktekkan Gereja Katolik hingga hari ini adalah perayaan dan penggunaan abu yang lazim disebut hari Rabu Abu. Semua umat katolik menerima abu dari petugas gereja sebagai sebuah tanda yang menghantar orang kepada paham yang mendalam akan keberadaaannya sebagai manusia. Untuk sampai kepada perbincangan teologis dan biblis, akan sangat biasa ketika sederhana dirumuskan pertanyaan untuk memantik rasa ingin tahu kita tentang perayaan ini. Bagaimana asal mula perayaan dan penggunaan abu?

Dalam lingkaran liturgy Gereja, Rabu Abu adalah permulaan masa pra-paskah. Masa pra-paskah sendiri adalah saat refleksi/pemeriksaan batin dan berpantang sebelum memasuki masa paskah. Dalam tradisi gereja hingga hari ini, pada hari Rabu Abu seperti hari ini, orang Katolik akan membubuhi dahinya dengan tanda salib. Tanda dengan abu ini secara sederhana menunjuk bahwa orang tersebut adalah milik Kristus yang wafat di kayu salib. Kesamaan tanda ini juga meningatkan kita akan tanda rohani atau meterai yang dimeteraikan dalam baptisan Kristiani sehingga sesorang dibebaskan dari perbudakan dosa dan menghambakan diri pada kebenaran(Bdk.Rom 6:3-18). Tanda yang sama juga menjadi gambaran pemeteraian dalam kitab Wahyu 7:3.

Penggunaan Abu dalam liturgi bermuasal pada praktek umat Perjanjian lama sebagai lambang perkabungan, kehidupan yang sementara, dan juga menunjuk kepada sikap sesal dan tobat. Kita mengambil beberapa gambaran Perjanjian lama yang menunjuk secara langsung kepada pernyataan ini. Dalam kitab Ester, kita mebaca kisah tentang sosok Mordekhai yang mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah raja Ahasyweros(485-464SM) dari Persia untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia(Est. 4:1). Tokoh lainnya lagi ada Ayub yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM. Dalam kisah Ayub tampak jelas bagi kita pernyataan sesal dan tobatnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb.42:6). Tokoh berikutnya adalah Daniel. Dalam nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, ia berujar: Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu(Dan 9:3).

Pada abad V SM, sesudah  nabi Yunus menyerukan pertobatan kepada orang-orang Niniwe, serentak seluruh penghuni kota memaklumatkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja kota itu meyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (bdk. Kisah ini dalam kitab Yunus 3:5-6)

Dari beberapa praktek keagamaan perjanjian lama seperti di atas, tampaklah bagi kita kelaziman penggunaan abu pada zaman itu serta pernyataan yang mau diungkapkan dari praktek ini.

Dalam masa perjanjian baru dengan focus kepada pengajaran Yesus, kita menemukan satu pernyataan tegas Yesus tentang praktek pernyataan sesal dan tobat dengan abu sebagai sarananya. Penginjil Mateus mengutip pernyataan Yesus  seandainya mukzizat-mukzizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang disitu bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu (Mat.11:21).

Setelah masa kehidupan dan kenaikan Yesus ke Surga mulailah masa para rasul dan diperkuat oleh terekamnya tradisi penerimaan abu ini dalam kalangan gereja perdana. Salah seorang pengajar Gereja tersohor yakni Tertulianus dalam bukunya de poenitentia  menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu. Pengajar lainnya Eusebius seorang sejarahwan gereja perdana menceriterakan dalam bukunya sejarah gereja bagaimana seorang murtad yang bernama Natalis datang kepada Paus Zephrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Rekaman jejak dari periode yang sama juga tampak dalam praktek kehidupan pertobatan dihadapan seorang iman dengan mengenakan kepada mereka abu di kepala setelah sakramen pengakuan. Pada zaman kitab suci, kebiasaan umat Allah yang diteruskan secara turun temurun dengan rujukan perjanjian lama mempraktekkan kebiasaan sesal dan tobat dengan mengenakan kain kabung, duduk di atas  abu, serta menaburi kepala mereka dengan abu.

Tanda perkabungan pada zaman gereja hingga saat ini menyisahkan praktek pengenaan abu di kening sebagai tanda sesal dan tobat.

Abu adalah lambang yang meningatkan kita akan kefanaan hidup kita. Akan ketidakabadian hidup kita. Symbol ini menghantar kita untuk merenungkan misteri kematian manusia sebagai saat kembali kepada asalnya. Hal ini nampak jelas dalam ucapan seorang imam ketika membubuhkan abu di kening: ingatlah, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ucapan imam ini meningatkan kita akan firman Allah kepada Adam (kej.3:19, Ayb.34:15;Mzm 90:3, Mzm 104:29;Pengkotbah 3:2. Ucapan yang sama akan terdengar pada upacara pemakaman abu menjadi abu, debu menjadi debu .

Abu dipergunakan untuk menandai permulaan masa prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu)menyambut paskah. Ritual perayaan rabu abu ditemukan dalam edisi awal Gregorian sacramentary  yang diterbitkan sekitar abad kedelapan.

Apakah abu yang kita gunakan berasal dari abu di dapur?

Praktek liturgi zaman kita menggunakan abu yang berasal dari pembakaran daun palma yang telah diberkati pada perayaan daun palma tahun sebelumnya.