Jumat, 03 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

Tampang Milenial, Kelakuan Kolonial

Tampang Milenial, Kelakuan Kolonial

Vinsensius Nurdin

sman3borong.sch.id-Salam para sahabat. Salam literasi. Pada kesempatan ini saya hendak membagikan serangkaian gugatan reflektif yang terus bergema dalam sanubari saya tatkala mengalami perbenturan dengan beberapa fakta kehidupan. Ada begitu banyak hamparan fakta yang terpampang laksana sabana yang siap dijejaki manusia di atas planet ini. Kepelbagaian  cara dengan fakta yang ada dalam keanekaragaman telah menunjukan betapa segala yang ada hingga saat ini tidak pernah berhenti didekati atapun tidak pernah lelah mendekati sasarannnya tergantung pada celah mana ingin dia bidik.

Goresan yang memberi tanda akan keberadaan dan kelanggengan berpikir manusia terus menerus mencari formulasi yang pas sasar atau terus beridentifikasi dalam proses yang terus berjalan, karena yang ada menurut anggapan adalah tidak ada identitas final tetapi proses identifikasi yang terus berlangsung tanpa henti. Memahami sesuatu sebagai proses berarti mengafirmasi keberadaan per detik ini sebagai keberlangsungan yang terus berjalan dalam kurun waktu yang tanpa akhir. Pendekatan seperti ini memberi keseimbangan dalam cara menapaki jejak kehidupan yang mau tidak mau, suka atau tidak ,berada dalam tegangan antara meminjam filosofi China Yang dan Ying (Bdk. Leman:THE BEST OF CHINESE LIFE PHILOSOPHIES,Hal.1-26). Ying dan Yang dalam filsafat China terus saja memesona dunia dan rasionalitas Barat. Dalam kesadaran akan hal ini, telah ditemukan penggembaraan akal budi manusia Barat dalam menelisik makna terdalam kebijaksanaan hidup dalam pola filsafat Yang dan Ying. Kita sebut saja para akademisi Barat seperti psikolog Carl Jung dan ilmuwan Niels Bohr yang memberi anggukan rasional akan temuan yang memperlihatkan keanggunan fakta alam semesta dalam drama timbal balik yang tidak akan dapat dihindari seperti asas bayangan dan cahaya, bumi dan langit, pasif dan aktif, perut dan kepala, kewanitaan dan kepriaan. Saya teringat patah kata kebijaksanaan dalam sastra bahasa Latin melalui ujaran Contraria Sunt Complementa/Yang bertentangan itu adalah saling melengkapi. Sesuatu yang tampaknya bersebrangan akan menyatu dalam aspek keharusan tertentu. Contoh sederhana adalah pria yang jenisnya bertentangan dengan wanita tetapi saling melengkapi dalam keharusan nyata kehidupan. Kenyataan dalam keharusan kehidupan yang tidak dapat dihindari ini menghubungkan cara kita berpikir tentang penataan kehidupan yang sesungguhnya.

Saya sungguh mendapat tantangan langsung dan nyata ketika saya mencoba dalam beberapa kesempatan membagi refleksi dalam bentuk narasi literasi ayo membaca dan menulis. Dengan lugas dan tanpa beban bahkan orang mengatakan kepada saya bahwa tulisan yang saya tulis tidak akan ada yang membacanya, karena orientasi zaman ini sudah berubah. Pertanyaannya adalah apakah saya merasa jera atau terjerat dalam tanggapan negatif seperti ini? Ataukah saya merasa tidak dihargai dalam kasus ketidakpedulian seperti ini? Saya pernah menjawab tanggapan negatif seperti ini dengan mengatakan bahwa tugas dan passion saya adalah menulis dan tidak memiliki hak untuk memaksakan kehendak orang lain untuk membacanya atau mengacuhkannya. Karena pertentangan situasi dan kondisi seperti ini bagi saya adalah sebuah pertentangan yang pada akhirnya akan melengkapi kerinduan manusia yang dahaga akan salah satu celah dalam kehidupan. Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan. Dalam hubungan dengan ini terutama berpautan pada filsafat China YIN dan YANG, kita menemukan perbendaharaan makna pemahaman sebagaimana yang ditemukan dalam ulasan filsuf modern, sala satu filsuf penggugat idealism  Jerman, Arthur Schopenhauer. Dalam pesimisme metafisisnya, Artur Schopenhauer sebagaimana dirincikan oleh F. Budi Hardiman memperkuat kenyataan ganda kehidupan manusia. Hidup manusia adalah tragedy dan komedi dalam satu kesatuan, satu lembah penuh keluhan yang tidak bernilai (F. Budi Hardiman,FILSAFAT MODERN,hal.222)

Peredaran waktu dalam putaran arus massal manusia telah mengorbit beberapa pahatan hidup yang pantas untuk diperbincangkan. Beberapa lekukan dari pahatan itu telah membentuk formasi berpikir manusia dalam memberi penilaian akan sesuatu. Gairah akademik mencuat ke permukaan dan menumbuhkan mekar baru dalam budaya zaman. Dalam pergulatan budaya zaman inilah kita pada akhirnya memberi nama semisal zaman ini sebagai zaman milenial. Nomen Clatur dari sesuatu, apapun itu, menunjuk kepada ciri khas yang adalah keunikan sekaligus yang dimiliki. Penamaan akan sesuatu adalah iktiar individu dalam pengakuan massa yang memberi afirmasi akan hal itu sebagai benar karena dialami dan dirasakan secara bersama dalam ruang yang tidak terbatas. Nomen Clatur kata milenial meminta penjelasan yang semakin mungkin diserahkan kepada anak zaman ini yang menghidupinya. Gelar kehormatan kaum milenial mengacu kepada pemberdayaan zaman ini yang keberlakuannya dicirikan dengan penguasaan teknologi yang semakin seragam di setiap tempat. Keterjangkauan informasi menjadi salah satu ciri yang memberi gelar kepada budaya milenialis. Menghabiskan waktu dengan memberdayakan sumber daya menusia melalui pemutakhiran informasi kekiniaan dengan alat teknilogi adalah anak kandung dari keluarga kaum milenial.

Kaum milenial yang disampul zaman ini berisi kenyataan anak manusia zaman yang dalam artian tertentu diperhalus dan dalam artian yang lebih kasar digadangi dengan tautan hamba zaman. Pertautan seperti ini medongkrak beban zaman dengan berangkas anak manusia kekinian. Kaum milenial mengindikasikan gejolak zaman ini dengan berbagai tuntutan terstruktur, sistematis dan massif. Saya dan anda sebagai anak zaman ini merasakan benar gejolak dan geliat kekinian dalam berbagai bentuk perubahan di setiap lini kehidupan. Libasan dan gilasan zaman bahkan telah menghantam beberapa bentuk kemapanann tradisi budaya masyarakat. Ketabuan hampir-hampir tidak dapat lagi memiliki sejengkal tanah dalam peradaban milenial ini. Hal-hal yang dianggap tabu sudah layak diperbincangkan dan dicari kebenarannya melalui beberap[a metode pembuktian ilmiah dalam lingkaran peradaban milenial.

Setiap orang di zaman ini sebagian besar  akan dengan sendirinya memahami apa makna di balik label diri kaum milenial. Kesadaran diri sebagai kaum milenial serta merta mebumitanahkan peradaban zaman dengan berbagai konsekuensinya. Yel-yel kaum milenial terdengar menggema dalam bentangan peradaban hari ini. Gema dan gaung dalam balutan peredaran massa zaman ini memiliki beberapa tuntutan yang mesti diikuti. Ada panggilan maut pada mana semua anak milenial tidak mempunyai pilihan selain harus menyahut dan menunjukan dirinya. Berpura-pura tidak mendengar atau berusaha berpetak umpet demi kesan tertentu akan meninggalkan jejak tersendiri dalam peraduan waktu.

Kaum milenial dengan berbagai geliatnya di zaman ini menunjukkan berbagai hal yang kadang-kadang membumikan bom waktu dan ledakan dahsyat hanya menunggu gilirannya saja. Tampang milenial yang ditunjukan anak zaman ini dalam sisi tertentu telah berhasil menguburkan kemapanan tertentu dan bahkan penilaian moral dan atau etika tergantung pada situasi individu yang mengalami. Hedonisme sebagai salah satu mata air pada mana semua anak melinial melepaskan dahaganya telah membuat beberapa bentuk kemapanan sosail porak poranda.

Ketakutan dan kekuatiran besar kita di zaman milenial ini terutama salah satunya ada pada cara kita memperlakukan gejolak manusia yang hampir pasti sukar ditakar dalam ukuran tertentu. Keasyikan melayani panggilan milenial pada akhirnya menciptakan kealpaan yang hampir massal kepada penghargaan terhadap pribadi mansuia. Harkat dan martabat manusia dengan mudah sekali dibarter dengan kepentingan pragmatis semata. Tampang milenial tetapi berkelakuan colonial hampir pasti pernah dialami tatkala menghadapi peri laku hidup anak-anak per hari ini. Tampang milenial dengan kelakuan colonial terbentuk karena perhatian kepada individualism lebih besar dari pada nilai sosialitas, nilai komunitas, nilai kebersamaan sebagai keharusan dari adanya manusia.

Tampang milenial dengan kelakuan kolonial berbanding lurus dengan ditemukannya berbagai ketimpangan sosial yang bermatra perendahan martabat dan harkat manusia. Ketidakpedulian terhadap orang lain dianggap sebagai kunci demi tetap bertahan dalam gejolak zaman. Tampang milenial dengan kelakuan kolonial menjadi atensi kita bersama sehingga sukma zaman jangan sampai mengkhianati aktor utamanya yakni manusia.

Saya dan anda mungkin secara sengaja atupun hanya reflek, pernah berada pada situasi pada mana kita direndahkan dan dikhianati. Tampang milenial ini secara terus menerus merasa bangga dengan kepongahannya sendiri dan merasa cukup diri dengan keadaan. Kepentingan pragmatis dan hedonistis berurat akar dalam cara-cara yang kurang elegan dalam menyusuri kemanusiaan pada umumnya. Kaum kolonial yang dikenal dalam berbagai kesempatan pengetahuan adalah orang luar yang datang untuk menjajah. Para penjajah inilah yang disebut colonial dengan berbagai bentuk tidakan yang membuat para jajahannya tunduk dan patuh pada perintahnya. Kekerasan dan tipu daya adalah salah satu dari sekian cara yang kaum kolonial lakukan demi mendapat simpati orang-orang yang dijajah. Ketertundukan total dengan perilaku yang menyayat nilai kemanusiaan adalah hal biasa sebagai perlakuan normal kaun kolonial. Kalau kita mengalami situasi milenial saat ini, kita hampir pasti dapat mengelompokkan beberapa gejala itu sebagai tindakan kaum kolonial yang tidak paham terhadap peradaban zaman. Pertimbangan akan apa yang saya punyai dengan apa yang engkau punyai adalah salah satu cikal bakal atau biang keladi suburnya tindakan kolonial di zaman milenial. Mari berefleksi. Mari berbenah.