Selasa, 02 Juli 2024
Perguruan Tinggi

Resital GItar Klasik di Perpustakaan Untirta Seperti Ensiklopedi yang Terbuka

Serang, (29/6) Ada yang berbeda pada siang yang gerimis di Perpustakaan Untirta, yaitu resital gitar klasik. Tidak semua memahami bahkan mungkin menikmati gitar klasik dengan pelbagai karyanya. Selama ini telinga kita sudah terbiasa menikmati karya-karya populer. Bahkan nyaris agak aneh ketika menonton sebuah pementasan tanpa diiringi vokalis. Gaya instrumental memang masih asing di telinga apresiator di Banten.

Kendati demikian, dengan konsep yang lebih literat, Komunitas Isola Guitar berusaha untuk mengenalkan karya-karya adiluhung eropa yang kadang dipadankan juga dengan karya-karya Indonesia.

Resital ini adalah kegiatan yang ke-2 setelah di tahun sebelumnya mereka menyelenggarakan hal yang serupa yang juga dilaksanakan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Resital ini seperti membaca ensiklopedia permusikan di dunia, membuka kembali lembaran-lembaran karya klasik hingga modern mulai dari J.S Bach (1685), F. Schubert (1825), F. Tarrega (1852), Zequinha de Abreu (1880), dan A. Barrios Mangore (1885). Banyak pula di antara para gitaris yang memainkan karya Indonesia seperti Ismail Marzuki, Jubing Kristianto, Dewa Bujana dan Tohpati. Bahkan ada juga yang memainkan lagu sunda seperti Peuyeum Bandung karya Nining Meida, Bubuy Bulan karya Benny Corda atau Panon Hideung karya Florian Hermann.

Restital dimulai dengan permainan kuartet pendiri Komunitas Isola Guitar yaitu Lutfi Suwandi, Teguh Wikarsa, Yogi dan Derry yang menyajikan Love Theme from The Godfather karya Nino Rota (1972). Sebagai pembuka, penonton diajak berimajinasi pada ruang-ruang yang tenang dan penuh kedamaian. Selanjutnya pada pementasan kedua, Aynan Furqon memainkan Tic-tico No Fuba karya Zequinha de Abreu (1880) yang dilanjutkan dengan karya Nining Meida berjudul Peuyeum Bandung. Dari suasana asing kemudian dibawa pada suasana lokalitas. Karya ini dikenal pada tahun 90-an terutama lagu-lagu Sunda popular.

Selanjutnya pada pementasan ketiga, Daniel Robinsar Panjaitan yang mencoba untuk menampilkan karya Batch dan lagi-lagi suasana diajak pada ornamen yang adiluhung namun bisa mengajak penonton menikmati sajiannya.

Begitupun ketika gitaris solo selanjutnya, Ferdi Eko Satrio dengan permainan yang lebih sulit dan mencoba untuk menghayati setiap karya tersebut. Verde Alma karya Maximo Diego Pujol (1957) dan
Hymne A L’amour karya Edith Piaf/ Roland Dyens (1950). Penonton betul-betul terdiam. Hampir semua menahan napas dan terlempar pada ruang imajinasinya masing-masing. Ferdi kadang bermain tegas lalu masuk lagi pada suasana kelembutan. Apa lagi pada karya kedua yang sempat dipopulerkan oleh Josh Groban. Setiap nada yang dipetik begitu menyentuh.

Ada juga pemain gitar duet perempuan Aida Caren Mulya dan Lestari Kezia Camilla yang mempersembahkan karya F. Tarrega (1852) dengan birama yang lebih menyenangkan dan bersemangat kendati hanya berdurasi tidak lebih dari tiga menit.

Ludovicus Kurniawanto dan Dandi Adhi S mencoba untuk memainkan Ave Maria karya F. Schubert (1825) Mereka berkongsi antara petikan gitar dan gesekan cello. Dengan nuansa yang berbeda dari pemain sebelumnya, munculnya cello tentu memanjakan telinga penonton. Sayangnya ketika berusaha untuk memainkan Creep karya Radiohead (1985), nampaknya perlu adaptasi dari pemain cello untuk mempresentasikannya dengan baik. Sementara itu, duet gitaris Teguh Wikarsa dan Ambar Surya Abdillah memainan flute dengan cukup indah Tale as Old as Time karya Alan Menken (1991) dan Bubuy Bulan karya Benny Corda dan cukup berhasil di dalam penyajiannya.

Selain mereka masih banyak penampil lain yang sangat piawai memainkan gitar klasik ini seperti Febrian Abimanyu Wiijanarko, Syamsul Rizal, Albin Satya Ramadhan, Andreas Hasiholan, Lutfi Suwandi dan Dadang Dwi Septiyan, Wisnu Sumarwanto, Panja Raharja, M. Rizky Mauludi dan Iman Setiaji, Solihuddin Ayyubi, Nabil Abdilah Suwarno, Johan Yudha Brata Sahertian dan Ari Gunadi.

Setelah permainan solo, duet bahkan quartet, resital ini diakhiri dengan kolaborasi 24 gitaris dari SMAN 1 Kota Serang, SMA BPK Penabur, SMAN 2 Kota Serang, SMAN 3 Kota Serang, SMAN 6 Kota Serang, SMAN 1 Pandeglang, MAN 2 Kota Serang, SMKN 1 Kota Cilegon dan Untirta. Mereka dengan apik memainkan Rommance de Amour karya Isaias Savio (1900), Moliendo Café karya Jose Manzo Perroni (1961) dan Hujan Fantasy karya Ibu Soed/ Jubing Kristianto (2008). Kendati 24 gitaris ini berlatih hanya satu bulan dalam resital ini, tetapi sangat memukau dan cukup rapi di dalam penyajiannya.

Tak terasa 2,5 jam resital tersebut dimainkan dan berhasil menghipnotis sekitar seratusan penonton yang sengaja dibuat intimate dan terbatas itu. Penonton seperti diajak untuk membaca ensiklopedi musik yang terbuka. (FV)