Minggu, 19 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

ATA BORA MATA KIN, ATA LENGGE MATA KIN

Vinsensius Nurdin

Pada suatu kesempatan saya menlantunkan penggalan lagu di atas dan saya tersadar hingga menghentikan syairnya tatkala mendiang ayah saya tercinta membentak dan meningatkan saya bahwa lagu itu tidak bagus dan hanya dilantunkan oleh orang-orang yang tidak punya kehidupan dalam dirinya. Itu adalah lagu yang pasrah pada keadaan tanpa usaha. Itu adalah lagu para pemalas yang merasa iri melihat  keberhasilan orang lain. semenjak saat itu hingga kini tatkala saya mendengar syair lagu dengan penggalan ata bora mata kin, ata lengge mata kin, memori saya kembali mendengar nasehat almarhum ayah dan saat ini saya mencoba merefleksikannya dalam tataran -yang mudah-mudahan tidak karuan- lebih luas dan menyenggol berbagai bentuk kemapanan cara hidup. Karena hanya ikan mati yang hanyut terbawa arus. Berlandaskan paham ini saya berharap para penikmat literasi melalui ulasan sederhana ini terhentak dari lamunan panjang memikul bintang dengan tulisan ata bora mata kin, ata lengge mata kin. Akibat paling dekat dari sesuatu yang diucapkan atau didengar berulang-ulang adalah terekamnya hal tersebut kea lam bawah sadar dan memuncukan sikap apatis dan pesimis terhadap kehidupan yang mencul dalam keengganan berusaha memberdayakan diri. Karena semua sama saja.

Sekian lama dalam beberapa dekade pengagungan rasio manusia, pengkaplingan kemanusiaan sedemikian dilakukan sehingga kadar keterlibatan sesorang tergantung kepada seberapa besar ia memiliki deretan litani penghujatan terhadap segala sesuatu yang tidak masuk akal. Daftar beberapa pencapaian itu banyak tercecer dalam beberapa maklumat pengingkaran jati diri seseorang ketika mencoba mengais puing pengetahuannya dari apa yang dirasakan. Logika ketat akal budi telah menjadikan rumusan triadik dalam premis mayor, premis minor dan kesimpulan sebagai standar baku. Di atas geliat rasional ini, sebagian besar di antaranya melupakan standar alami kehidupan yang diringkas dalam beberapa baris kata saja. Katakan saja terangkum dalam beberapa pepetah kehidupan yang sekian lama telah mendulang beberapa ingatan manusia dan diyakini telah berpengaruh terhadap pola hidup manusia. Setiap generasi bangsa manusia ditemukan beberapa kebajikan dasar yang menjadi pedoman dalam kehidupan dan itu dirangkum salah satunya dalam beberapa larik kata seperi dalam bahasa Indonesia ada pribahasa, dalam bahasa Manggarai dikenal goet dan beberapa nama lainnya yang sesuai dengan tradisi bahasa setiap daerah/bangsa. Sepintas lalu kita akan menemukan hal yang sama dari pribahasa-pribahasa itu misalnya rangkaian fonem yang secara berurutan menghasilkan bentuk ujaran tertentu. Kadang dalam kedangkalan dan sepintas lalu kebanyakan orang merasa puas dengan apa yang tampak secara hurufiah dengan rangkaian fonetis itu, tetapi alpa menyelami makna dasariah yang tersirat di dalamnya. Para sesepuh manusia dari generasi ke generasi telah berusaha mengkristalkan situasi dan kondisi tertentu melalui ujaran yang dimaksud dengan tujuan untuk dijadikan pedoman arah dalam menelusuri belantara kehidupan. Dalam kesemuanya ini tetap saja ada yang menimpali bahwasannya di antara para sesepuh yang mengajarkan kebajikan hidup ada juga yang melakukan penyimpangan berat dalam peri hidup mereka. Mereka gagal total melakukan apa yang mereka ajarkan. Apa yang harus dipercayai dalam situasi kalap seperti ini? Sebagai orang beragama, saya dan anda pernah mendengar ucapan Yesus sang guru ilahi dalam menghadapi situasi karam ini. Dalam injil Mateus 23:3 secara tegas Yesus menandaskan: sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakukannya.

Awal mula kisah selalu dimulai di TKP. TKP di sini tidak menunjuk pada satu kasus tertentu, tetapi pada umumnya sebagai bias dari paham yang mau diketengahkan dalam uraian sederhana ini. Di tempat inilah akan diperlihatkan kepada kita berbagai warna kehidupan yang salah satunya disenandungkan dalam lirik lagu nostalgia DUNIA INI PANGGUNG SANDIWARA. Ada banyak peran yang dimainkan di atas panggung kehidupan ini dan setiap sisinya menunjukkan keunikannya. Ada banyak gesekan yang ditimbukan karena adanya perbenturan tetapi tidak sampai menghentikan nadi keseluruhan proses yang sedang berlangsung. Bahkan dalam nada optimis, beberapa orang berkomentar bahwa perbenturan itu adalah keharusan dan siapa yang bertahan menunjukkan kualitas dirinya. Nada optimistik ini juga mengundang beberapa kalangan untuk memperbarui orientasi diri. Ada beberapa kriteria tertentu sehingga kualitas diri benar dan sungguh bertahan di tengah goncangan. Atau sekadar bertahan dengan status quo asal saja tetap hidup. Tetap bernafas dan menunggu sang maut menjemput. Yang terakhir ini juga banyak dianut dengan dasar paham yang agak keliru karena semua manusia katanya akan menuju tujuan yang sama yakni kematian. Semua yang dilakukan setiap hari asal saja dapat mengganjal perut dan menunggu proses sampai kiamat tiap pribadi(kematian) menjemput. Sepesimis inikah kehidupan? Sepasrah inikah cara kita menghidupi kehidupan kita? Lebih parah lagi: separah inikah cara kita sebagai makluk berTuhan? Atau separah inikah cara kita menghidupi kehidupan sebagai makluk yang setelah melewati beberapa dekade proses evolusi menyadari dirinya? Sebobrok inikah cara kita menghidupi kehidupan setelah sekian lama dalam jumlah yang tidak terhingga menghabiskan tenaga dan materi demi tetap bertahan? Deretan pertanyaan retorik ini tidak akan habis dikupas dalam satu lompatan saja. Ada sekian aspek yang mau diteropong sehingga diharapkan mampu menjawab tuntutan TSM:terstruktur, sistematis dan massif.

Dalam beberapa ujaran pesimistik kita sering mendengar syair lagu Manggarai ata bora mata kin, ata lengge mata kin yang secara harafiah diartikan baik yang kaya maupun yang miskin tetap meninggal. Yang kaya dan yang miskin tetap menemuai ajal alias tidak abadi. Kenyataan paham ini secara mutlak benar adanya, tetapi menjadikan kebenaran mutlak ini untuk memutlakan kehidupan pada umumnya adalah suatu cara pandang yang keliru,kalau tidak mau dikatakan kurangnya pemahaman. Anggapan yang keliru ini akan berakibat fatal kepada caranya memperlakukan kehidupannya sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain atau hal lain di luar dirinya sendiri.  Kenyataan ketidakmungkinan manusia untuk berada sendiri tanpa orang lain atau dunia luar menjadi suatu keharusan cara berpikir untuk meruntuhkan adanya kemungkinan pandangan yang melihat kehadiran orang lain atau dunia luar hanya sebagai tambahan saja. Perkembangan Ilmu pengetahuan manusia telah memberi bukti akan ketidakmungkinana akan adanya seseorang tanpa yang lain Jargon klasik no man is an island bukanlah isapan jempol belaka. Bukan hanya keharusan ada secara fisik dari kehadiran orang lain atau dunia luar tetapi juga keharusan adanya orang lain atau dunia luar secara psikologis. Yang mau saya ketengahkan di sini adalah sudah seharusnya pertemuan atau perjumpaan dengan orang lain di luar diri kita memunyai impliksi yang juga harus terjadi. Implikasi-implikasi inilah yang harus menjadi perimbangan kita dalam menghuni jagat raya ini. Implikasi-implikasi ini jugalah yang seyogyanya menjadi pertimbangan pertama kita ketika mau melakukan sesuatu sebaik atau seburuk apapun itu.

Manusia yang kita jumpai dalam kehidupan setiap hari tidak kita kenal karena jabatannya. Meski ada yang sangat hafal dengan jabatan seseorang dan plat nomor kendarannya. Kita berada sebagai manusia dalam kehidupan kita karena kita adalah manusia. Makhluk yang tampak secara fisik dan bernama manusia itu meminjam ulasan Y. B. MANGUN WIJAYA dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia untuk buku HOMO LUDENS: FUNGSI DAN HAKEKAT PERMAINAN DALAM BUDAYA karangan Johan Huinzinga bahwa kata manusia dalam bahasa Indonesia selaras dengan kata Jawa manungsa  yang datang dari kata sangskrit manusya. Manusya berafiliasi dengan kata mannah yang berari pikiran, jiwa, makna, intelek, persepsi dan seterusnya(hal. xiv). Keberasalan kata manusia sendiri telah menunjuk kepada keistimewahan dan keunikannya di tengah makhluk lainnya di atas jagat raya ini. Potensi kemanusiaan yang ditunjuk oleh kata manusia sendiri telah menempatkannya sebagai pembeda khusus yang memberinya keistimewahan di antara para makhluk lainnya. Semua kualitas yang timbul sebagai akibat keanggotaan suatu makluk dalam spesias kemanusiaan menyiratkan potensi yang harus dinyatakan dalam kehidupan.

Menoleh sebentar akan kiprah kemanusiaan dalam ruang global akan ditemukan berbagai hal yang justeru mengangkangi keberadaannya. Dalam kekalutan cara mengatasi hal seperti ini, beberapa nasehat bijak juga hadir katakana sebagai penangkis. Manusia adalah makluk lemah. Semua kita pernah melakukan kesalahan/ erare humanum est(kekeliruan itu manusiawi). Kenyataan ini juga diakui sebagai kemutlakan. Barang siapa yang mengaku tidak pernah berbuat kesalahan berarti dia tidak termasuk ras manusia. Ketika berhenti di sini agaknya segala sesuatu tidak perlu dibicarakan karena tergantung pada sesuatu sesuai dengan cara pandang kita. Benarkah demikian?

Perdebatan besar selalu saja berlangsung ketika dua nilai yang dinaut sama-sama menunjukan arenanya sendiri dengan capnya sesuai aturan keabsahan yang dibentuk sesuai selera. Benarkah kehidupan tergantung selera? Kadangkala suatu nilai yang dianut oleh orang tertentu bermuasal kepada situasi dan kondisi yang dihadapi dan menghubungkannya dengan hal umum yang berlaku bagi semua tanpa pengecualian. Menyimak ujaran pesimistik bahasa Manggarai ata bora mata kin, ata lengge mata kin ketika ditelusuri berakar dan bertunas dari beberapa kalangan yang melihat segala sesuatunya berlangsung tanpa perlu menghabiskan banyak hal untuk diperoleh. Saya terngiang dengan ujaran yang hampir sama pesimistiknya yakni hidup ini seperi seekor ayam yang mengais tanah untuk mendapat makanan pada hari ini. Besok pun tetap mengais tanah untuk makanan besok dan seterusnya,  Karena semua kita entah memmeroleh banyak atau sedikit akan menemui ajal alias mati seperti seekor ayam. Niat pemberdayaan potensi diri sebagaimana terus diselenggarakan oleh manusia dianggap hanyalah sia-sia belaka. Kehidupan ini hanyalah urusan perut. Semua nilai lain pada akhirnya harus diupayakan sedemikian rupa sehingga ada dalam lingkaran urusan perut. Perut terisi enaklah kehidupan.kata mereka. Padahal kehidupan bukan satu-satunya ada pada terpenuhinya isi perut, tetapi juga pada isi otak dengan logika rasionalnya dan logika hati. Kepasrahan pada keadaan atau menerima apa adanya tanpa berusaha untuk melampaui sesuatu yang terberi adalah rangkaian dari usaha dan tanggung jawab manusia sebagai manusia.

MULTOS TIMERE DEBET QUEM MULTI TIMENT/ IA HARUS TAKUT AKAN BANYAK ORANG YANG BANYAK TAKUT KEPADANYA