Sabtu, 27 April 2024
Perguruan Tinggi

BEM FH UMJ Gelar Diskusi Publik Independensi Mahkamah Agung

BEM FH UMJ Gelar Diskusi Publik Independensi Mahkamah Agung

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (BEM FH UMJ) menggelar Diskusi Publik dengan tema “OTT Mahkamah Agung Di Titik Nadir” secara daring, Selasa (24/01). Diskusi publik tersebut dilakukan dalam rangka menyikapi polemik independensi Mahkamah Agung (MA) pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Rektor IV UMJ Dr. Septa Chandra, SH., MH., Dekan FH UMJ Dr. Dwi Cahyawati, SH., MH., Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Dr. Trisno Raharjo, SH., M.Hum., Dosen Hukum Pidana FH Universitas Trisakti Dr. Azmi Syahputra, SH. MH., dan Ketua DPC Peradi Padang Miko Kamal, SH., LL.M., PhD.

Dalam sambutannya, Dwi mengungkapkan bahwa peristiwa OTT Hakim Agung oleh KPK menunjukkan bahwa MA sedang tidak baik-baik saja. “Ini bukan yang pertama kalinya. Namun, jika kasus ini dibiarkan akan menjadi buruk bagi sistem peradilan Indonesia, karena peran hakim penting di dalam implementasi independensi MA,” tutur Dwi.

Selaras dengan Dwi, Trisno yang menyampaikan materi Indepensi Mahkamah Agung Pasca OTT Hakim Agung, menyatakan bahwa persoalan Mahkamah Agung sudah terjadi lama yaitu semenjak era Reformasi 1998. “Jika ada korupsi yang kaitannya dengan peradilan itu, yang harus diselesaikan adalah kepalanya, dalam hal ini reformasi MA. Upaya-upaya perbaikan ini dilakukan secara teratur,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Komisi Yudisial harus diperkuat tugas dan fungsinya dalam pengawasan, begitu juga dengan kode etik hakim yang harus ditegaskan. Selain itu, sistem penanganan perkara yang terbuka untuk diakses oleh masyarakat menjadi hal yang patut dilaksanakan, guna menciptakan Putusan MA dengan pola dan ciri hukum di Indonesia yang baik.

Azmi menjelaskan OTT oleh KPK terhadap Hakim di MA perspektif hukum pidana bahwa kasus tersebut harus mendapat hukum yang berat dengan dilihat mens area, tingkat keseriusan, hingga akibat pelanggaran terhadap institusinya (runtuhnya MA). “Saya berpikir tindakan Hakim Agung itu kejahatan cukup serius. Harus dihukum berat. Negara sudah memberikan segalanya dan tempat terbaiknya (untuk Hakim), tetapi disalahgunakan,” ucap Azmi.

Sementara itu, Miko memaparkan bahwa kasus korupsi dan sebagainya yang terjadi di lingkungan peradilan bukan Hakim Agung saja, tetapi para bawahannya yang terdapat di ruang lingkup MA dan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pengalaman menjadi advokat kurang lebih 27 tahun, ia menyimpulkan jika ingin memperbaiki polemik tersebut di antaranya: dengan mengurangi delay pembacaan putusan sehingga harus tepat waktu; eksekusi putusan; dan tidak ada delay putusan website, oleh karena itu harus diumumkan MA secara langsung di website.

Septa menyebutkan tiga hal pokok dalam pembahasan OTT Hakim Agung. Tiga hal ini yaitu perbaikan sistem peradilan di MA agar tidak ada proses dagang keadilan, penangan internal MA yang tidak terbatas pada dalih elektronik (CCTV) di gedung MA saja, serta perbaikan sistem rekrutmen seleksi Hakim Agung yang melibatkan KY sebagai garda terdepan dan Komisi III DPR RI sebagai garda terbelakang. Ia menegaskan bahwa Hakim dalam memutus perkara pun harus berpedoman pada Q.S An-Nahl:90 dan An-Nisa:58.

Ketua BEM FH UMJ Sanulqi Ardy mengatakan bahwa tema “OTT MAHKAMAH AGUNG DI TITIK NADIR: Independensi Mahkamah Agung Pasca OTT Hakim Agung?” dibahas, karena seorang Hakim adalah wakil Tuhan di bumi dan merupakan jabatan tertinggi di pengadilan untuk menciptakan keadilan. Namun pada implementasinya terjadi peristiwa OTT Hakim Agung oleh KPK, yang berdampak pada polemik kepemimpinan Mahkamah Agung dalam hal ini, dipertanyakan objektivitas dan indepensinya sebagai lembaga peradilan negara tertinggi. Kegiatan ini semakin menarik karena terjadi diskusi oleh para narasumber dan peserta yang mengikuti di akhir agenda. (QF/KSU)