Sabtu, 27 April 2024
Perguruan Tinggi

REQUIEM AETERNAM HAJI DINDIN

REQUIEM AETERNAM HAJI DINDIN

(UINSGD.AC.ID)-Kabar yang datang di pagi hari ternyata kesedihan. Seorang yang dihormati sebagai teman yang tidak pernah menunda berbuat baik harus “pulang” duluan. Ia pergi dijemput taqdir yang niscaya: menemui keabadian. Menjumpai fase “hidup” berikutnya dalam ukuran pengetahuan Tuhan.

Untuk sejenak, rasanya saya tak bisa percaya. Padahal di malam minggu, besoknya anak saya akan dinikahkan, ia datang berkunjung. Wajahnya gembira. Gesture tubuhnya ikut senang dengan pernikahan anak saya. Ia merangkul, mengucapkan “selamat bro!”

Pagi yang cerah berubah menjadi sendu. Terasa hening. Udara seumpama mendadak beku. Pikiran seperti diaduk tak menentu. Tidakkah ini kabar bohong? Apakah ini mimpi? Tapi berita yang terbaca di sejumlah grup WA juga informasi teman membenarkan “kepergiannya”. Allah!

Melintas di kepala saya sejumlah ingatan. Tentang senyumnya yang khas, kebaikannya, dan hangatnya pertemanan yang ia lakukan kepada siapapun. Sehari setelah ia pulang dari luar negeri, ia meminta saya datang ke kantornya. “Bro, ini ada Zippo untukmu”. Lalu kami bercakap agak lama, tentang rencana peluncuran bukunya yang ia susun. Siapa pembicara yang harus dihadirkan sampai rencana pelatihan Manajemen Ikhlas yang harus dilanjutkan.

Kematian itu batas, begitulah orang semacam Jaspers meyakininya. “Das umgreifende” yang melingkupi, peristiwa pasti yang ditemui sebagai faktisitas kenyataan. Suka atau tidak, ia bisa tiba pada waktunya menemui kita: Pada saat gembira. Di kala lengah. Pada waktu tidur. Ketika sakit. Dan ketika manusia jumawa bahkan lupa seolah hidup tak ada ujungnya.

Kematian itu memudarkan eksistensi sekaligus moment eksistensial. Istri atau suami yang menangis. Anak yang meratap. Kerabat yang tercekat atau kita yang terhenyak mendengar kabar kepergiannya. Istri atau suami yang ditinggalkan pantas meratap. Beberapa waktu lalu mungkin ia masih bersama kita menikmati hidangan di atas meja makan. Merayakan momen-momen bahagia.

Lalu tanpa diduga, ia pergi untuk tak kembali. Sebuah sergapan yang menggetkan. Seumpama petir yang menyambar tiba-tiba. Kejadian tragis yang membuat waktu seolah berhenti seketika. Itulah momen eksistensial. Momen yang meneguhkan kesadaran bahwa kematian adalah entitas pasti nan abadi yang dihadapi seluruh makhluk bernyawa. Peristiwa “mengerikan” yang melunturkan anggapan manusia sebagai satu-satunya spesies yang paling istimewa.

Kematian. Tak ada ilmu dan kesaktian yang bisa mengalahkan. Tak ada ajian juga mantra yang bisa menunda bahkan menolak kedatangannya. Tak juga ada tempat yang aman buat bersembunyi dan mengindar darinya. Kita hanya sedang menunggu, ditemui, mungkin juga diburu olehnya. Seumpama antri di balik pintu siapa giliran berikutnya. Tak bisa menghindar. Mustahil mengelak dari ajakan untuk datang menemuinya. “Fainnal mautalladzi taffiruna minhu fainnahu mulaaqiikum”, begitu kitab suci menegaskan.

Al-Samarqandi seorang penyair Sufi pernah berkata: “Akulah kematian yg akan memisahkan segala yg dicintai. Akulah kematian yg memisahkan lelaki dan perempuan, suami dan istri. Akulah Kematian yg memisahkan anak-anak perempuan dari ibunya. Akulah kematian yg memisahkan anak laki-laki dari bapaknya. Akulah kematian yg memisahkan saudara dari saudaranya. Akulah kematian yg menundukkan kekuatan anak-anak Adam. Akulah kematian yang menghuni kubur. Tidak satupun makhluk yang mampu bertahan untuk tidak merasakanku”.

Untuk seorang teman yang duluan. Kepada siapapun yang tiba-tiba menutup mata untuk selamanya. Terlebih buat sahabat juga kerabat yang baru saja “berangkat” menempuh perjalanan ke alam keabadian, Tuhan berkenan menerimanya. Tuhan sumringah menantinya. Seumpama tamu istimewa yang disambut dengan kehangatan dan pelukan. Ditempatkan di kursi kehormatan di samping-Nya.

Mereka yang sudah sempurna menjemput taqdirnya, berharap jiwa damailah yang menyertainya. Kematian bersama damai yang disertakan. Itulah “wurdevoller tod” yang ditegaskan Martin Heidegger. Kematian yang bermartabat.

“Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridla. Masuklah sebagai hamba-hambaku. Masuklah ke dalam syurgaku”.

Dr Radea Juli A Hambali MHum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung