Sabtu, 27 April 2024
Perguruan Tinggi

Kelola Perbedaan dengan “Culture of Tolerance” Hasilkan Perdamaian

Kelola Perbedaan dengan “Culture of Tolerance” Hasilkan Perdamaian

Oleh Prof Dr Nurhayati, MAg, Rektor UINSU Medan

Konsep dari budaya toleransi atau ‘culture of tolerance’ sebagai salah satu value utama dari ajaran Islam yang mengiringi peradaban manusia di planet biru ini harus kita yakini sebagai sarana dan ruang untuk mengelola keragaman dan perbedaan, sehingga mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat dunia dan khususnya untuk warga Indonesia yang plural.

Gagasan ‘culture of tolerance’ tersebut yang diulas dan diperas dari pidato Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada penutupan konferensi tahunan bergengsi Kementerian Agama (Kemenag) RI yakni Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-23 Tahun 2024 yang digelar di Semarang dengan tuan rumah Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo.

Event forum akademik internasional ini yang dilaksanakan pada 1-4 Februari 2024 ini menghadirkan pada tokoh lintas agama ASEAN, para akademisi dan peneliti dari berbagai negara. Kali ini mengulas bagaimana peran agama dalam mengatasi masalah dunia saat ini, sejalan tema ‘Mendefinisikan ulang peran agama dalam menangani krisis kemanusiaan’.

Kali ini, Menteri Agama yang akrab disapa Gus Men ini memberikan pencerahan dalam pidatonya berkaitan dengan masalah kemanusiaan dan peperangan saat ini yang masih terjadi. Yang disinyalir diakibatkan karena kurangnya kemampuan menerapkan dan mengelola nilai toleransi dimaksud. Amanat menteri begitu inspiratif, juga dijadikannya sebagai proposal yang harus kita yakini sebagai jawaban dan solusi untuk memecahkan krisis kemanusiaan yang masih terjadi kini.

Jika Gus Men pada AICIS sebelumnya berfokus pada kajian-kajian fiqih Islam integratif sebagai ruang ijtihad yang otoritatif dalam upaya mengatasi berbagai persoalan umat, pada konferensi internasional kali ini ia mengkaji untuk mengatasi masalah krisis kemanusiaan dengan pendekatan-pendekatan sejarah.

Di antaranya pada pertengahan abad 20, di mana masih berbagai peristiwa krisis kemanusiaan dengan serangan yang brutal. Yakni kasus Holocoust yang menghilangkan nyawa enam juta orang Yahudi. Bahkan, setelah Perang Dunia II selesai dan bangsa-bangsa belajar untuk memandang tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan haknya yang harus dilindungi secara universal, peristiwa kemanusiaan masih terjadi pada 1994 yang memakan banyak korban akibat kengerian politik kebencian di Rwanda. Gus Men mengatakan, sikap intoleransi, propaganda rasial, eksploitasi identitas dan superioritas ras dapat menenggelamkan sendi-sendi peradaban dan kemanusiaan. Hal itu, menegaskan masih rapuhnya kemanusiaan kita.

Yang mengagetkan, data yang disampaikan menteri bahkan korban kekerasan akibat konflik yang berbasis identitas jumlahnya melampaui jumlah korban perang dua. Demikian ini disangkakan, bahwa kekejaman dan brutalitas terhadap kemanusiaan itu, masih melekat secara inherent di dalam modernitas dan politik. Dari tilikan sejarah ini, menuju pada resolusi Dewan HAM di PBB yang mendukung upaya seluruh negara untuk mengatasi gerakan intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama.

Seakan-akan, menteri menginsyaratkan bahwa intoleransi, diskriminasi dan kebencian itu bukanlah bagian dari atap nilai kita, maka hal itu bisa dilampaui dan kita kalahkan bersama. Solusi yang ditawarkan dan terpenting harus kita yakini sebagai solusi ialah menumbuhkan kultur toleransi atau culture of tolerance.

Bahkan, memasuki abad 21 ini, tantangan terkait krisis kemanusiaan juga semakin besar, di mana ada pergolakan hebat terkait globalisasi dan internet memudahkan manusia, di sisi lain juga mengantarkan potensi konflik secara lebih cepat ke meja makan masing-masing rumah. Menteri menilai, dengan kemudahan akibat teknologi itu, setiap bangsa dan etnis dipaksa harus menghadapi perbedaan (different) dan yang lainnya (the others). Maka tanpa rumus culture of tolerance, maka gejolak akan mudah terpeleset menjadi tragedi kemanusiaan yang baru.

Hal itu diperkuat dengan perkataan filsuf Amerika, yakni ‘toleransi membuat perbedaan menjadi mungkin dan perbedaan membuat toleransi dibutuhkan’. Berbicaraa toleransi maka pucuk serta corong khazanahnya ialah peran agama yang berperan penting dalam menciptakan kedamaian dan perlindungan terhadap hak azasi manusia (HAM). Agama juga sebagai sumber ketenangan spiritual dan mendorong perubahan positif di tengah masyarakat.

Maka, variabel krisis kemanusiaan dimaksud harus direspons serius dengan elemen agama yang direkonseptualisasikan. Hal itu agar agama harus tampil lebih inklusif, responsitf dan tentu progresif. Memahamkan umat dan peradaban, dalam risalah sejarah dan ilmu pengetahuan bahwa agama dengan nilai toleransi merupakan solusi yang dibutuhkan dunia yang terbakar saat ini.

Maka, dalam pandangan saya, penekanan-penekanan dari Gus Medan perlu kita indahkan setelah dipahami secara holistik. Di antaranya, sikap toleransi itu bukan hanya upaya untuk menegasikan, menahan dan menggugurkan nilai sendiri demi orang lain. Namun toleransi itu adalah sikap positif untuk kebersamaan dan universalitas. Hal ini sejalan bahwa nilai toleransi yang merupakan salah satu dari beberapa nilai-nilai ajaran Islam. Yakni Nabi Muhammad SAW yang diutus membawa risalah yakni ajaran-ajaran yang berisi toleransi.

Kita harus menyadari, Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dan tidak diskriminatif kepada orang lain, termasuk kepada orang yang dibenci sekalipun. Seperti yang dimaksud dalam Al Maidah ayat: 8 tentang keadilan. Bahkan menteri mengulas, ajaran agama lain yang juga sepakat soal nilai toleransi ini. Kita tidak bisa mengelak, bahwa dalam kajian sejarah umat manusia memang menunjukkan kekerasan, kebencian dan disrupsi, bahkan dosa pertama anak Adam ialah membunuh saudaranya. Namun di saat yang sama, sejarah juga membuktikan bahwa hanya manusia yang memiliki kapasitas untuk mencintai, bukan makhluk lain.

Manusia, sebagai satu-satunya yang berkapasitas untuk mencintai. Yang mampu meletakkan nilai kebersamaan, melampaui ego, agama, ras, etnis dan sekat-sekat nasionalitasnya. Menariknya, memang manusia terikat pada fakta dan dimensi primordialisme, namun juga manusia selalu tergerak mendorong bertindak ke arah yang universal, juga ini sejalan dengan nilai-nilai Islam di samping toleransi.

Eksperimen toleransi . . .

Dalam tilikan sejarah pula, kita akhirnya memahami bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan eksperiman toleransi yang paling panjang dan intens, terbukti dalam untaian sejarah ratusan bahkan ribuan tahun lalu yang membawa kita hari ini. Sebagai bangsa yang kokoh dan teruji dalam sisi toleransi.

Menurut menteri, perjalanan panjang yang menghasilkan tradisi dan pemahaman di Indonesia, mendorong warganya untuk mampu mengilustrasikan, menterjemahkan, dan memahami perbedaan dan keragaman sebagai suatu fakta. Fakta yang akhirnya dapat dimengerti dan diadaptasikan dalam pergaulan sebagai hubungan baik sesama anak bangsa Indonesia.

Kendati sejarah Indonesia yang diperlihatkan itu, mengartikan, kita harus masih bekerja keras mengelola perbedaan untuk meredam konflik serta ketenganan. Hal itu untuk mengukuhkan harmoni dengan semangat toleransi. Yang hari ini, nilai toleransi itu sudah dijadikan sebagai bagian dari tradisi, nilai, fondasi yang berharga dari demokrasi Indonesia. Maka the Culture of Tolerance dimaksudkan, untuk menyediakan kerangka dasar agr bisa hidup bersama, berkeadilan di tengah masyarakat yang pluralistik.

Sementara, kita harus jadikan sikap intoleransi sebagai musuh bersama, yang justri akan mendorong pemikiran-pemikiran mereka yang lemah dan bisa memperdalam jurang ketidakadilan sosial dan politik di negara tercinta ini. Dalam keberadaan berabad-abad ini, menunjukkan bahwa hidup berdampingan bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Namun juga sebagai sumber kekuatan. “Budaya toleransi adalah kunci utama mengelola keragaman dan perbedaan,” tegas menteri.

Toleransi, perlu kita tegaskan juga sebagai upaya kita melestarikan demokrasi dan menjamin hak azasi manusia. Menyadari bahwa tidak ada hidup bersama yang tidak plural dan tidak ada sejarah yang tidak ditandai dengan kemajemukan. Pluralitas adalah ciri kodratif dari tata realitas baik itu realitas natural dan relitas kultural. Maka, setiap sikap penolakan atau penyangkalan terhadap pluralitas, sesungguhnya juga merupakan penyangkalan dan penolakan terhadap realitas itu sendiri.

Dari itu, maka simpulan dari arhan Gus Men ialah perlunya pemahaman peran agama dalam krisis kemanusiaan dan agama kemanusiaan dalam gerakan bersama dari teori ke praktik yang disampaikannya sebagai suatu proposal yang diusung dari ruang akademik dan pendidikan Islam untuk kedamaian dunia.

Hal itu, bisa dimulai dengan penerapan moderasi beragama sebagai modal dan kontribusi nyata yang dirajut bersama semua elemen masyarakat dunia. Khususnya dalam menijau ulang peran agama dalam mewujudkan perdamaian dunia, kini dan untuk masa depan anak cucu kita