Senin, 01 Juli 2024
Perguruan Tinggi

MA Dorong Akademisi Tinjau Kembali Substansi UU Perlindungan Konsumen

MA Dorong Akademisi Tinjau Kembali Substansi UU Perlindungan Konsumen

[Kanal Media Unpad] Hakim Agung Mahkamah Agung RI Syamsul Maarif, S.H., LL.M., PhD, menilai bahwa UU Perlindungan Konsumen yang sudah diadopsi sejak 25 tahun lalu belum berjalan dengan baik. Padahal, sebagai salah satu produk reformasi, UU ini bersifat strategis yang setara dengan UU Antikorupsi dan UU Antimonopoli.

“Dari beberapa UU hasil reformasi ini, saya punya impresi UU Perlindungan Konsumen yang not working well,” ungkap Hakim Syamsul saat menjadi pembicara kunci pada Seminar “Enforcement of Consumer Protection Laws in E-Commerce Transaction : National and Transnational Legal Perspective” di Auditorium Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Kamis (27/6/2024).

Seminar ini terselenggara atas kerja sama FH Unpad dengan Mahkamah Agung RI dan Pengadilan Federal Australia.

Hakim Syamsul menjelaskan, secara Undang-Undang, konsumen punya beberapa pilihan untuk mempertahakan dan mendapatkan hak perlindungan. Baik melalui jalur non-litigasi seperti mediasi dan arbitrase hingga jalur litigasi melalui penyelesaian sengketa di BPSK atau mengajukan gugatan langsung ke Pengadilan Negeri.

Namun, Hakim Syamsul sendiri tidak memiliki data statistik pasti berapa kasus yang sudah diselesaikan melalui jalur non-litigasi ataupun jalur litigasi. Bahkan, dalam beberapa kasasi mengenai perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke MA, tidak banyak konten kasasi seputar konsumen.

“Baik melalui non-litigasi ataupun litigasi, the data is not develop yet,” ujarnya.

Secara posisi, UU Perlindungan Konsumen merupakan produk reformasi yang sangat penting. Secara substansi, UU ini menempatkan konsumen sebagai pihak kecil yang melawan pelaku usaha yang berkedudukan besar. Sayangnya, implementasi UU ini dinilai belum berjalan dengan baik.

Di hadapan peserta seminar, Hakim Syamsul Maarif mengatakan bahwa kondisi ini bisa menjadi penelitian para akademisi. “Apa yang salah dengan UU Perlindungan Konsumen? Apakah substansinya tidak tepat, ataukah lembaganya yang tidak tepat?” jelasnya.

Di beberapa negara, praktik perlindungan konsumen sudah berjalan dengan baik. Para pelaku usaha di sejumlah negara maju sudah berinisiatif melakukan perlindungan konsumen.

Hakim Syamsul mengatakan, di Indonesia sendiri, para pelaku usaha secara praktik sudah mengimplementasikan perlindungan konsumen. Beberapa lokapasar (marketplace) sudah menyediakan kebijakan untuk melakukan perlindungan konsumen.

“Antara regulasi dan praktik jauh lebih cepat praktik di pasar,” kata Hakim Syamsul.

Melalui acara tersebut, MA mendorong akademisi bisa meninjau kembali desain UU Perlindungan Konsumen. Menurutnya, UU ini belum pernah mengalami amendemen sejak 25 tahun diadopsi dibandingkan UU lainnya. “Desain UU perlu dilihat kembali substansinya, apakah sanksinya kurang berat? Apakah struktur substansi dalam pengaturannya jelas atau tidak,” ujarnya.

Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber, yaitu Hakim Pengadilan Federal Australia Robert James Bromwich, Guru Besar Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, MLI., serta Dosen FH Unpad Dr. Susilowati S. Dajaan, M.H. Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Bidang Pembelajaran, Kemahasiswaan, dan Riset FH Unpad Achmad Gusman Catur Siswandi, LLM, PhD.*