Selasa, 21 Mei 2024
Sekolah Menengah Pertama

Memahami Untuk Kehidupan Ideal (Memperingati Hari Anak Se-Dunia 2021)

Memahami Untuk Kehidupan Ideal (Memperingati Hari Anak Se-Dunia 2021)

Oleh : Abdul Rozaq, S.Sos *)

Melansir laman web UNICEF, Hari Anak Sedunia tahun ini menekankan pentingnya bagi dunia untuk mendengarkan ide dan permintaan anak-anak dan remaja. Seperti yang sudah kita semua rasakan bahwa dunia kini berkembang menjadi ruang tanpa sekat dan memungkinkan semua orang (termasuk anak-anak) untuk berinteraksi dengan masyarakat global.

Terlebih dengan hadirnya teknologi permainan (video gaming) yang berkembang sangat pesat, yaitu menggabungkan teknologi permainan dan media sosial serta menciptakan ekosistem keuangan digital. Anak-anak kita hari ini lebih menikmati kehidupan virtual dibandingkan kehidupan nyata. Belajar melalui pemanfaatan internet lebih interaktif, efektif dan efisien dibandingkan di sekolah yang kultur pendidikan masih beraroma diskriminasi dan tidak up-to-date dengan perkembangan zaman. Bisa dikatakan bahwa kehidupan virtual “lebih menerima” dan bahkan “lebih ideal” untuk mereka eksis. Kenapa hal itu bisa terjadi?

Untuk mengetahui hal itu mula-mula UNICEF melalui Proyek Changing Childhood menyelenggarakan jajak pendapat internasional pertama yang menanyakan pandangan beberapa generasi (rentang usia 15-24 tahun dan 40 tahun) di 21 negara tentang bagaimana rasanya menjadi anak-anak saat ini. Di Indonesia, data ini dikumpulkan antara tanggal 1 Maret hingga tanggal 28 April 2021.

Fakta bahwa selama dua dekade terakhir, dunia kita telah menjadi serba digital, lebih globalis, dan lebih heterogen baik itu objek maupun subjek materi dalam konteks perubahan teknologi. Perubahan-perubahan ini membentuk latar belakang asuhan generasi muda saat ini, pengalaman, dan sikap mereka memandang dunia masa depan dan kehidupan yang tengah dijalani.

Hasil dari jajak pendapat itu terutama di Indonesia didapati setiap generasi (bahkan sampai yang berusia 40 ) mengalami kesehatan mental yang buruk akibat tekanan untuk berhasil (ekspektasi berlebihan) sehingga menimbulkan kecemasan dan depresi. Faktor tersebut juga memungkinkan mereka “lari” dari kehidupan nyata (realitas) menuju kehidupan virtual.

Lebih lanjut survei ini mengungkapkan bahwa anak-anak (usia -15 tahun) dan remaja (rentang usia 15-24 tahun dan 40 tahun) selama ini merasa haknya dalam bersuara dan berpendapat dipasung, dibatasi, bahkan dilarang berbagi ide. Hal ini menunjukkan bahwa budaya feodalisme (kehormatan dan semacamnya) masih menghantui kehidupan nyata, sebaliknya di kehidupan virtual lebih menekankan keahlian/skill dan inisiatif gagasan.

Terakhir, Proyek Changing Childhood memberikan gambaran bahwa setiap generasi yang kini “nyaman” menjalani hidup di wilayah virtual telah siap untuk hidup berdampingan dengan masyarakat global. Namun kesiapan tersebut belum menyeluruh, misalnya dalam hal tata krama berinteraksi atau pengamanan data pribadi dan lain sebagainya.

Sebagai lembaga pendidikan, MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid tidak menafikan perubahan zaman yang terjadi, secara internal berusaha meningkatkan kapasitas SDM untuk memahami dan menguasai teknologi yang sejalan dengan pedagogik melalui webinar-webinar dan lainnya. Pun demikian, kami berharap pihak eksternal baik itu instansi pemerintahan maupun swasta mau bekerjasama dengan kami untuk kepentingan membangun SDM generasi muda menciptakan kehidupan ideal dan lebih baik dari hari ini.

*) Guru BK MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid