Senin, 06 Mei 2024
Sekolah Menengah Atas

IDENTITAS POLITIK DAN POLITIK IDENTITAS

IDENTITAS POLITIK DAN POLITIK IDENTITAS

Vinsensius Nurdin

Sebagai warga Negara, tentu kita semua tidak pernah mengabaikan berbagai isu yang kian merebak pada akhir-akhir ini. Media dalam berbagai bentuk telah menembus batas pengetahuan masyarakat dalam menyajikan berbagai hal yang terus merambat berbagai aspek kehidupan. Untuk menelaah atau memberi tanggapan terhadap berbagai hal, sebagai insan rasional saya anda telah memiliki kecukupan bahan yang perlu dipertimbangan sehingga tidak gampang jatuh kepada aliran sungai yang tampaknya diam tetapi menghanyutkan. Pertimbangan pada beberapa aspek yang mesti diperhitungkan adalah juga bagian dari tanggapan rasional dalam konsep diskursus sehingga akan terjadi pertukaran yang mengagumkan antara aspek-aspek yang kelihatannya bersingunggan dan bahkan berpotensi memantik konflik.

Diskursus politik tidak akan pernah berakhir. Selama hayat dikandung badan, kata atau kegiatan politik akan senantiasa menjadi wadah yang dapat menampung kebersamaan. Hal inipun mengandaikan paham/konsep politik yang tidak melulu pada kepentingan pergantian kekuasaan semata. Apa lagi kalau kita menoleh sebentar akan keaslian kata ini dalam tataran sejarah kata. Salah satu di antara sekian rujukan yang harus dilakukan dalam memahami suatu konsep adalah beralih kepada bukan saja teks tetapi juga kon-teks. Suatu pemahaman dalam keseluruhan maknanya kadang gampang sekali jatuh kepada apa yang ditulis oleh suatu teks dan merasa cukup dengan itu lalu memproklamirkannya sebagai kemutlakan. Bahaya pasti yang ditimbulkan oleh metode seperti ini salah satunya adalah keberlakuan suatu paham yang dianggap sama untuk semua. Apa yang dikatakan teks itulah yang harus terjadi. Demikian pula yang terjadi ketika suatu paham yang berkesinambungan dengan praktek hidup hanya dikawal dari kon-teks semata. Bahaya laten dari hal semacam ini tentu saja longgarnya ring pengaman yang merebahkan bagunan konsep pada umumnya. Berkembangnya arti suatu kata yang diklaim tergantung kon-teks telah terbukti dalam banyak kasus hanya memancing di air keruh.

Apa yang dibuat dalam kemelut kepentingan teks dank kon-teks ?. Hanya ada satu pengandaian yang mugkin yakni mengelaborasi keduanya sehingga dapat membentuk bagunan konsep yang memadai. Suatu teks harus berkorelasi dengan kon-teks. Dalam artian menerjemahkan suatu konsep yang berawal dari kandungan etimologisnya hingga merengkuh muatan aksiologis. Kata politik sebagaimana diakui dalam tataran etimologis  berasal dari bahasa Yunani dari kata polis yang berarti masyarakat/public/kota dan taia yang berarti urusan/kepentingan. Arti etimoligis kata politk ini yang rujukan utamanya pada urusan atau kepentingan yang sifatnya umum/masyarakat pada umumnya (bdk. Webster’s New World Dictionary, Simon & Schuter, Inc., 1982, hal.144-145). Gambaran etimologis kata politik akan menghantar kita kepada berbagai hal yang kita yakini menjadi ruang politik hari ini. Urusan/kepentingan umum menjadi dasar dari bagunan politik. Itu berarti tidak dibatasi oleh sekat-sekat kepentingan kekuasaan semata, tetapi menjangkau keseluruhan niat demi kepentingan umum. Saya dan anda setiap hari mencari nafkah dengan cara berbeda adalah bagian dari usaha politik dalam arti tegas. Paham politik yang bersekat sebagaian besar dialami oleh kon-teks sehingga seolah-oleh hanyalah urusan partai-partai dan membentuk kekuasaan. Ketika penerjemahan konsep politik terus dialami sebagai suatu keterlanjuran massa, maka yang terjadi adalah kita memformat arti etimolgis menjadi seperti yang ada di benak kita per hari ini. Dari sinilah kita mengkapling konsep politik yang hanya melulu pada kegiatan partai-partai politik menjelang dan pada saat pemilihan umum.

Ada apa dengan identitas politik dan politik identitas?. Untuk membedah hal seperti ini yang dilakukan adalah melihat dan mencoba menemukan apa saja yang termuat dalam kandungan frase yang dimaksud. Identitas politik sangat mudah merujuk kepada sistem yang dianut oleh suatu perhimpunan(bangsa/Negara) sehingga memberi ciri tertentu akan apa yang harus dilakukan dalam berpolitik. Sebagai suatu sistem, tentu saja ada pedoman yang harus diikuti. Sejauh menjadi pedoman berarti hasil konsensus/kesepakatan setiap orang yang menghuni suatu persekutuan(bangsa/Negara). Dalam konteks Negara kita, pilar-pilar kebangsaan menjadi pedoman dasar yang harus menjiwai seluruh pergerakan . Pilar-pilar kebangsaan dengannya menjadi   identitas politik kita. Semua urusan yang berada di bawah kolong langit Indonesia wajib dan harus menjadikan pilar-pilar kebangsaan sebagai pedoman yang mengarah kepada tujuan demi kebersamaan. Identitas politik kita adalah penerapan prinsip-prinsip sebagaimana tertuang dalam pilar-pilar kebangsaan. Ada banyak cara menerjemahkan identitas kita dalam kerangka perpolitikan kita. Dan hal itu sudah dilakukan semenjak Negara ini terbentuk. Berbagai gesekan dan benturan yang terjadi dialami sebagai kekeliruan cara menidentifikasi niat perseorangan/persekutuan dalam bingkai kebangsaan. Berbagai gesekan dan benturan itu juga harus terjadi dan dialami sebagai sesuatu yang lumrah ketika kita memahami itu sebagai cara untuk mengidentifikasikan diri dengan pilar-pilar kebangsaan. Saya juga sangat setuju ketika memahami konsep ini dari Luc Nancy ketika ia berujar :niemals identitȁt,immer identifiserungen/tidak ada identitas, tetapi proses identifikasi. Mudah-mudah berbagai kemelut yang ada adalah proses mengidentifikasi diri sehingga selaras dengan pilar-pilar kebangsaan. Identitas politik kita harus link and match dengan nilai-nilai kebangsaan sebagaimana digariskan melalui pilar-pilar kebangsaan kita.

Menjamurnya konsep lain di luar pilar-pilar kebangsaan yang dengan tegas membelakagi dan membangkang terhadap orientasi  yang ada adalah suatu cakupan pembahasan yang harus terus dilakukan. Hal ini berawal dari adanya geliat akhir-akhir ini yang karena perhimpunannya dengan berbagai pernyataan mengidentifikasi diri sebagai yang berada di luar identitas kebangsaan. Benarkah demikian? Sebetulnya paham atau konsep dalam pergerakan politik telah dilalui bangsa ini semenjak keberdekaan. Kedua kelompok yang berdialog waktu itu adalah kaum nasionalis dan agamis. Kedua kelompok ini dalam tataran tertentu dapat mewakili gejala yang akhir-akhir ini dianggap mewarnai perdebatan politik kita. Kelompok nasionalis meyakinkan diri bahwa bangsa kita bermuasal pada keanekaragaman. Ada bermacam-macam perbedaan yang membentuk keindonesiaan. Bagi mereka kemerdekaan kita diperoleh dari persatuan berbagai perpedaan sehingga menjadi kekuatan yang tidak mudah tercerai berai. Sementara kelompok agamis meyakinkan diri dengan melihat jumlah. Kemelut ini meski tetap berlanjut hingga saat ini, telah diatasi dengan luar biasa oleh para pendiri bangsa. Kalau hal semacam ini terulang hari ini, maka ambikan rujukan yang sudah terjadi semenjak kemerdekaan. Politik identits sesungguhnya berasal dari keyakinan sektarian dalam bentuk kebercayaan tertentu yang mencoba menerjemahkannya dalam konteks pluralitas sosial. Apakah hal ini salah? Bagi saya sebetulnya bukan persoalan benar atau salah. Persoalan utamanya adalah apakah politik identitas telah tegas menolak pilar kebangsaan kita? Kalau jawabannya YA, maka memang kita harus menolak. Tetapi kalau jawabannya TIDAK, maka mari kita bersama menemukan titik simpul segingga persoalan ini tidak sampai menjadi wabah yang menakutkan. Politik identitas memproklamirkan diri sesuai dengan marwah kelompoknya. Dan tujuan utama mereka adalah mengikatkan keyakinan setiap anggota akan sesuatu yang diperjuangkan yang dianggap menjawab tuntutan orang-orang yang menjadi anggota kelompok. Pernahkah kita berpikir dalam keseimbangan bahwa partai-partai politik dalam artian tertentu menjalankan politik identitas? Ketika kita mengikuti orasi suatu partai politik tertentu, akan nampak secara verbal cara mereka memikat keanggotaan dengan sayembara yang berasal dari marwah kepartaian. Bahkan dalam orasi politiknya kadang terselib beberapa ujaran yang meremehkan keberadaan partai yang lain. Mereka menunjukan identitas mereka sesuai dengan aturan rumah tangga kepartaian. Itulah identitas mereka. Mereka mau menunjukan keberbedaannya dengan orang lain. Sejauh ini kita melihat sesuatu yang tidak salah dalam politik identitas.

Politik identitas yang mencoba memproklamirkan diri sebagai suatu kelompok demi loyalitasnya kepada prinsip tertentu, hemat saya, tidaklah salah. Usaha kita adalah mencoba meyelami marwah identitas mereka dengan identitas kebangsaan. Jika ditemukan adanya gejala mau mengkhianati marwah kebangsaan maka harus dikutuk. Harus segera dibubarkan dan memaksa pihak-pihak yang berwenang untuk menghentikan kegiatan mereka. Hal ini sudah pernah dilakukan oleh pemerintah ketika ada kelompok/golongan tertentu yang dinilai dapat merusak dan merongrong marwah kebangsaan. Akan tetapi, sejauh identitas dimengerti sebagai penamaan kelompok/golongan, maka sejauh itu pula keberadaannya tetapa menjadi dinamika politik kita. Hal-hal yang ditolak dari politik identitas adalah berbagai ungkapan dan aksi yang mematikan identitas kebangsaan.