Sabtu, 27 April 2024
Sekolah Menengah Atas

SA’I KABA KȄLAS

SA’I KABA KȄLAS

Catatan kritis atas cara kita berdaya dan beradab

Vinsensius Nurdin

Sman3borong.sch.id-Ada banyak ujaran dalam bahasa daerah/ bahasa ibu yang mau menunjukkan sesuatu dan melampaui maknanya dari apa yang diartikan secara kasat mata. Pernyataan lugas yang mau menyatakan secara langsung kadang dirasa terlalu sulit karena masih menyerap cakrawala ketimuran pada mana nilai rasa dianggap mampu menjembatani hubungan antara manusia. Ucapan dan atau perkataan yang keluar dari mulut orang-orang kita selalu memperhitungkan dan menjaga perasaan orang lain demikian pula sebaliknya. Keberlakuan nilai yang dianggap ketimuran ini telah merajam beberapa tahapan sejarah pembentukan tata ucap dan tata laku manusia. Semuanya telah membentuk dan menemani caranya kita menyatakan dan atau melakukan sesuatu.

Periode sejarah kebudayaan manusia yang coba diselsisik karakteristiknya juga mengena secara langsung kepada bahasa manusia. Dalam pola kebahasaan ini akan tampak beberapa hal yang menjadi kekhususan sekaligus keistimewahan. Dalam keragka inilah, kita diberdayakan dalam pola yang menjadi diskursus manusia. Kehendak yang bermuasal pada adanya usaha untuk mempertemukan segala hal yang pada galibnya menjadi cakrawala dari adanya ujaran-ujaran tertentu yang tidak berhenti maknanya pada arti etimologis tetapi jauh menukik kepada adanya nilai/makna baru. Topografi nilai baru dari suatu padanan kalimat dengan keberlakuannya yang kontinual telah menjadikan ruang tradisi kebahasaan kita yang bervariasi di satu sisi dan jaringan makna baru sebagi resultante dari pengolahan paham budaya setempat. Ada banyak ujaran yang akan menghantar kita kepada terurainya beberapa pemaknaan yang berasal dari adanya transformasi kata/kalimat kepada cara baru dalam memahaminya.

Ruang kebudayaan kita tidak akan pernah berhenti pada salah satu acaun saja. Berbicara tentang manusia berarti berpapasan dengan aspek yang multidimensional. Sadar akan kenyataan ini akan menjadikan kita yakin bahwa segalanya tidak hanya cukup diri dengan salah satu realitas yang nampak dan mengabaikan fenomena lain yang juga secara simultan membentuk hal yang coba diselidiki. Apapun itu dan dimanapun itu tetap berlaku  prinsip quiquid recipitur ad modum recipientis recipitur / apa yang diterima, diterima sesuai dengan cara si penerima. Pada gejala prinsip seperti inilah akan kita pahami bagaimana segalanya mengorbit dan membentuk nilai tertentu yang sangat layak dan pantas diselami sedemikian rupa sehingga mampu memberikan ruang berbahasa  dalam keanekaragaman sebagaimana adanya.

Saya tidak sedang merakit cara baru berbahasa atau cara baru memaknai suatu ucapan atau ujaran. Saya hanya berkehendak mengulik racikan bumbu tradisi berbahasa dalam ruang transliterasi sehingga membentuk formulasi paham dan pengertian yang baru. Artikulasi baru  dari formulasi kata atau kalimat yang tidak dipahami sebagaimana tampaknya telah lama mejamu cara kita berbahasa dan memberi makna terhadap ujaran dan atau ucapan tertentu. Stressing yang saya coba  angkat pada diskursus kali ini adalah ungkapan dalam bahasa daerah Manggarai Sa’i Kaba kělas. Secara etimologis akumulasi yang membentuk kalimat ini per bagiannya/per katanya adalah ungkapan fisik dari suatu kenyataan tertentu. Sa’i berarti kepala/dahi, Kaba berarti kerbau dan Kělas berarti upacara kenduri.

Ungkapan Sa’I Kaba Kělas dalam penuturan asli orang Manggarai tadak menunjuk dan tidak mengacu kepada makna hurufiah sebagaimana terumus dalam kalimat di atas yakni kepala kerbau pada upacara kenduri. Jauh melampaui ini, terbentanglah makna aksiologis yang menunjuk  kepada makna lain. Perbenturan dengan nilai baru inilah yang membuat kita berdecak kagum akan caranya para pendahulu kita menempatkan dan menyisipkan nilai baru dari suatu kenyataan fisik dan terpaut dengan  ungkapan tertentu.  Arti baru dari ungkapan ini adalah manusia yang tidak memunyai rasa malu. Kemaluannya(kata sifat) sudah tumpul karena terhalang oleh tergerusnya beberapa nilai manusia yang mesti ada dan sudah seharusnya menjadi nilai manusiawi. Tidak punya rasa malu adalah ungkapan sederhana yang terpaut dari pribahasa adat Sa’I Kaba Kělas.

Di ruang komunikasi dalam lingkungan sosial kemasyarakatan ungkapan Sa’I Kaba Kělas langsung ditunjukkan kepada manusia yang rasa malunya sudah hilang sama sekali. Sudah terang benderang melakukan kesalahan besar misalnya tetapi merasa biasa-biasa saja.  Oknum atau pihak yang memiliki aktualitas diri dengan predikat kehilangan jati diri yang berasal dari tergerusnya rasa malu akan menjadi kekuatiran massal. Betapa mengenaskan ketika salah satu perangkat jati diri manusia hilang atau terabaikan. Rasa malu adalah salah satu instrument pada mana manusia akan merasa bersalah ketika melakukan suatu yang melenceng dari tata kehidupan yang normal. Sudah terang-terangan melakukan penipuan atau penggelapan contohnya tidak disusul denga rasa penyesalan dan pengakuan, tetapi malah menjadi kebaggaan tersendiri dalam kepongahan dan dalam penyesatan berpikirnya dia merasa bangga telah melakukan kemaksiatan itu dab bahkan melalui gestikulasinya dia mengampanyekan kepada jagat raya akan kegagalannya mengorientasikan diri kepada proses evolusi berpikir manusia.

Saya agak penat dan sesak dalam nuansa pada mana semua elemen berpikir manusia telah setumpul yang dialami oknum manusia yang rasa malunya sudah tumpul sama sekali.  Idealisme manusia dengan perangkat yang tersedia-berpikir dan berkehendak- telah memberi manusia peluang untuk berkelakuan sebagaimana adanya. Tetapi semuanya menjadi sirna ketika salah satu peragkat yang ada dihilangkan. Ketidakseimbagan cara bertindak akan dikembalikan kepada instrument mana yang manusia suka untuk ditumpukan.

Sa’I Kaba Kělas diperuntukan kepada oknum yang telah melibatkan diri dalam tindakan penipuan dalam bentuk apa pun dan berakibat kepada pihak lain. Tidak tau malu dalam jargon harian merujuk secara tepat sasar kepada pribadi tertentu yang  berpikir dan bertindak nyaman saja ketika sudah secara sah dan meyakinkan, merugikan pihak lain. Sa’I Kaba Kělas adalah seruan sarkastik yang langsung tertuju kepada manusia yang telah berhasil mengelabui pihak lain dengan trik apa saja sehingga mampu baginya untuk mengakumulasi harta kakayaan yang an sich bukanlah miliknya pribadi.  Sa’I Kaba Kělas merupakan seruan yang dialamatkan secara nyata kepada oknum yang melakukan penggelapan kepentingan umum demi kepentingan pribadi dan atau golongan.

Saya menyerukan suatu panggilan provokatif kepada semuanya yang merasa telah melaknati nilai kemanusiaan untuk beralih kepada fitrah kita sebagai insane beradab. Peradaban manusia telah berjalan sekian sehingga per saat ini kita semua telah dicekoki dengan apa yang baik dan apa yang buruk.