Sabtu, 27 April 2024
Sekolah Dasar

CANGKRUKAN DI WARUNG GANDARWA – ELIFIA TARAKA (2021)

CANGKRUKAN DI WARUNG GANDARWA – ELIFIA TARAKA (2021)

CANGKRUKAN DI WARUNG GANDARWA
By : Elifia Taraka

Cerita ini kutulis berdasarkan peristiwa yang kusaksikan semasa aku kecil. Tentang kisah tetanggaku yang bernama Pak Kiman. Pak Kiman, seorang laki-laki sudah berumur, kira-kira 50 an tahun. Meskipun terkenal sebagai laki-laki yang kurang cerdas, tapi Pak Kiman tipe manusia pekerja keras. Membajak sawah, mencari rumput, dan merawat tanaman di kebun merupakan aktivitasnya sehari-hari. Pak Kiman selalu tak banyak bicara. Ia hanya mau mengobrol jika memang sudah akrab.

Rumah Pak Kiman bersebelahan dengan rumahku. Hanya berjarak beberapa puluh meter dan terpisah oleh sepetak sawah dan sungai yang membelah desa menjadi dua bagian, bagian timur dan barat. Di tepi sungai tersebut masih terdapat rimbunan bambu ori yang sangat subur dan teduh. Kalau orang Jawa menyebutnya sebagai tempat yang “singklu”. Menurut mitos masyarakat sekitar, tempat itu merupakan kerajaan lelembut dan gandarwa. Memang, mulai dari Utara hingga menuju persawahan bagian Selatan desa, di tepi sungai itu selain rimbunan bambu ori juga terdapat pepohonan dari sisa masa lalu seperti pohon kluwih, salam, pandan, salak, sirsat, dan nangka.

Sewaktu aku masih kecil, sungai itu jernih sekali. Pak Kiman yang rumahnya berada di tepi sungai, gemar sekali mandi di sana. Setiap pagi dan sore ia akan turun ke sungai untuk membersihkan diri atau mencuci pakaian. Kadang, Pak Kiman juga memandikan sapi maupun kambingnya.

Pada suatu sore menjelang maghrib, Pak Kiman mandi dan mencuci pakaiannya di sungai itu. Ternyata, di sungai itu ada seorang laki-laki lain yang hanya memakai celana kolor hitam sedang asyik menggosok tubuhnya dengan batu kali dan sesekali berenang dan menyelam dalam air.

“Sini, lo. Airnya seger, Kang!” teriak laki-laki yang ternyata tetangga belakang rumah Pak Kiman. Laki-laki itu Sukri, namanya.

“Iya, enakin aja. Aku tak nyuci sarung dulu,” kata Pak Kiman sambil memasukkan sarung kotornya ke dalam air sungai.

Tak lama kemudian, Pak Kiman selesai mencuci sarung. Ia pun segera membersihkan diri, menggosok kakinya dengan batu kali agar daki-daki yang menempel lenyap. Selesai membersihkan diri, Pak Kiman bermaksud kembali ke rumahnya karena azan maghrib surau depan rumah sudah terdengar.

Belum naik ke atas, Sukri yang masih asyik berenang memanggilnya.

“Kang, jangan langsung pulang. Habis ini tak ajak nyangkruk ke warung. Aku baru dapat bayaran,” kata Sukri.

Pak Kiman berpikir sejenak. Kebetulan dia malas makan masakan istrinya sore ini. Apa salahnya ikut Sukri ke warung? Lagipula gratis, nggak bayar. Bisa cangkrukan di warung sambil nyeruput kopi tubruk panas, begitu bayangan indah akan kebebasan sifat lelakinya menggoda inginnya.

“Iya, sekarang aja. Tunggu aku salat maghrib dulu,” sahut Pak Kiman.

Selesai melaksanakan salat maghrib, Pak Kiman segera kembali ke sungai. Jangan-jangan Sukri masih mandi. Sesampainya di sungai, benar saja dugaannya, ternyata Sukri tetap saja masih asyik berenang.

“Kri, Sukri. Ayo, naik! Nanti kamu masuk angin, ” teriaknya pada Sukri.

Sukri yang dipanggil, menurut dan segera naik ke atas sungai. Sukri mengambil bajunya yang ia sematkan di rerimbunan pandan dan memakainya.

“Kang Kiman, sampean pasti suka tak ajak ke warungnya temanku. Murah, masakannya uueeenaaaaak….” promosi sukri.

Pak Kiman pun mengangguk. Mereka berjalan ke arah utara melewati rimbunan pohon bambu dan persawahan yang luas. Sukri terus mengajak berjalan Pak Kiman hingga menuju jalan besar yang ramai. Perjalanan mereka pun berhenti di depan sebuah warung yang banyak pengunjungnya.

“Wah, ramai bener ya, Kri? Aku kok belum pernah ke sini? Hmm…,bau masakannya sampai hidungku, Kri. Bikin perutku lapar,” kata Pak Kiman dengan perasaan senang.

“Makanya, Kang. Aku nraktir sampean ke sini. La aku kan kasihan sama sampean to, Kang. Masa tiap hari cuma makan nasi jagung jangan kates lauk ikan asin, Kang,” kata Sukri dengan pongah.

Sukri mengajak Pak Kiman masuk ke dalam warung. Mereka duduk di bangku yang masih kosong. Sukri segera memesan sate dan gule dua porsi. Sambil menunggu pesanan, Sukri menawarkan Pak Kiman untuk ngemil gorengan yang ada di piring dan diberi tudung saji di depannya. Pelayan warung mendatangi meja mereka sambil membawa teko dari tanah liat dan menuangkan kopi untuk Pak Kiman dan Sukri. Asap dari kopi yang masih panas menguar meniupkan aroma khas untuk membangkitkan gairah hidup.

“Ayo, Kang dimakan! Ini pisang goreng kepok masih anget, yang itu jadah goreng,” kata Sukri sambil mengunyah sepotong jadah.

Pak Kiman pun membuka tudung makanan dan mengucapkan bismillah sebelum mengambilnya. Ketika hendak mengambil, Pak Kiman diam sejenak. Ia tengok Sukri yang asyik mengunyah makanannya. Ia tengok lagi makanan dalam tudung saji itu. Bukan pisang kepok dan jadah goreng seperti yang dikatakan Sukri, tapi sepiring kotoran sapi dan potongan bung atau batang bambu muda mentah. Terakhir kalinya, Pak Kiman meyakinkan penglihatannya pada apa yang dimakan Sukri, ternyata yang dimakan tetap batang bambu muda.

” Kri, Sukri! Jangan dimakan!” kata Pak Kiman.
Sukri tetap mengunyah potongan bung mentah bagai tak sadar jika Pak Kiman memanggilnya.

Tiba-tiba, Pak Kiman mendengar suara ribut-ribut di luar warung. Suara orang memukul-mukul alat dapur. Ada suara tutup panci beradu dengan spatula, ada suara kentongan dipukul, suara botol kecap dipukul sendok, dan suara teriakan warga yang memanggil-manggil namanya.

“Kang Kiman…, Kang Kiman…, Kang…, pulang Kang!” suara itu terus menerus memanggilnya dengan diiringi suara pukulan kentongan dan berbagai alat dapur.

Pak Kiman pun ke luar dari warung. Ketika sudah berada di luar warung, Pak Kiman melihat banyak tetangga sekitar rumahnya yang memukul-mukul kentongan dan alat dapur itu setengah berlari ke arahnya. Pak Kiman tahu dan hafal dengan suara seperti itu. Suara keributan itu adalah tanda jika ada seseorang yang diyakini dibawa lelembut. Agar dapat segera dikembalikan ke alam manusia, warga desa akan membuat keributan dengan memukul apa saja dengan tujuan lelembut terganggu, dan akhirnya mengembalikan sandranya.

“Kang, sampean itu ke mana saja? Dua hari menghilang tanpa pamit,” kata istri Pak Kiman cemas.

“Habis salat maghrib sampean ke luar rumah lagi. Tak lihat jalan ke utara, ke mana to Kang?” tanya Pak RT.

Berbagai pertanyaan membuat Pak Kiman terbengong. Apalagi saat ditanya sudah dua hari tidak pulang, makin membuat bingung lagi. Bagaimana dua hari tidak pulang, lha wong ia merasa diajak Sukri maghrib dan cuma jalan ke warung. Tentunya hanya butuh waktu tidak ada setengah jam. Pak Kiman yang kebingungan mencoba berdialog dengan dirinya sendiri untuk mencari jawabnya.

“Kang…, sekarang istirahat dulu saja. Jangan keluyuran saja to Kang kalau sore-sore itu. Kasihan Yu Nah, dua hari nangis terus,” kata Sukri yang ternyata ada bersama gerombolan warga sambil membawa kentongan itu. Seketika Pak Kiman yang menyadari keberadaan Sukri jadi heran.

“Kri, itu kamu toh?” tanya Pak Kiman heran.

“Ya ini aku, Kang. Sudah dua hari aku sama tetangga nyari sampean ke mana-mana. Eh, sekarang sampean di sini,” kata Sukri.

Pak Kiman segera menoleh ke belakang, ke warung tempat ia meninggalkan Sukri yang tadi masih makan potongan bambu muda mentah dan mungkin juga kotoran sapi. Namun, beberapa kali Pak Kiman mengerjapkan mata, tak ada warung di belakangnya. Hanya gerumbulan bambu ori yang rimbun dan singklu.

-END-
Blitar, 1 April 2021