Jumat, 26 April 2024
Perguruan Tinggi

Guru Besar Unpad Paparkan Konsep Harta Bersama dalam Perkawinan

Guru Besar Unpad Paparkan Konsep Harta Bersama dalam Perkawinan

Laporan oleh Artanti Hendriyana dan Riwisna Putunanga

[Kanal Media Unpad] Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sonny Dewi Judiasih menjelaskan pentingnya mengenai harta benda dalam perkawinan. Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi Satu Jam Berbincang Ilmu “Harta Benda dalam Perkawinan” yang diselenggarakan secara daring, Sabtu (25/3/2023).

“Kalau kita melihat di dalam Undang-Undang Perkawinan, maka harta benda perkawinan itu dibagi dua, yaitu yang disebut harta bersama dan harta asal atau harta bawaan,” jelas Prof. Sonny.

Lebih lanjut Prof. Sonny menjelaskan, dalam Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan disebutkan bahwa harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta bersama atau disebut juga harta gono gini dapat bersumber dari suami saja, istri saja, atau dari suami dan istri.

“Banyak sekarang terjadi bahwa harta bersama itu bukan hanya sekadar harta suami, atau harta istri, tetapi harta yang bersama-sama dihasilkan oleh suami dan istri,” jelas Prof. Sonny.

Harta bersama tersebut dapat diatasnamakan suami atau istri, tergantung dari kesepakatan yang telah dibuat suami dan istri.

Prof. Sonny juga menekankan bahwa setiap perjanjian atau transaksi yang dibuat dengan pihak ketiga dengan jaminan harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak suami dan istri.

Sementara harta asal merupakan harta yang dipunyai oleh masing-masing suami atau istri sebelum perkawinan berlangsung, termasuk hadiah atau warisan.

“Jadi harta warisan itu meskipun diperoleh di dalam masa perkawinan itu tetap dijadikan sebagai harta bawaan atau harta asal,” jelas Prof. Sonny.

Harta asal dimiliki secara utuh dan mutlak oleh suami dan istri. Harta ini tercatat sebagai milik pribadi.

“Harta bersama itu tidak akan bercampur dengan harta asal. Bisa diistilahkan bahwa seperti halnya kita mencampurkan minyak dengan air,” ujar Prof. Sonny.

Namun, apabila akan ada penyimpangan terhadap ketentuan yang diatur dalam UU tersebut, dapat dilakukan melalui perjanjian kawin. Salah satunya adalah mengubah status harta asal menjadi harta bersama.

Prof. Sonny pun menjelaskan bahwa perjanjian kawin yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian kawin tidak dapat diubah kecuali bila ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. (arm)*